Konten dari Pengguna

Fair Trade dan SukkhaCitta: Mengubah Wajah Fashion dengan Perdagangan Adil

Pande Made Indira Pradnyani
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Udayana
2 Juli 2024 12:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pande Made Indira Pradnyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
FOTO: Instagram / @SukkhaCitta
zoom-in-whitePerbesar
FOTO: Instagram / @SukkhaCitta
ADVERTISEMENT
Whether fashion can ever be fair
Industri fashion di Indonesia saat ini menghadapi situasi kritis karena banyak pabrik tekstil yang tutup dan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan akibat penurunan permintaan global serta banjirnya produk impor dari Tiongkok (BBC News Indonesia, 2024). 
ADVERTISEMENT
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan bahwa pasar global yang lesu dan konflik geopolitik telah mempengaruhi industri tekstil Indonesia secara serius. Meskipun pemerintah berencana memberlakukan tarif bea masuk sebesar 200% terhadap produk impor dari Tiongkok sebagai langkah perlindungan, para pengamat industri, vseperti Rizal Tanzil Rahman, mengkritik kebijakan impor yang terlalu longgar tanpa mempertimbangkan kondisi darurat industri dalam negeri. Hal tersebut berdampak pada pemutusan hubungan kerja secara masal, hingga saat ini terdapat 10 perusahaan yang sudah melakukan PHK massal.
Sejak Januari hingga awal Juni 2024, tercatat 13.800 orang pekerja pabrik tekstil yang diputuskan hubungan kerjanya, angka tersebut diampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristandi, kepada detikcom.
Pemerintah Indonesia berupaya untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif produk impor yang membanjiri pasar. Langkah pengenaan tarif bea masuk yang tinggi terhadap barang impor dari Tiongkok, seperti yang diusulkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dimaksudkan untuk menciptakan kondisi persaingan yang lebih adil bagi produsen lokal. Hal ini sejalan dengan prinsip fair trade yang mengadvokasi keadilan dalam perdagangan internasional, dengan memastikan bahwa produk-produk lokal tidak terpinggirkan oleh impor dengan harga lebih murah dan subsidi yang besar dari negara-negara lain (BBC News Indonesia, 2024). 
ADVERTISEMENT
Namun, Fair Trade juga berarti memberikan perlindungan kepada industri domestik untuk tetap dapat bersaing dan bertahan dalam menghadapi arus barang impor yang deras, terutama dalam sektor tekstil, pakaian jadi, dan barang konsumsi lainnya. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi lapangan kerja dalam industri-industri tersebut tetapi juga untuk memastikan kedaulatan ekonomi negara dalam mengelola pasar domestiknya. 
Secara keseluruhan, upaya pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan fair trade melalui pengenaan tarif bea masuk yang adil merupakan respons terhadap dinamika global dalam perdagangan internasional, dengan mempertimbangkan baik kepentingan produsen lokal maupun kebutuhan konsumen domestik.
Kilas balik keadilan di dunia fashion
Industri fashion memiliki sejarah yang kompleks dan sering kali tidak adil, dimulai dari zaman kolonial. Rantai pasokan tekstil yang panjang diciptakan oleh kekuatan kolonial, yang menghasilkan keuntungan besar bagi pria kulit putih atas kerja keras perempuan kulit hitam dan cokelat (Beckert, 2014). Kontrol patriarki terhadap perempuan juga sentral dalam industri ini, dimana mereka tidak hanya menjadi tenaga kerja utama dalam menanam dan memanen kapas, tetapi juga dalam menjahit, menjual, dan memodelkan pakaian.
ADVERTISEMENT
Sejarah fashion menunjukkan pergeseran signifikan sejak tahun 1970-an, ketika produksi pindah dari negara-negara seperti AS dan Inggris ke negara-negara dengan upah rendah di dunia berkembang. Hal ini dipengaruhi oleh strategi promosi ekspor dari negara-negara inti dan perjanjian perdagangan yang mendukungnya. Meskipun dianggap sebagai peluang pekerjaan untuk perempuan, ini juga menciptakan kelas pekerja perempuan di negara-negara pinggiran yang sering kali dibiarkan terbelakang (Athreya, 2022).
