Konten dari Pengguna

Sengketa Tanah di Toraja Sulawesi Selatan

Karina Ayu Lestari
Mahasiswi UINSA Prodi Hukum Ekonomi Syariah
22 Oktober 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karina Ayu Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suntingan Gambar Oleh Karina Ayu Lestari: Konflik Lahan di Desa Toraja
Terkenal dengan tradisi pemakaman unik dan rumah adat tongkonan, Desa Tanah Toraja menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa. Sayangnya, keindahan alam dan budaya ini terancam oleh konflik perebutan lahan yang melibatkan berbagai pihak. Masyarakat Toraja memiliki sistem khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah yang mengacu pada adat istiadat mereka. Kita akan membandingkan pendekatan ini dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan melihat bagaimana pandangan hukum adat Toraja, khususnya dalam konteks klan, diterapkan dalam penyelesaian sengketa tanah.
ADVERTISEMENT
keyword: Tanah Toraja, Budaya Toraja, Tongkonan.
Penjualan tanah adat sering menimbulkan masalah sensitif karena melibatkan aspek hukum, budaya, ekonomi, dan sosial yang penting bagi masyarakat adat. Menjual tanah adat tanpa persetujuan masyarakat setempat dapat memicu konflik. Contohnya, di Desa Tadongkon, Kabupaten Toraja Utara, seorang warga menjual tanah adatnya kepada orang luar untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, dia diadili secara adat oleh pemimpin setempat, karena tanah tersebut seharusnya milik bersama masyarakat adat. Meskipun penjual memiliki sertifikat tanah yang sah secara hukum, situasi ini menjadi rumit dan memerlukan penyelesaian hukum formal, karena sertifikat tidak serta-merta memberikan hak penuh atas tanah adat tanpa izin dari Masyarakat (Suherman & Rahman, n.d.).
Pidana Adat
Menurut ahli hukum adat, Lesquilier menjelaskan bahwa reaksi adat merupakan Upaya untuk memulihkan keseimbangan magis yang terganggu akibat pelanggara norma adat. Sanksi yang diberikan dapat berupa teguran, isolasi sosial, denda, atau bahkan Tindakan fisik. Tujuannya sangat beragam, mulai dari menjaga ketertiban sosial hingga memperbaiki perilaku pelanggar. Meskipun penting bagi stabilitas sosial, sanksi adat terkadang menimbulkan kontroversi karena potensinya untuk melanggar hak asasi manusia. Pada Masyarakat Toraja, pelanggaran terhadap tanah adat tongkonan Baliu’ akan dikenai sanksi adat yang spesifik.
ADVERTISEMENT
Yang pertama Hilangnya Hak atas Tanah Adat. Kehilangan hak atas tanah berarti kehilangan kendali atas pengelolaan sumber daya alam serta otoritas terkait tanah tersebut. Penyebab hilangnya hak atas tanah bisa bervariasi, termasuk penjualan atau pengalihan tanah, serta pelanggaran hukum yang dapat mengakibatkan pembatalan hak. Dalam kasus sengketa tanah adat, pihak yang dinyatakan bersalah akan kehilangan haknya atas tanah adat tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis, pihak yang menjual tanah adat di Tongkonan Baliu’ saat ini tidak memiliki hak atas tanah adat yang sebelumnya dipersengketakan. Meskipun orang tersebut masih memiliki hubungan dengan Tongkonan, kesalahan dan tindakan penjualan tanah adat secara diam-diam menyebabkan hilangnya haknya. Selain itu, semua yang berkaitan dengan orang tersebut harus dikeluarkan dari tanah adat (seperti rumah, pohon, tumbuhan, dll) dan meninggalkannya dalam keadaan kosong.
