Konten dari Pengguna

Indonesia dan Relevansi Merkantilisme Masa Kini

Wulan Trisna
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Udayana
15 Oktober 2022 14:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wulan Trisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber gambar: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber gambar: freepik.com
ADVERTISEMENT
Beberapa dari kamu mungkin masih asing ketika mendengar kata “merkantilisme”. Merkantilisme adalah salah satu perspektif yang digunakan untuk menganalisis fenomena ekonomi politik internasional. Perspektif ini berangkat dari keyakinan bahwa negara-negara di dunia senantiasa selalu berambisi meraih kekuasaan dan kekayaan.
ADVERTISEMENT
Perlu kamu ketahui, merkantilisme ini berpijak pada dua asumsi utama, yaitu:
(1) Sistem internasional bersifat anarki sehingga sudah seharusnya negara berfokus untuk melindungi kepentingan masing-masing dan
(2) Intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi bertujuan untuk memperkuat perekonomian negara.
Nah, dari dua asumsi ini kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya pasar dibentuk oleh kebijakan politik negara.
Prioritas merkantilis adalah melindungi industri dalam negeri. Merkantilisme memandang perdagangan internasional bersifat zero-sum, yaitu ketika suatu negara menang maka negara lain kalah. Cara negara untuk memenangkan kompetisi perdagangan adalah dengan mendorong ekspor dan meminimalkan impor.

Apa kabar merkantilisme hari ini?

Merkantilisme mulai berkembang sekitar abad 15. Aplikasinya mungkin dipandang efektif pada masa itu. Namun, seiring berjalannya waktu, perspektif-perspektif baru muncul untuk mengkritisi.
ADVERTISEMENT
Kita ketahui bersama bahwa saat ini mekanisme perdagangan atau ekonomi dunia dikuasai oleh rezim internasional. Kehadiran rezim internasional menandakan bahwa dunia ini berupaya untuk meliberalisasi pasar atau mempermudah akses menuju pasar bebas dengan mengurangi hambatan yang bersifat tarif maupun non tarif.
Rezim internasional adalah salah satu produk liberalisme yang bertolak belakang dengan pemikiran merkantilisme. Bagi liberalisme, setiap individu, kelompok, maupun negara dapat mencapai keuntungan maksimal apabila pasar dibebaskan. Artinya, negara tidak ikut campur secara aktif terhadap kehidupan pasar.
Robert O’Brien dan Marc William (2016) dalam bukunya Global Politic Economy: Evolution and Dynamics menyebutkan,
“countries continue to protect their markets from foreign competition even though they have committed themselves to free trade” - negara-negara masih terus berupaya untuk melindungi pasar mereka dari kompetisi asing walaupun mereka sudah berkomitmen untuk pasar bebas.
ADVERTISEMENT
Pernyataan O’Brien dan William ini memberikan pencerahan bahwa merkantilis masih relevan di tengah euforia pasar bebas. Pernyataan ini sekaligus membuat kita berpikir bagaimana jadinya merkantilisme yang proteksionis bergabung dengan pasar bebas yang liberalis.

Bagaimana dengan merkantilisme di Indonesia?

Tahukah kamu, Indonesia membuka keran perdagangan internasional dengan lebih dari 200 negara di dunia. Indonesia juga aktif menjalin kerja sama bilateral, regional, hingga multilateral, seperti ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA), Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), Joint Economic and Trade Committee (JETCO), dan masih banyak lagi.
Perjanjian-perjanjian tersebut bertujuan meningkatkan arus perdagangan dan investasi serta mengurangi hambatan akses pasar. Jadi, kita bisa katakan bahwa Indonesia adalah satu dari ratusan negara di dunia yang memandang prospek di pasar bebas.
ADVERTISEMENT
Drs. H. Bambang Hermanto, M.Si. dan Mas Rasmini, S.E., M.Si. (2008) dalam Modul Konsep Sistem Ekonomi Indonesia, Universitas Terbuka, merangkum perjalanan sistem ekonomi yang pernah berlaku di Indonesia. Sejak orde reformasi, sistem ekonomi Indonesia disebut berhaluan kerakyatan Pancasila tetapi cenderung mengarah pada kapitalistik dengan ideologi liberalisme. Apakah ini berarti paham merkantilisme sudah tidak eksis di Indonesia?
Ingat, ciri khas merkantilisme adalah campur tangan negara untuk melindungi perekonomian nasional. Sebagai contoh, bagaimana apabila harga suatu barang di dalam negeri sangat rendah? Perlukah peran pemerintah untuk menstabilkan harga barang?
Sistem ekonomi Indonesia meyakini bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Jadi, pemerintah memiliki wewenang untuk turun tangan demi menjaga perekonomian nasional. Bagaimana caranya? Pemerintah Indonesia bisa mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya berdampak di level nasional tetapi juga internasional.
ADVERTISEMENT
Misalnya, kebijakan larangan impor atas barang tertentu. Eksportir dari negara lain tidak bisa meloloskan komoditasnya ke Indonesia. Begitu pula, di dalam negeri, masyarakat akan berupaya memenuhi kebutuhannya melalui peningkatan produksi maupun mencari substitusi. Dengan begitu, diharapkan harga barang dalam negeri meningkat dan merangsang penggunaan barang substitusi.
Mengingat kembali pada tahun 2018, Indonesia mengumumkan pembatasan impor beras melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras. Kebijakan ini tidak 100% melarang impor beras, hanya membatasi berdasarkan kebutuhan tertentu. Impor beras untuk kebutuhan konsumsi atau umum hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) atas penugasan dari pemerintah. Untuk kebutuhan lain, seperti industri, pemerintah hanya mengizinkan impor beras dengan jenis dan kode tertentu, seperti beras Hom Mali, Japonica, Basmati, Jasmine. Permen ini diharapkan dapat melindungi petani Indonesia dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
ADVERTISEMENT
Kita sudah bisa menarik benang merah bahwa Indonesia secara sadar memandang liberalisasi pasar tidak selamanya baik untuk perekonomian nasional. Dalam beberapa kasus, merkantilisme dibutuhkan baik dalam pemikiran maupun aktivitas. Meskipun Indonesia sudah terjun ke pasar bebas, perlindungan terhadap industri dalam negeri masih tetap menjadi prioritas. Namun, sulit mengukur seberapa merkantilis atau liberalis Indonesia sebab fenomena ekonomi politik akan terus berdinamika.