Di Asia Timur, terutama di Taiwan, Korea Selatan, dan negara-negara lainnya, pertumbuhan ekonomi cepat dimulai pada akhir 1970-an dan awal 1980-an berkat tenaga kerja perempuan yang tersedia secara melimpah. Sejak itu, perempuan telah menjadi lebih dari separuh tenaga kerja manufaktur ringan di seluruh dunia (Cirera & Lakshman, 2017). Namun, diskusi ini juga menyoroti bahwa meskipun ada klaim bahwa pekerjaan ini meningkatkan status perempuan, sistem ini sebenarnya mempertahankan kontrol yang kuat atas pekerja perempuan, terutama di rantai pasokan global. Hal ini menggambarkan pola hubungan inti-periferi di mana produsen di negara-negara pinggiran sering kali dikuasai oleh korporasi besar dari negara-negara inti seperti AS dan Uni Eropa (Athreya, 2022).
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, industri pakaian global mencerminkan kompleksitas dan ketidakadilan dalam ekonomi global, di mana pekerja perempuan sering kali menjadi tulang punggung industri tetapi juga sering kali menjadi korban dari sistem yang tidak selalu adil.
Praktik fair trade dalam Industri Fashion Domestik dari brand SukkhaCitta
FOTO: Instagram / @SukkhaCitta.
Dengan banyaknya masalah di industri fashion, serta sejarah panjang ketidakadilan di dalamnya, lantas apakah ada praktik baik fair trade di industri fashion?
Salah satu brand fashion di Indonesia, SukkhaCitta, adalah contoh yang tepat dalam penerapan fair trade di Indonesia. SukkhaCitta adalah social enterprise yang bergerak di bidang fashion dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para pengrajin tekstil di pedesaan Indonesia. 
Nama "SukkhaCitta" berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kebahagiaan, juga diadaptasi menjadi "sukacita" dalam bahasa Indonesia. Ini mencerminkan misi SukkhaCitta untuk menciptakan dan menyebarkan kebahagiaan melalui setiap kain dan pakaian yang mereka jual (Gumulya, 2019). 
ADVERTISEMENT
SukkhaCitta mewakili sebuah inisiatif yang mencerminkan prinsip-prinsip fair trade dalam praktik bisnisnya. Berfokus pada meningkatkan kesejahteraan pengrajin pedesaan di Indonesia, SukkhaCitta berkomitmen untuk memastikan bahwa para pengrajin mendapatkan penghasilan yang layak. Pendekatan ini tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi, tetapi juga mempertahankan keahlian tradisional mereka. Melalui memberikan akses ke pengetahuan dan pasar, SukkhaCitta tidak hanya menciptakan kesempatan untuk peningkatan ekonomi, tetapi juga untuk pelestarian budaya lokal.
Tagline #MadeRight yang diusung SukkhaCitta mencerminkan komitmennya terhadap upah yang adil, praktik lingkungan yang berkelanjutan, dan pelestarian budaya. Hal ini tidak hanya menggalang dukungan untuk pengrajin lokal, tetapi juga mempromosikan kesadaran akan pentingnya praktik bisnis yang bertanggung jawab dan berkelanjutan di sektor fashion dan kerajinan tangan. Dengan demikian, SukkhaCitta tidak hanya menciptakan produk berkualitas, tetapi juga memberikan kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SukkhaCitta menegaskan komitmennya terhadap prinsip-prinsip fair trade melalui produk-produknya yang diberi label "Made by Ibus." Mereka mengatakan bahwa 56% dari hasil penjualan langsung diperuntukkan bagi desa-desa mereka, “untuk mendukung upah yang adil, pelatihan, serta komunitas pertanian yang turut mengembangkan pakaian” (SukkhaCitta, n.d.). 
