Konten dari Pengguna

Perspektif Politik US 2024 terhadap dampak Serangan Siber dalam Human Security

Ahmad Rizky Ramadhani
Seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Memiliki ketertarikan kuat pada isu-isu Internasional, ekonomi, sosial, politik, dan teknologi. Dengan latar belakang akademis yang mendalam dan aktif dalam menulis & membuat publikasi.
30 April 2025 7:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Rizky Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum Amerika Serikat pada tahun 2024 terjadi dalam situasi rumit karena ancaman siber tidak hanya merusak sistem teknologi, tetapi juga mengancam keamanan manusia secara mendasar. Ancaman ini meliputi stabilitas politik, kejujuran proses demokrasi, dan perlindungan data pribadi warga. Pada masa pemerintahan Joe Biden, saat itu Biden menanggapi dengan berbagai kebijakan untuk melindungi diri dan bekerjasama dengan pihak lain. Hubungan yang dinamis dengan China juga mempengaruhi strategi keamanan siber nasional.
Ilustrasi serangan siber dengan mengambil data pribadi. Source: Shutterstock/ImageFlow
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi serangan siber dengan mengambil data pribadi. Source: Shutterstock/ImageFlow

Strategi Hybrid Warfare dalam Kontestasi Teknologi

ADVERTISEMENT
Pemerintah AS menganggap 5G, Kecerdasan Buatan (AI), dan Komputasi Kuantum ini sebagai area kunci untuk persaingan. Penguasaan teknologi ini dianggap penting untuk keunggulan ekonomi, militer, dan strategis di masa depan.
ADVERTISEMENT

Arsitektur Zero Trust dan Standardisasi Perangkat Lunak

Perintah Eksekutif Februari 2024 mewajibkan lembaga federal menerapkan model "zero trust" dengan verifikasi multifaktor dan segmentasi jaringan untuk semua akses. Contohnya, Departemen Pertahanan bermigrasi ke ICAM (Identity, Credential, and Access Management) yang memisahkan akses data berdasarkan klasifikasi. Vendor perangkat lunak kini wajib menyertakan SBOM (Software Bill of Materials), mendokumentasikan komponen kode untuk mengurangi risiko backdoor seperti insiden SolarWinds 2020. Hal ini mendorong pergeseran fundamental dalam postur keamanan siber pemerintah AS. Lebih dari sekadar menambal kerentanan, fokusnya kini adalah secara proaktif mengurangi permukaan serangan dan meminimalkan dampak dari potensi pelanggaran. ICAM yang diterapkan Departemen Pertahanan, misalnya, berarti bahwa jika seorang pengguna dikompromikan, akses mereka terbatas pada data yang telah diotorisasi secara eksplisit, mencegah pergerakan lateral ke sistem sensitif lainnya.
ADVERTISEMENT
Kewajiban SBOM juga memiliki implikasi besar. Dengan transparansi yang lebih besar ke dalam rantai pasokan perangkat lunak, lembaga pemerintah dapat lebih efektif mengidentifikasi dan memitigasi risiko yang terkait dengan kode pihak ketiga. Ini bukan hanya tentang mengidentifikasi kerentanan yang diketahui, tetapi juga tentang memahami komposisi perangkat lunak dan mengevaluasi risiko yang terkait dengan vendor dan komponen tertentu. Pemahaman yang lebih dalam ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih tepat mengenai risiko penerimaan dan perbaikan.
Namun, tantangan implementasi cukup besar. Zero trust bukan hanya tentang menerapkan teknologi baru; ini membutuhkan perubahan budaya dan proses. Lembaga federal harus melatih tenaga kerja mereka, memperbarui kebijakan mereka, dan berinvestasi dalam infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung model keamanan baru ini. Vendor perangkat lunak juga harus berinvestasi dalam proses dan alat baru untuk menghasilkan dan memelihara SBOM yang akurat dan terkini.
ADVERTISEMENT

Kolaborasi Sektor Publik-Swasta dalam Proteksi Infrastruktur Kritis

Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur/Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA) meluncurkan Inisiatif Pertahanan Bersama/Joint Defense Initiative (JDI) yang menghubungkan 14 sektor kritis-mulai energi hingga transportasi-dengan sistem pemantauan real-time. Contoh suksesnya adalah deteksi dini serangan ransomware pada jaringan listrik Texas bulan Mei 2024, di mana CISA berkoordinasi dengan Microsoft dan CrowdStrike untuk mengisolasi ancaman dalam 43 menit. Namun, resistensi dari perusahaan kecil yang mengeluhkan biaya compliance tetap menjadi tantangan.

