Filosofi Mudik Lebaran Yang Berpengaruh Terhadap Psikologi Masyarakat Indonesia

Afrizal Difa Rahmansyah
Mahasiswa Psikologi S1 di Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
15 April 2024 11:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afrizal Difa Rahmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Berkumpul bersama keluarga https://pixabay.com/id/illustrations/ai-dihasilkan-ramadan-idul-fitri-8571158/
zoom-in-whitePerbesar
Berkumpul bersama keluarga https://pixabay.com/id/illustrations/ai-dihasilkan-ramadan-idul-fitri-8571158/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lebaran Idul Fitri di Indonesia tidak terlepas dengan kegiatan mudik, sudah menjadi kebutuhan bahkan beberapa orang menganggap mudik menjadi kewajiban yang jika ditinggalkan akan berdosa bahkan terasa ada sesuatu yang kurang. Artikel ini bertujuan memberi penjelasan kepada pembaca mengenai filosofi mudik di Indonesia dan memiliki pengaruh terhdap psikologis seseorang, Dalam konteks ini manusia sebagai mahkluk sosial penting untuk melakukan interaksi sosial yang dimana lebaran menjadi salah satu cara untuk melakukan interaksi bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi acara tahunan di Indonesia karena mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam, Namun di Indonesia tidak hanya umat Islam saja yang merayakan hari raya idul fitri, Umat agama lainnya di Indonesia seperti agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Dan konghucu juga terdapat yang ikut memeriahkan hari raya idul fitri umat islam ini, sebuah peristiwa yang dihormati dengan berbagai tradisi, Dan perayaan saat bulan Ramadan berakhir. Salah satu ciri khas perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah fenomena "mudik", Mudik yaitu fenomena sosio-kultural atau yang kerap masyarakat Indonesia lakukan dengan perjalanan pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga. Fenomena mudik memiliki konsekuensi sosial, budaya, dan psikologis yang signifikan selain perjalanan fisik.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi seperti ini, sangat menarik untuk memahami bagaimana fenomena mudik mempengaruhi psikologis seseorang. Kesehatan mental adalah komponen yang sangat penting dari kesejahteraan seseorang, yang mencakup keseimbangan emosional, psikologis, dan sosial yang positif. Pengalaman mudik, dengan semua perasaan nostalgia, harapan, dan interaksi sosial yang melekat padanya, dapat berdampak besar pada kesehatan mental.
Dalam artikel ini akan menjelaskan filosofi yang mendasari fenomena mudik Idul Fitri dan dampak pada psikologis seseorang.
Macet disaat mudik lebaran https://www.googleadservices.com/pagead/aclk?sa=L&ai=DChcSEwiWtKGhhcOFAxVGwDwCHd0oAGIYABAAGgJzZg&ase=2&gclid=CjwKCAjw_e2wBhAEEiwAyFFFo9Ogu05xIDtmwWC_j05R5my0ykBynNcGLvG4UgbTThMQ5tY7McMx-BoCiQEQAvD_BwE&ohost=www.google.com&cid=CAESVuD24IDu5KReCur01MhYGq9wxlhqcq0EnGnwoHeGk1rdP9zXt60WJzsXERqsVQOkH_-I9qaz8C8hdvRymYsgJJscUS8TMWIRSHfo-mtDLGPXEM4m0Sm6&sig=AOD64_1K4sWnHjB1BBFglkoDtdXvSNgllA&q&nis=4&adurl&ved=2ahUKEwjykZyhhcOFAxXz1jgGHU3gA54Q0Qx6BAgGEAE
Dalam filsafat terdapat tiga cabang yaitu Ontologi (Keberadaan). Epistemologi (Pengetahuan), Dan Aksiologi (Nilai). Yang dimana filosofi mudik lebaran idul fitri memenuhi tiga unsur filsafat ini, Keberadaan mudik bisa dirasakan oleh pancaindra dengan melihat lingkungan sekitar yang berbeda dari hari hari biasanya. Berdasarkan data lebaran 2013 diperkirakan 24 juta pemudik bergerak menuju kampung halaman. Jumlah yang setara dengan 90% penduduk Malaysia. Sedangkan jumlah pemudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2014 ke Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni 2.023.451 orang pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil, 3.426.702 orang naik bus, 192.219 orang naik kereta api, 26.836 orang naik kapal laut, dan 88.335 orang naik pesawat. Dan ini terus akan meningkat setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Secara pengetahuan yang di analisa oleh akal bagaimana mudik dapat terjadi yaitu tidak lain dipengaruhi oleh adanya sejarah dan tradisi. menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Keberadaannya jauh sebelum kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa di Khayangan. Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah. Namun, sejalan masuknya pengaruh ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik terutama bagi mereka yang menyalahgunakan dengan meminta kepada leluhur yang telah meninggal dunia.
