Ketika Cinta Menjadi Ruwet dan Berpilin-Pilin

Muhammad Yaasiin Fadhilah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2022 14:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Yaasiin Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Canva
zoom-in-whitePerbesar
Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Judul resensi: Ketika Cinta Menjadi Ruwet dan Berpilin-Pilin
Judul Buku: Pingkan Melipat Jarak (Trilogi Hujan Bulan Juni #2)
ADVERTISEMENT
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Tebal: 121 halaman
Tahun Terbit: Cetakan Ketiga Maret 2019
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-3975-7
Presensi: Muhammad Yaasiin Fadhilah
Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940), tentu bagi penikmat karya sastra nama itu sudah tidak asing lagi. Seorang sastrawan yang sangat produktif meskipun sudah di usia senja. Hakikatnya Sapardi merupakan seorang sastrawan yang bisa dibilang paket komplet, beliau telah menerbitkan beberapa buku puisi, esai, fiksi, dan drama asli dan terjemahan, sejak 1969. Penghargaan yang sudah beliau dapatkan atas pencapaiannya selama ini diterimanya dari Freedom Institute (2003), Akademi Jakarta (2012), dan Habibie Award (2016). Selain itu, beliau mendapatkan penghargaan antara lain Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putera (Malaysia, 1984), dan SEA-WRITE Award (Thailand, 1988). Meskipun sajak-sajak yang ditulis beliau sederhana, namun memiliki makna yang mendalam, salah satu sajak yang mungkin semua orang tau adalah sajak Aku Ingin atau Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Sajak ini sudah bertransformasi menjadi musikalisasi dan juga film berjudul Cinta dalam Sepotong Roti.
ADVERTISEMENT
Dalam buku pertama trilogi Hujan Bulan Juni. Sapardi memberikan premis yang sederhana yaitu Sarwono yang jatuh cinta kepada Pingkan dan sebaliknya, namun ada sosok Katsuo yang menjadi penghalang antara kisah cinta Sarwono dan Pingkan. Premis yang sederhana itu ditulis Sapardi menjadi begitu rumit. Sehingga kita sebagai pembaca seperti dibuat geregetan, novel Hujan Bulan Juni diakhiri dengan menggantungnya hubungan Pingkan dan Sarwono.
Dalam buku kedua trilogi Hujan Bulan Juni. Berfokus kepada pingkan, bagaimana perasaan perempuan berdarah Jawa dan Makasar terhadap laki-laki kurus berdarah Solo. Disamping itu ada juga Katsuo, kawan Pingkan yang berasal dari Jepang yang memiliki ketertarikan dengan budaya Indonesia sekaligus diam-diam menaruh hati kepada Pingkan. Tetapi sikap Katsuo sangat aneh dan menjengkelkan. Di buku ini, Sapardi mengajak pembacanya untuk mengerti bagaimana pelajaran yang dapat diambil dari ruwetnya cinta, rasa hasrat ingin memiliki, sekaligus menyembuhkan dan mencari solusi dari konflik dalam diri.
ADVERTISEMENT
Perasaan yang awalnya mantap kepada Sarwono menjadi ragu kembali bahkan samar-samar ketika datangnya sosok Katsuo yang menjadi sekat antara hubungannya dengan Sarwono.
Jepang muda ini tidak mau tercoreng mukanya, pikir Pingkan yang telah belajar benar-benar tentang watak orang jepang dari senseinya. Aku tahu ia mencintaiku, bisik Pingkan kepada dirinya sendiri. Ia pun tahu Sarwono mencurigainya selama ini. Dan dia pernah berfikir, Seandainya tidak pernah bertemu dengan Sarwono, mungkin….. (hal 13).
Dalam buku ini Sapardi mengajak kita untuk masuk ke dalam imajinasi, alam bawah sadar, fantasi para karakternya, terutama Pingkan yang menjadi fokus dalam buku ini. Kisah cinta antara Pingkan dan Sarwono sebenarnya kisah yang sudah lumrah, namun dengan penceritaan Sapardi yang banyak menggunakan kalimat melambai dan jika dilihat, kosa kata yang dipilih sekilas tidak ada hubungannya menjadikan kisah ini memiliki alur yang berkelok-kelok bagaikan labirin. Kebudayaan seperti adat, kepercayaan, mitos, musik juga dituangkan Sapardi dalam buku ini.
ADVERTISEMENT
Sarwono yang jatuh sakit diceritakan sebagai sarwono yang disebabkan kehilangan “pancer”.
Aku yakin keempat saudaranya masih menjaganya baik-baik, pak. Kepada suaminya dijelaskan bahwa mungkin yang telah menumbangkan anaknya adalah dirinya sendiri, si pancer itu, pak. (hal 39).
Sedulur papat lima pancer: orang Jawa percaya bahwa manusia memiliki empat saudara yakni kakaknya, ketuban, dan adik-adiknya yakni ari-ari, darah, dan pusar. Semua itu juga dimaknai sebagai kiblat empat dan manusia berada ditengah. Pancer sebutannya.
