Konten dari Pengguna

Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe: Pengabdian Abdi Dalem kepada Keraton

Kamilia Mufidah
Saya merupakan mahasiswa program studi Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
12 Oktober 2022 7:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamilia Mufidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Era globalisasi telah menimbulkan perubahan pada pola hidup masyarakat Indonesia menuju ke arah yang lebih modern. Hal ini ditandai dengan perkembangan teknologi, informasi dan perubahan pada gaya hidup masyarakat. Dalam menghadapi perubahan cepat akibat globalisasi, terjadilah proses penyesuaian diri pada kehidupan masyarakat luas dalam menghadapi masa depan. Masyarakat Jawa yang terkenal dengan budayanya yang tinggi dan menjadi pedoman dalam menjalani hidup juga tidak terlepas dari perubahan yang terjadi akibat masuknya budaya modern.
ADVERTISEMENT
Budaya Jawa yang kental akan nilai-nilai kearifan, mengajarkan manusia untuk menjadi manusia seutuhnya, paham bagaimana cara menempatkan diri di alam semesta, menjawab permasalahan dasar asal usul manusia, bagaimana cara menjalani kehidupan, dan tempat manusia kembali. Mulder (dalam Siswanto, 2010) mengungkapkan bahwa budaya Jawa memberikan pandangan hidup kepada masyarakatnya untuk tentram secara batin, hidup selaras dan seimbang, serta sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan diri individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta. Kearifan budaya Jawa yang mengandung konsep pemikiran luhur ini kemudian terwujud dalam bentuk ungkapan Jawa yang dapat dijadikan sebagai sarana pembentukan jati diri manusia Jawa. Salah satu ekspresi ungkapan Jawa yang mengandung nilai kearifan budaya adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe.
ADVERTISEMENT
Sikap sepi ing pamrih memiliki arti menjalankan tugas tanpa bermaksud mementingkan diri sendiri. Manusia tidak boleh mengejar kepentingan dan keinginan pribadi, harus membatasi diri agar tidak merugikan diri sendiri, orang lain, dan alam semesta. Sikap rame ing gawe berarti semata-mata ingin bekerja dengan tulus. Manusia bekerja keras untuk dirinya sendiri dan senantiasa berbuat baik terhadap orang lain. Dengan sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe, orang Jawa dapat menjalankan peranannya di dunia dengan memenuhi kewajibannya serta menguasai segala hawa nafsu dan sifat egois agar tercipta keselarasan antara masyarakat dan alam semesta (Suseno, 1985). Masyarakat Jawa dalam menjalankan hidupnya agar tidak berlebihan dan berangan-angan tinggi serta senantiasa membentengi dirinya agar tidak hanyut dalam arus kehidupan yang dapat menjadikannya sebagai pribadinya yang tidak bermoral. Penerapan sikap ini dapat dilakukan pada seluruh aspek kehidupan baik dalam diri sendiri maupun saat bermasyarakat. Salah satunya adalah dalam bekerja.