Mohon maaf lahir dan batin sesama individu https://pixabay.com/id/illustrations/ai-dihasilkan-ramadan-islam-muslim-8586633/
Dan pada tahun 1970-an istilah mudik mucul Kembali, Dimana pada saat itu perantau dari desa yang bekerja di Jakarta mendapatkan cuti hari raya dan dimanfaatkan untuk pulang kampung untuk berziarah ke keluarga yang sudah meninggal dan berkumpul dengan keluarga. Sedangkan dari Aksiologi mudik memiliki nilai bahkan dari sisi psikologi. Tradisi mudik berhubungan dengan kebiasaan manusia berbuat baik (muamalah), saling menghormati, dan bekerjasama Majid, Abdul (tt). Secara psikologis sikap ikhlas, berjabat tangan dan ucapan permohonan ma’af, akan membangun persepsi dan emosi positif. Emosi positif ini akan membangun kesejahteraan jiwa dan memberikan kesan positif pada sistem kognitif dan memori individu. Sistem kognisi dan emosi positif individu inilah yang selanjutnya akan memungkinkan terbentuknya sistem sosial yang lebih sehat dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Tradisi mudik di satu sisi dapat memunculkan budaya eufimisme, yaitu penuh dengan kepura-puraan. Memaksakan diri, belanja dan konsumsi melebihi batas kemampuan, serta menantang resiko dalam perjalanan Alkautsar, Syukiran (2015). Menghamburkan sumberdaya, khususnya sumberdaya ekonomi, berarti membiasakan diri dengan konsumsi biaya tinggi. Akhirnya, tradisi mudik lebaran dapat membentuk karakter “pemaaf”. Namun, tradisi mudik lebaran sewajarnya saja, sehingga dapat dihindari adanya ekonomi biaya tinggi dan melahirkan eufimisme sosial.
Lebaran membuat mental seseorang lebih stabil https://www.googleadservices.com/pagead/aclk?sa=L&ai=DChcSEwiWtKGhhcOFAxVGwDwCHd0oAGIYABAAGgJzZg&ase=2&gclid=CjwKCAjw_e2wBhAEEiwAyFFFo9Ogu05xIDtmwWC_j05R5my0ykBynNcGLvG4UgbTThMQ5tY7McMx-BoCiQEQAvD_BwE&ohost=www.google.com&cid=CAESVuD24IDu5KReCur01MhYGq9wxlhqcq0EnGnwoHeGk1rdP9zXt60WJzsXERqsVQOkH_-I9qaz8C8hdvRymYsgJJscUS8TMWIRSHfo-mtDLGPXEM4m0Sm6&sig=AOD64_1K4sWnHjB1BBFglkoDtdXvSNgllA&q&nis=4&adurl&ved=2ahUKEwjykZyhhcOFAxXz1jgGHU3gA54Q0Qx6BAgGEAE
Simpulan
Dari pembahasan tentang filosofi lebaran Idul Fitri dan fenomena mudik serta dampaknya terhadap kesehatan mental seseorang, Dapat Disimpulkan bahwa tradisi ini bukan hanya sekadar budaya, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan pada tingkat psikologis individu. Fenomena mudik mencerminkan nilai-nilai yang dalam tentang keluarga, tradisi, dan identitas budaya, yang memberikan rasa koneksi yang kuat kepada individu terhadap individu lain.
ADVERTISEMENT
Namun, perjalanan pulang ini juga dapat menimbulkan tantangan psikologis seperti stres perjalanan, perubahan lingkungan, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Ini dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang dengan berbagai cara, mulai dari meningkatkan kesejahteraan emosional hingga menimbulkan ketegangan dan kecemasan.
Saran
1. Self-Care: Sendiri selama periode mudik dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Ini bisa berupa aktivitas santai seperti meditasi, yoga, atau sekadar bersantai dengan membaca buku atau mendengarkan musik.
2. Komunikasi Terbuka: Berbicara dengan keluarga atau teman-teman tentang perasaan dan harapan selama periode mudik dapat membantu mengurangi tekanan dan meningkatkan dukungan sosial.
3. Menghargai Momen Bersama: Menggunakan waktu bersama keluarga dan teman-teman dengan cara yang bermakna dapat memperkuat ikatan emosional dan meningkatkan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Dengan menerapkan saran-saran ini, diharapkan individu dapat mengatasi tantangan psikologis yang mungkin timbul selama periode mudik dan menjalani perayaan Idul Fitri dengan kesehatan mental yang kuat dan kesejahteraan yang meningkat.
DAFTAR RUJUKAN
Arribathi, A. H., & Aini, Q. (2018). Mudik Dalam Perspektif Budaya Dan Agama. Journal Cyberpreneurship Innovative and Creative Exact and Social Science (CICES), 4(1), 45-52.
Mulyaningsih, I. E. (2014). Pengaruh interaksi sosial keluarga, motivasi belajar, dan kemandirian belajar terhadap prestasi belajar. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, 20(4), 441-451.
Baidun, A. Tradisi Mudik Lebaran: Membentuk Karakter “Pemaaf”.
Diwyarthi, N. D. M. S., Ningsih, D. R., Larassati, P. A. A., Pratama, I. W. A., Sendra, E., & Supriyadi, A. (2022). Psikologi komunikasi.
ADVERTISEMENT