Toxic Masculinity: Pria, Insekuritas, dan Godaan Selingkuh

Bella Josephine
Mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
14 Desember 2023 12:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bella Josephine tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tentang toxic masculinity (Sumber: <a href="https://www.freepik.com/free-vector/toxic-masculinity-concept-illustration_49682594.htm#query=masculinity&position=0&from_view=search&track=sph&uuid=1e0ed48f-29a0-43be-86e2-0d6bc0607a6c">Image by storyset</a> on Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentang toxic masculinity (Sumber: <a href="https://www.freepik.com/free-vector/toxic-masculinity-concept-illustration_49682594.htm#query=masculinity&position=0&from_view=search&track=sph&uuid=1e0ed48f-29a0-43be-86e2-0d6bc0607a6c">Image by storyset</a> on Freepik)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era di mana dinamika gender terus berkembang, hubungan percintaan antara pria dan wanita seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pengaruh toxic masculinity yang masih banyak terjadi. Salah satu contohnya stereotip bahwa laki-laki harus lebih unggul dalam hubungan merupakan tantangan bagi perempuan yang mandiri. Hal ini seringkali menimbulkan rasa gelisah pada diri pria, terutama jika pasangannya lebih sukses atau mampu melakukan sesuatu tanpa bantuan dirinya. Perasaan insecure yang muncul pada pria dengan harga diri yang rendah dapat menyebabkan pria ingin mencari validitas pada wanita lain sehingga berujung pada godaan untuk selingkuh. Timothy Jader, seorang psikiater di Nevada Mental Health, menjelaskan bahwa mencari approval akan memvalidasi seorang pria dan meningkatkan nilainya. Sebuah studi dari University of Texas at Austin menemukan bahwa laki-laki yang menganut norma-norma tradisional maskulin, seperti keyakinan bahwa laki-laki harus dominan dan mengendalikan, lebih cenderung berselingkuh.
ADVERTISEMENT
Studi tersebut menyoroti dampak negatif toxic masculinity terhadap hubungan dan pentingnya menentang norma-norma gender yang berbahaya.
Kekuatan dominasi dalam hubungan
Toxic masculinity adalah masalah kompleks yang memengaruhi laki-laki dan hubungan percintaan mereka dengan berbagai cara. Toxic masculinity dengan menekankan dominasi, kekuasaan, dan penindasan emosional, menciptakan lingkungan di mana laki-laki merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan peran gender yang kaku. Pria yang dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat sering kali menemukan rasa adanya kesalahan dalam hubungan ketika mereka merasakan adanya ketidakseimbangan kekuasaan. Hal ini menunjukkan bagaimana dinamika kekuasaan ini memengaruhi pilihan mereka dalam melakukan perselingkuhan kepada perempuan lain yang dianggap bisa memenuhi kebutuhannya karena lebih merasa dibutuhkan.
Ilustrasi pria insecure (Sumber: <a href="https://www.freepik.com/free-photo/young-male-holding-hands-praying-gesture-black-jacket-looking-hopeful_11435353.htm#query=insecure%20man&position=2&from_view=search&track=ais&uuid=11f718da-fd2c-4ac9-b181-cd0392fcab32">Image by 8photo</a> on Freepik)
Insecurity sebagai dorongan selingkuh
Timbulnya perasaan seorang pria jika dia tidak cukup dominan memunculkan rasa insecure. Insecure ini terwujud dalam kebutuhan yang terus-menerus untuk merasa pintar, mampu, dan memegang kendali dalam hubungan, sehingga mendorong laki-laki mengambil pilihan yang melemahkan komitmen mereka jika pasangannya ternyata lebih dari mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa pria yang merasa rendah diri atau merasa insecure oleh kesuksesan pasangannya cenderung lebih berpotensi melakukan perselingkuhan sebagai cara untuk meningkatkan harga diri dan mendapatkan kendali (Baumeister et al., 1995; Buss & Schmitt, 1993).
Ilustrasi perselingkuhan (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Godaan untuk selingkuh
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity yang menimbulkan insecurity menjadi salah satu dari sekian banyak alasan mengapa pria bisa melakukan perselingkuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa saja terjadi. Contohnya, seorang mahasiswa yang sedang menjadi jati diri dan sedang kesulitan dalam studinya mungkin mencari pengakuan melalui perselingkuhannya dengan siswi SMA yang dianggap kurang sukses dan pintar dibandingkan dirinya karena berada di bawah tingkatan pendidikan. Tindakan "tukar tambah" ini memberikan dorongan ego sementara dan menegaskan kembali rasa maskulinitasnya, bahkan jika hal itu mengorbankan hubungannya.
Breaking free: mengedepankan maskulinitas yang sehat
Langkah untuk menghilangkan dampak negatif dari toxic masculinity adalah mendefinisikan kembali apa artinya menjadi seorang laki-laki. Perjalanan ini membutuhkan penerimaan dan adaptasi terhadap pengembangan komunikasi terbuka dan komitmen terhadap harga diri. Penelitian menunjukkan bahwa pria yang berpartisipasi dalam program yang meningkatkan kecerdasan emosional dan maskulinitas yang sehat mengalami penurunan tingkat kemarahan, peningkatan keterampilan komunikasi, dan peningkatan kepuasan terhadap hubungan mereka (Levant, 1995). Dengan toxic masculinity dan menerima diri sendiri, pria dapat membangun hubungan yang lebih sehat yang ditandai dengan rasa saling menghormati, keintiman emosional, dan hubungan yang tulus.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini tentu saja memerlukan bantuan dari pasangan untuk menumbuhkan budaya yang menganggap kecerdasan emosional, empati, dan ketulusan sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Perjalanan menuju lingkungan yang lebih suportif ini tidak hanya akan memberikan manfaat bagi pria, namun juga pasangan, keluarga, dan lingkungan mereka secara keseluruhan. Pada akhirnya, dengan menghilangkan unsur-unsur negatif dari toxic masculinity dan mendorong definisi maskulinitas yang lebih sehat, kita dapat membuat perubahan di mana perselingkuhan tidak dinormalisaikan dan hubungan berkembang di atas landasan saling menghormati, hubungan emosional, dan ketulusan.
Referensi
Buss, D. M., & Schmitt, D. P. (2019). Mate preferences and their behavioral manifestations. Annual Review of Psychology, 70(1), 77–110. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-010418-103408
Levant, R. F. (1992). Toward the reconstruction of masculinity. Journal of Family Psychology, 5(3–4), 379–402. https://doi.org/10.1037/0893-3200.5.3-4.379
ADVERTISEMENT