ADVERTISEMENT
Bekerja merupakan suatu usaha untuk menghasilkan dan mencapai suatu hal yang memiliki dampak atau efek sesuai yang diinginkan. Erich Fromm (dalam Anshori, 2013) menyatakan bahwa bekerja merupakan salah satu bentuk dari pembuktian eksistensi seseorang agar manusia merasa berharga dalam hidupnya. Bekerja juga memiliki hubungan yang erat dengan aspek lain dalam kehidupan sehari-hari manusia seperti keluarga, kesenangan, agama, dan kehidupan komunitas. Pemaknaan individu akan suatu pekerjaan dipengaruhi nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Budaya yang berbeda akan menghasilkan perspektif yang berbeda mengenai bagaimana individu memaknai pekerjaannya. Implikasinya adalah aplikasi serta perilaku yang muncul pun akan berbeda antara individu yang tumbuh dan berkembang dalam suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Abdi dalem pengrawit di Keraton Surakarta Hadiningrat. Foto: Dokumentasi pribadi Alhasanah
Dewasa ini, kebanyakan orang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak agar dapat mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Pemikiran ini sangat bertolak belakang dengan para abdi dalem di Keraton yang tidak mengejar kemapanan hidup dengan mengedepankan loyalitas mereka meski tidak memperoleh hak yang seimbang dengan kewajiban yang harus dilakukan.Hal ini sesuai dengan ungkapan Jawa sepi ing pamrih, rame ing gawe. Bekerja sebagai seorang abdi dalem bukanlah untuk mencari penghidupan melainkan untuk memperoleh ketenangan hidup serta menunjukkan kesetiaan kepada keraton. Perasaan tulus dan ikhlas merupakan hal dasar yang harus dimiliki oleh para abdi dalem dalam menjalankan kewajibannya karena mereka tidak memperoleh keuntungan secara materi. Hal ini dikarenakan upah yang didapatkan para abdi dalem yang berasal dari Dana Keistimewaan (Danais) jumlahnya tidak besar, berdasarkan pangkat abdi dalem dan kebijakan Sultan. Pemberian gaji untuk para abdi dalem pun seringkali tidak pasti setiap bulan, bahkan ada pula yang tidak memperoleh gaji. Namun tidak ada protes yang diterima dari para abdi dalem serta keinginan untuk meninggalkan keraton. Para abdi dalem memilih untuk tetap mengabdi karena mereka percaya bahwa apa yang mereka kerjakan akan mendapatkan berkah dari Tuhan untuk kesejahteraan dan kemakmuran keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan oleh Sari & Brata (2020) menemukan bahwa para abdi dalem dalam menjalankan tugasnya merasakan suatu kebanggaan yang luar biasa yang membuat mereka tetap setia mengabdi kepada keraton. Pengabdian yang dilakukan oleh para abdi dalem merupakan perwujudan kesetiaan kepada Sultan dengan memprioritaskan perbuatan serta pemikirannya dengan rasa hormat, cinta, dan kasih sayang yang dilakukan dengan perasaan ikhlas. Hal yang menarik dari konsep pengabdian para abdi dalem ini adalah bagaimana mereka memaknai pekerjaannya sebagai seorang pembantu Sultan dengan motto “pejah gesang nderek Sultan” yang berarti abdi dalem telah memiliki niatan untuk mengabdi kepada sang Raja selama fisiknya masih kuat hingga akhir akhir hayatnya. Para abdi dalem memaknai pekerjaannya sebagai bentuk kontribusi kepada lingkungan sosial atau bentuk pelayanan pada diri sendiri dan orang lain (Aryandha & Elqadri, 2020). Mereka tidak memaknai sebagai sebuah pekerjaan karena bekerja sebagai abdi dalem bukan merupakan pendapatan pokok. Kecintaan akan budaya Jawa di tengah era globalisasi membuat mereka terpanggil dan ikut berkontribusi dalam melestarikan budaya Jawa bahkan dengan penghasilan yang kecil. Sesuai dengan ungkapan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, para abdi dalem menjalankan kewajibannya sebagai pembantu Sultan dengan rasa bangga dan kecintaannya akan budaya Jawa, bahkan dengan gaji yang kecil. Karena pengabdian merupakan hal yang utama bagi seorang abdi dalem.
ADVERTISEMENT
Referensi
Anshori, N. S. (2013). Makna kerja (meaning of work) suatu studi etnografi abdi dalem keraton ngayogyakarta hadiningrat daerah istimewa yogyakarta (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Aryandha, P. N., & Elqadri, Z. M. (2020). “Sendiko Dawuh Ngarso Dalem”(Studi Kasus Makna Kerja pada Abdi Dalem Punakawan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Bisman (Bisnis dan Manajemen): The Journal of Business and Management, 3(2), 102-110.
Sari, H. K., & Brata, N. T. (2020). Fungsi Dan Peran Abdi Dalem Di Keraton Kasunanan Surakata Hadiningrat. Solidarity: Journal of Education, Society and Culture, 9(2), 1053-1061.
Siswanto, D. (2010). Pengaruh pandangan hidup masyarakat Jawa terhadap model kepemimpinan (tinjauan filsafat sosial). Jurnal Filsafat, 20(3), 197-216.