Ibu Hadi, yaitu ibunya Sarwono, tidak hanya menggunakan pengobatan yang modern namun dia juga menggunakan pengobatan alternatif seperti inthuk-inthuk yang dipercaya dapat membawa pancer yang hilang itu kembali lagi.
Pingkan sebenarnya agak heran kenapa ada inthuk-inthuk di depan pintu masuk. Dirumah, Pingkan tidak pernah melihat ibunya membuat inthuk-inthuk, yang oleh Pak Palenkahu tentu dianggap takhayul. Yang diketahui selama ini, inthuk-inthuk diletakkan di atas meja di dalam ruangan, tetapi apa yang dilihatnya memang inthuk-inthuk. Tumpeng kecil yang ditusuk cabe merah, sayura, secangkir kopi, dan kembang melati yang masih kuncup. (hal 15).
ADVERTISEMENT
Dilain sisi, Katsuo yang mencintai pingkan namun terhalang oleh janjinya untuk menikahi wanita Jepang di Okinawa yang bernama Noriko, mencoba untuk membantu Sarwono untuk mengembalikan "mabui" sebutan pancer dalam kepercayaan Jepang dengan meminta pertolongan kepada ibunya. Ibunya adalah seorang kaminchu.
“Ibu saya adalah seorang kaminchu, Bu.”
Penjelasan dokter tentang keadaan Sarwono meyakinkan Katsuo bahwa ia harus pergi ke Okinawa, menemui ibunya demi Sarwono, demi Pingkan. Aku mencintai Pingkan, itu sebabnya ia tidak boleh dipisahkan dari sarwono, katanya kepada dirinya sendiri (hal 41)
Sepanjang dirawatnya Sarwono dalam penyembuhannya. Terjadilah lipatan waktu. Pingkan yang menyaru menjadi Galuh dan Sarwono menjadi Ino. Anehnya kedua kekasih ini menjadi saling mengira, Sarwono melihat Pingkan adalah Galuh, sedangkan Pingkan merasa bahwa dirinya adalah Pingkan, dan begitu juga dengan Pingkan yang melihat Sarwono adalah Ino, sedangkan Sarwono merasa dirinya adalah Sarwono. Seperti halnya ketika Katsuo memanggil Pingkan sebagai Noriko.
ADVERTISEMENT
Di bagian akhir novel ini Sapardi lagi-lagi mengajak kita untuk berdiskusi tentang pertanyaan Pingkan kepada abangnya yaitu Tora, yang sebelumnya pertanyaan ini juga ditanyakan Tora kepada ibunya. “Cinta itu apa sih?” Cinta menjadi persoalan yang sangat penting dalam buku ini.
Selalu ada yang terjadi tidak untuk bisa dipahami, tampaknya. Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan tulus kepada dirinya sendiri kenapa ini begitu dan kenapa itu begini. Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk menatap tajam mata kita sendiri dan bertanya, kenapa kau menyiasatiku begitu? Pertanyaan retoris yang sejawabnya tak lain, kenapa kau menatapku tajam begitu? Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak juga mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa member tahu kita, kesana saudara, kesana. (hal 106).
ADVERTISEMENT
Dan akhirnya semua tidak hanya sekedar "hanya" terutama jika berkembang menjadi rangkaian peristiwa yang dapat diterima sebagai petunjuk bahwa nasib sebenarnya ada di tangan manusia, dan pengandaian merupakan bagian yang bisa menjadi semacam pembenaran atas apa yang terjadi. Yang harus terjadi. Yang sudah terjadi. Bahkan yang akan terjadi. Seandainya Pingkan dipisahkan dari Sarwono, apa yang bisa terjadi, apa yang akan terjadi, atau apa yang terjadi? Sesuatu tentu akan terjadi. Atas siapa? Pingkan? Sarwono? Dimana Katsuo harus ditempatkan dalam pengandaian serupa itu? (Hal. 111).
Kelebihan dari novel ini adalah menceritakan sudut pandang Pingkan yang bagaimana dia menjadi seorang liyan dan terasing karena darahnya yang campuran. Novel ini bisa menarik perhatian pembaca dan membuatnya kebingungan sekaligus penasaran, membuat pembaca bertanya-tanya, ini sebenarnya arah ceritanya mau kemana?. Di akhir cerita barulah pembaca mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dari ceritanya, oh begini, oh begitu. meskipun sampai akhir cerita pembaca masih harus bertanya-tanya bagaimana nasib hubungan Sarwono dengan Pingkan? dan bagaimana kelanjutan rencana dari Katsuo yang ingin mempertahankan cintanya kepada Pingkan?. Karena itu memberikan kesan yang menarik untuk para pembacanya.
ADVERTISEMENT
Kekurangan dari novel ini adalah Sapardi tidak menjelaskan bagaimana pemahaman karakter pingkan ini secara jelas, melainkan secara abstrak, dan pembaca harus menafsirkan sendiri apa yang disampaikan Sapardi secara abstrak tersebut, dan menurut saya orang yang baru pertama kali membaca tulisan dari Sapardi, pasti akan kebingungan dengan bahasa yang digunakan dalam novel beliau.