Konten dari Pengguna

Dilema Ujian Sekolah Berbasis Komputer : Fasilitas Belum Siap atau Manusianya?

Alesandra Putri
Saya merupakan mahasiwa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang sejak SMA suka menulis di laman blog.
15 Oktober 2024 14:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alesandra Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Contoh penggunaan salah satu laman ujian berbasis komputer. Foto tidak terafiliasi dengan cerita pada laman ini. Sumber : foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Contoh penggunaan salah satu laman ujian berbasis komputer. Foto tidak terafiliasi dengan cerita pada laman ini. Sumber : foto pribadi
ADVERTISEMENT
Di era serba digital ini, banyak dorongan kepada instansi pendidikan untuk melakukan ujian berbasis komputer yang menimbulkan dilema dalam pelaksanaannya. Ujian berbasis komputer, terutama pada tingkat sekolah, merupakan penyesuaian bidang pendidikan terhadap IPTEK perkembangan (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ). Ujian berbasis komputer dianggap lebih praktis dan hemat waktu karena murid tidak perlu mengisi ulang jawaban ujian dan guru tidak perlu mengoreksi kertas ujian satu per satu. Hal ini juga bertujuan untuk mewujudkan pembelajaran ramah lingkungan dengan melaksanakan secara paperless. Akan tetapi, muncul beberapa dilema dalam pelaksanaannya. Tidak meratanya fasilitas di beberapa daerah menyebabkan tidak dapat diadakannya ujian berbasis komputer. Hal yang lebih mengkhawatirkan, yaitu beberapa tenaga pendidik juga berpendapat bahwa siswa belum siap dalam menghadapi perubahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pengalaman saya akan menjadi penjelas terkait dilema yang dialami oleh guru dalam pelaksanaan terkait ujian sekolah berbasis komputer. Pengalaman ini merupakan pengalaman pribadi yang dibentuk dalam narasi dan saya alami saat saya menduduki kelas XI atau kelas 2 SMA dengan di suatu sekolah yang menggunakan kurikulum merdeka. Karena saya menggunakan kurikulum merdeka, saya memakai sistem mata pelajaran pilihan. Setiap orang memiliki ujian yang berbeda walaupun berada di satu ruangan yang sama. Setiap hari, kami memasuki ruang ujian bersama dengan orang-orang yang tidak dikenal. Pada saat selesai ujian, skor yang dimiliki teman-teman saya hanya berbeda 2-5 poin. Nilai yang dimiliki teman-teman saya selalu mirip dengan nilai saya. Faktanya, mereka menggunakan akun yang sudah dibagikan untuk memasuki akun ujian saya dan memindahkan jawaban. Itu menjadi alasan dibalik mengapa akun saya selalu logout setiap berpindah soal. Semua ini bekerja seperti rantai. Mulai dari akun saya sampai kepada akun orang-orang yang mengambil mata pelajaran yang sama. Intinya, teman-teman yang memilih mata pelajaran yang sama dengan saya mengisi ujian mereka dengan jawaban saya tanpa izin.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ada belasan sampai puluhan orang masuk ke akun yang sama pada waktu yang bersamaan saat ujian.Tentunya akan ada kesalahan teknis pada laman ujian. Saya merasa kecewa karena saya pikir semuanya memiliki kesulitan yang sama dalam menghadapi kurikulum merdeka di sekolah. Singkatnya, mereka tidak perlu belajar dan hanya perlu mengambil jawaban saya pada saat ujian.
Semua rasa kekecewaan itu akan selalu ada selama kita masih berhubungan dengan manusia, sebut ibu saya. Saya kecewa bukan karena jawaban saya diambil tetapi karena saya dibiarkan tidak tahu apa-apa. Menghargai diri sendiri bukanlah hal yang dapat terbentuk dengan sendirinya. Saya dapat menyadari hal tersebut dari kejadian ini. Masalah nilai mereka yang lebih tinggi, saya tidak masalah. Saya paling paham dengan proses diri saya sendiri dan itu sudah cukup. Saya menjadi jatuh cinta dengan proses saya sendiri selama di sekolah. Saya akan mengingat dan memaknai semua perjuangan saya lebih dari sebelumnya. Alasan saya untuk tetap jujur dan berjuang menjadi semakin kuat setelah melewati kejadian ini.
ADVERTISEMENT
Saya meyakini bahwa hal tersebut terjadi karena tidak adanya kepercayaan diri yang berakhir dengan kegagalan karakter. Untuk saya sendiri, hal tersebut terjadi karena kurangnya kehati-hatian. Remedial di sekolah saya adakah hal yang mungkin dilakukan. Penambahan poin kredit juga mungkin walaupun sulit.
Pengalaman ini bukan hanya sekadar keresahan terhadap kesalahan teknis biasa, melainkan juga rasa kekecewaan terhadap dekadensi moral dan karakter yang ada di dunia pendidikan. Saya tidak berfokus pada bagaimana cara yang paling efektif agar teman-teman siswa tidak curang. Saya tidak berfokus pada sistem ujian yang seharusnya dirancang lebih aman. Saya tidak berfokus pada fasilitas laman ujian yang rusak. Saya berfokus pada betapa rusaknya karakter sehingga kejujuran menjadi minoritas. Nilai jujur menjadi nilai karakter yang langka dan seharusnya lebih diapresiasi. Jujur akan terasa pahit bagi yang menjalani, tetapi manis di ujung nanti. Pada saat itu, saya bersedih karena merasa dibodohi. Akan tetapi, saya sekarang diterima di jurusan dan universitas yang saya inginkan. Jadi, dilema yang sebenarnya adalah karena fasilitas yang belum siap atau manusianya? Atau bahkan kedua-duanya.
ADVERTISEMENT