Dengan ini, penghasilan bulanan para pengrajin dapat meningkat menjadi 60%. Di Desa Gaji, Sukkhacitta telah memulai koperasi tenun pertamanya. Mereka mendukung pengrajin dengan memberikan upah yang mencukupi untuk kehidupan sehari-hari, sambil mengajarkan wanita desa untuk mengembangkan kembali keterampilan kerajinan yang hampir punah ini. Sukhacitta menerapkan prinsip #MadeRight, yang bertujuan untuk memastikan pengrajin mereka mendapatkan penghasilan yang adil, mempromosikan desain yang berkelanjutan, dan melestarikan budaya melalui setiap produk yang dijual (SukkhaCitta, n.d.). 
FOTO: Instagram / @SukkhaCitta.
Analisis fair trade dapat dilihat dari beberapa aspek implementasi mereka dalam model One Village One Collection di empat desa binaannya di Jawa Tengah. Pertama-tama, Sukkhacitta memberdayakan komunitas lokal dengan memberikan pelatihan bisnis dasar dan keterampilan kerajinan kepada perempuan yang sebelumnya pengangguran atau bekerja di sawah di Desa Jlamprang. Hal ini tidak hanya meningkatkan keterampilan mereka dalam pembuatan batik tetapi juga memberikan mereka sumber penghasilan yang stabil.
ADVERTISEMENT
Kedua, di Desa Medono, Sukkhacitta menaikkan upah untuk 8 penenun dan meningkatkan status tekstil tenun tangan di pasar modern. Tindakan ini tidak hanya memastikan pengrajin mendapatkan upah yang layak tetapi juga memperkuat keberlangsungan kerajinan tenun tradisional di era pasar global yang kompetitif. 
Ketiga, di Desa Gesikharjo, Sukkhacitta fokus pada pengembangan kapasitas dalam menggunakan pewarna alami. Mereka memberikan pelatihan dan investasi dalam alat dan bahan untuk mengurangi ketergantungan pada pewarna sintetis. Langkah ini menghadirkan praktik produksi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, sekaligus mempromosikan nilai-nilai lingkungan dalam produksi tekstil. Upaya-upaya tersebut berhasil menaikkan penghasilan pengrajin sebesar 60% (Gumulya, 2019). 
FOTO: Denica Riadini / SukkhaCitta.
Secara keseluruhan, praktik fair trade oleh Sukkhacitta bukan hanya tentang menciptakan produk yang adil dan berkelanjutan tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berdaya. Terlebih, rantai paling kecil mendapatkan dampak yang positif dalam proses perdagangan. Langkah-langkah ini mendukung visi untuk menjaga keseimbangan antara keadilan ekonomi global dan pelestarian budaya lokal dalam industri fashion, memberikan contoh yang inspiratif bagi industri lain untuk mengikuti jejak yang sama dalam menciptakan dampak positif dalam masyarakat. 
ADVERTISEMENT
Sumber Referensi
Athreya, B. (2022). Can fashion ever be fair? Source: Journal of Fair Trade, 3(2), 16–27. https://doi.org/10.2307/48676228
BBC News Indonesia. (2024). Produk China membanjiri Indonesia, puluhan pabrik tekstil tutup dan badai PHK - “Kondisi industri tekstil sudah darurat.” Https://Www.Bbc.Com/Indonesia/Articles/Cmj2n2kxkgdo.
Beckert, S. (2014). Empire of cotton: A global history. Vintage Books.
Gumulya, D. (2019). Kajian Studi Kasus Social Enterprise dari Sudut Pandang Konsep Design for Happiness. Idea Jurnal Desain, 1411–3023.
Sukkhacitta. (n.d.). Support Our Work. Https://Www.Rumahsukkhacitta.Org/Get-Involved.