Integritas Pemilu 2024 dan Ancaman Siber Multidimensi

Hardening Infrastruktur Pemilu dari Serangan Ransomware

Meskipun Easterly menyatakan keyakinan pada sistem pemilu 2024, laporan ReliaQuest mengungkap 37 serangan ransomware pada kantor pemilu negara bagian sepanjang 2024, termasuk kasus di Nevada yang mengakibatkan kebocoran data 1,2 juta pemilih. Respons CISA termasuk deployment sistem Albert Sensors di 89% lokasi pemungutan suara untuk mendeteksi lalu lintas mencurigakan, serta pelatihan "Cyber Navigator" bagi petugas pemilu di tingkat county.
ADVERTISEMENT

Disinformasi Terstruktur dan Perang Kognitif

Operasi Doppelganger oleh Rusia berhasil membuat 1.200 akun media sosial palsu yang menyebarkan narasi "penipuan pemilu" dalam 15 bahasa lokal AS. AI deepfake digunakan untuk membuat video Biden menyatakan dukungan pada Israel, yang kemudian dimanipulasi untuk memecah suara Demokrat. Facebook melaporkan 2,3 juta konten disinformasi terkait pemilu yang dihapus per September 2024, 14% di antaranya berasal dari jaringan China yang terafiliasi dengan United Front Work Department.

Dampak Serangan Siber pada Hak-Hak Keamanan Manusia

Erosi Privasi dan Pengawasan Massal

Kebocoran data 6,7 juta pasien Medicare melalui serangan pada kontraktor CMS bulan Agustus 2024 tidak hanya mengancam informasi medis, tetapi juga memicu diskriminasi asuransi kesehatan. Kasus ini memaksa FTC merevisi aturan Health Breach Notification Rule, mewajibkan pelaporan dalam 24 jam. Program pengawasan PRISM yang diperluas pasca-serangan China pada 2023 menuai protes dari American Civil Liberties Union/ACLU atas pelanggaran Fourth Amendment yang isinya sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Ancaman Terhadap Kebebasan Sipil Digital

Penerapan Cybersecurity Maturity Model Certification (CMMC) 3.0 pada kontraktor pertahanan menyebabkan 124 perusahaan kecil gulung tikar karena biaya compliance, mengurangi diversitas industri pertahanan. RUU RESTRICT Act yang ditujukan untuk memblokir aplikasi asing seperti WeChat justru digunakan untuk membatasi akses ke platform aktivisme digital seperti Signal di beberapa negara bagian.

Strategi Mitigasi dan Masa Depan Keamanan Siber

Penguatan Regulasi dan Diplomasi Digital

Biden memperluas yurisdiksi Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) untuk mengawasi investasi asing di startup AI bernilai di atas $10 juta, sementara Kementerian Luar Negeri meluncurkan Digital Solidarity Initiative yang menyatukan 34 negara demokrasi dalam berbagi intelijen siber. Di kancah PBB, AS memprakarsai resolusi larangan penggunaan AI otonom dalam senjata konvensional, meskipun ditolak China dan Rusia.
ADVERTISEMENT

Inovasi Teknologi Pertahanan Proaktif

Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) mengalokasikan $3,4 miliar untuk proyek "Quantum Fortress" yang menggunakan kriptografi pascakuantum untuk melindungi data sensitif hingga 2040. Kolaborasi dengan MITRE menghasilkan framework MITRE ATT&CK v12 yang mencakup 196 teknik serangan spesifik negara, membantu organisasi mengidentifikasi ancaman berbasis motivasi politik
Dapat disimpulkan jika pada pemilu AS 2024 masih dibayangi oleh bentuk ancaman siber multidimensi yang menargetkan infrastruktur pemilu, opini publik, dan data pribadi. Respons pemerintah Biden mencakup kebijakan keamanan siber proaktif, kolaborasi publik-swasta, dan diplomasi digital. Namun, tantangan tetap ada dalam implementasi, biaya kepatuhan, dan potensi erosi privasi serta kebebasan sipil digital. Investasi dalam inovasi teknologi pertahanan dan regulasi yang adaptif menjadi kunci untuk mitigasi jangka panjang agar serangan cyber dapat dicegah.
ADVERTISEMENT