ADVERTISEMENT
Yang kedua Sanksi Moral. Hukum moral berkaitan dengan konsekuensi atau sanksi yang diterapkan sebagai respons terhadap tindakan yang dianggap melanggar norma moral atau etika tertentu. Hal ini berbeda dari hukuman resmi yang dijatuhkan oleh sistem hukum. Seperti, kritik publik, penolakan dukungan, rasa bersalah dan penyesalan, pengucilan atau penolakan. Sengketa tanah adat yang terjadi ini juga mengakibatkan sanksi moral bagi pihak yang dinyatakan bersalah. Individu tersebut dianggap tidak menghargai pemangku adat (To Parengnge’) karena bertindak sewenang-wenang dan melakukan transaksi jual beli tanpa persetujuan pemangku adat dan masyarakat adat di Tongkonan. Selain itu, kritik serta pandangan masyarakat adat setempat sangat negatif, terutama karena mereka merasa kegiatan adat tidak dilibatkan, yang dianggap merusak Tanah Tongkonan. Meskipun ikatan darah tidak bisa dihapuskan, sanksi moral dari komunitas adat tetap tidak bisa diabaikan.
ADVERTISEMENT
Penyelesaian Konflik Tanah.
Kasus penjualan tanah adat yang telah bersertifikat ini harus diselesaikan melalui jalur hukum, bukan hanya berdasarkan hukum adat. Alasannya adalah karena proses pembuatan sertifikat tanah tersebut, meskipun memiliki cacat hukum, telah mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun tanah tersebut adalah tanah adat, namun karena sudah tercatat dalam system pertahanan negara dengan sertifikat yang sah, maka untuk membatalkannya diperlukan proses pengadilan. Proses penyelesaian secara adat tidak lagi relevan dalam kasus ini.
Menurut informasi yang diperoleh, tanah yang disertifikatkan oleh individu bernama YT terdaftar pada 20 Agustus 2008. Kemudian, pada tahun 2009, YT menjual tanah adat yang telah disertifikatkan kepada pihak ketiga, yang kemudian menghasilkan Akta Jual Beli Nomor 176/Jb/KII/2009 tertanggal 15 Desember 2009, dengan luas sekitar 4.251 m². Berdasarkan akta tersebut, pihak ketiga berhasil mendaftarkan tanah yang disengketakan dan menerima Sertifikat Hak Milik Nomor 23 pada 19 Januari 2010 atas Namanya (AR). Setelah para pemangku adat (to Parengnge’) mengetahui tentang proses pensertifikatan dan penjualan tanah adat ini, mereka melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan tanah tersebut sebagai bagian dari tanah Tongkongan.
ADVERTISEMENT
1. Tahap awal penyelesaian sengketa ini adalah melalui musyawarah adat. Mengingat penjual tanah masih merupakan bagian dari masyarakat adat, upaya untuk menyelesaikan masalah ini secara internal terlebih dahulu merupakan langkah yang wajar. Namun, upaya musyawarah tersebut menemui jalan buntu. Penjual tanah bersikeras pada keabsahan sertifikat tanah yang dimilikinya dan menolak penyelesaian secara adat. Akibatnya, tidak tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
2. Ketika upaya musyawarah yang dilakukan oleh para tokoh adat (To Parengnge') dengan pihak penjual tanah adat tidak menghasilkan kesepakatan, masyarakat adat di Tanah Tongkonan Baliu' mengambil langkah lebih lanjut dengan mengirimkan surat protes (somasi). Objek protes ini adalah sertifikat hak milik tanah seluas 5.482 m² yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Tana Toraja. Dalam somasi tersebut, masyarakat adat meminta agar sertifikat tersebut dibatalkan karena dianggap melanggar hak-hak adat mereka. Sayangnya, somasi ini tidak digubris oleh Badan Pertanahan. Oleh karena itu, sebagai upaya terakhir, masyarakat adat memutuskan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
ADVERTISEMENT
3. Tahap gugatan telah dimulai. Para pemangku adat (To Parengnge’), sebagai pihak yang merasa dirugikan, secara resmi telah mengajukan tuntutan hukum ke Pengadilan Negeri Makale. Tujuan utama dari gugatan ini adalah untuk mencari penyelesaian yang adil atas perselisihan yang terjadi. Dalam gugatan tersebut, para pemangku adat akan memaparkan secara rinci alasan-alasan mengapa mereka merasa hak-haknya telah dilanggar, serta menyertakan bukti-bukti yang mendukung klaim mereka. Mereka juga akan mengajukan tuntutan tertentu kepada pihak lawan yang dianggap bertanggung jawab atas permasalahan ini (Deswita, 2024).