Konten dari Pengguna

Fair Trade: Praktik Keadilan atau Komersialisasi yang Dibalut Keadilan?

Zakharia Billy Aprilius Simatupang
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Udayana
4 Juli 2024 15:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zakharia Billy Aprilius Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.freepik.com/free-vector/business-ethics-concept-illustration_11241607.htm#fromView=search&page=1&position=1&uuid=e776ac81-5bb0-4505-8538-86c59b8a9db9
zoom-in-whitePerbesar
https://www.freepik.com/free-vector/business-ethics-concept-illustration_11241607.htm#fromView=search&page=1&position=1&uuid=e776ac81-5bb0-4505-8538-86c59b8a9db9
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejarah Umum Fair Trade
Secara historis, free trade lahir dari seorang yang bernama Edna Ruth Byler. Pada tahun 1946 ia menjadi salah satu relawan Mennonite Central Committee (MCC). Saat itu ia melakukan perjalanan ke Puerto Rico dan menemukan seorang perempuan yang bekerja sebagai pengrajin renda, kemudian ia memiliki ide untuk menjadi “penghubung” antara pengrajin dan pasar yang pada saat itu pasarnya adalah Amerika Serikat. Dalam perkembangannya, ia menjadi perusahaan fair trade di Amerika Utara dan sudah bekerja sama dengan 10.000 desa (Fair Trade Federation, N.D)
ADVERTISEMENT
Pada akhir 1970-an, pengusaha yang berasal dari Amerika Serikat dan Kanada melakukan pertemuan guna mendiskusikan mengenai pertukaran ide, dan koneksi. Pertemuan ini bernama North American Alternative Trade Organization (NAATO) yang dalam perkembangannya menjadi Fair Trade Federation. Tidak hanya di benua Amerika, munculnya organisasi fair trade juga dialami di benua Eropa, pada tahun 1988, solidaridad dan organisasi petani yakni The Union of Indigenous Communities of the Isthmus Region (UCIRI) menciptakan sebuah sertifikat fair trade. Alasan dari terciptanya sertifikat fair trade ini didasari pada harga kopi yang pada saat itu menurun dan dengan sertifikasi fair trade akan menjadi naik kembali. Rincian dari sertifikat tersebut adalah mengatur mengenai standarisasi, inspeksi dan keadaan petani pada saat itu. Hal ini ditujukan untuk menyesuaikan dengan standar kualitas pasar pada saat itu. Dapat dikatakan bahwa fair trade lahir karena dua alasan yakni untuk meningkatkan pendapatan yang membuat produk tersebut seperti petani atau pengrajin serta untuk mendapatkan akses penjualan karena memerlukan sejumlah standar penting (Fair Trade Federation, N.D).
ADVERTISEMENT
Tujuan Praktik Fair Trade
Sebagaimana telah disebutkan, tujuan awal dari fair trade adalah untuk memberikan akses yang lebih besar kepada pengrajin dengan membawa produk mereka ke pasar yang lebih besar dan menyesuaikan standar kualitas produk yang diinginkan oleh pasar. Namun dalam perkembangannya tujuan dari fair trade tidak “sesederhana itu”. Sejak abad ke-20, fair trade memperluas sertifikasinya dalam berbagai produk seperti pada produk olahraga, mainan, baju, produksi bahan baku, pariwisata, hingga produk rumah. Berbagai produk tersebut dimasukan ke dalam fair trade dengan tujuan untuk mensejahterakan para pembuat dari berbagai macam produk tersebut (Fair Trade Federation, N.D). Tidak hanya itu, fair trade memperluas indikatornya; antara lain melihat apakah produk tersebut ramah lingkungan, apakah produk tersebut memberikan penghasilan yang merata bagi semua pengrajin, dan apakah tempat produksi dari produk tersebut memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki (Fair Trade Foundation, N.D). Dapat dikatakan bahwa, fair trade memiliki tujuan mulia untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia, dan memberikan keadilan bagi alam.
ADVERTISEMENT
Namun terdapat hal yang menjadi pertanyaan, apakah fair trade benar-benar “fair” atau hanya suatu produk yang “dimahalkan” dan di balut dengan istilah mensejahterakan para pembuat dari produk tersebut yang memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Argumentasi ini muncul karena berbagai perusahaan besar yang memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin memperluas pemetaan bisnis mereka. Hal ini menjadi sebuah tanda tanya, apakah perusahaan besar dapat menerapkan fair trade sesuai dengan tujuan awal atau terdapat hal yang “dirubah” (Bondarenko, 2024).
Praktik Fair Trade, idealis atau realistis?
Sebagaimana telah dijelaskan, fair trade memiliki tujuan mulia yakni untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi manusia dan alam. Namun dengan standar yang sangat tinggi tersebut apakah semua perusahaan melakukan fair trade dengan standar yang telah ditentukan. World Fair Trade Organization (WFTO), sebagai organisasi terbesar mengatur mengenai siapa yang layan dan tidak layak menerima sertifikasi fair trade. Berbagai aturan dasar seperti kelayakan penghasilan pengrajin, kesetaraan penghasilan antar pengrajin; kemudian aturan “tingkat lanjut” seperti apakah produk ini ramah lingkungan, apakah yayasan atau perusahaan yang mengajukan sertifikasi fair trade sudah memberikan kesejahteraan bagi sekitarnya seperti mempekerjakan masyarakat setempat, mempekerjakan kaum marginal, atau melakukan program sosial (WFTO, 2023).
ADVERTISEMENT
Namun dalam praktiknya fair trade seringkali menemui kejanggalan seperti harga sertifikasi fair trade yang mahal. Hal ini berdampak pada sulitnya produsen kecil untuk mendapatkan sertifikasi fair trade. Kemudian monitoring situasi lapangan, asumsi ini muncul karena para pengawas fair trade tidak selalu berada di tempat. Tidak adanya monitoring yang dilakukan setiap hari berdampak pada asumsi ketika sudah mendapatkan sertifikasi fairtrade dapat melakukan sesuka hati. Berbagai laporan mengkritik praktik yang dilakukan oleh banyak petani atau produsen yang menghindari peraturan upah minimum atau menjual produk biasa sebagai produk fair trade tanpa sertifikasi. Kritiknya adalah bahwa sistem ini tanpa disadari memberikan insentif untuk mengelabui dan menipu. Tidak hanya itu, fair trade seringkali memberikan kesempatan kedua bagi para produsen, seperti ketika terdapat beberapa kekurangan WFTO akan memberikan sertifikasi namun dengan beberapa catatan. Jika dilihat secara realistis, apakah hal ini dapat dikatakan pratik fair trade atau praktik bisnis yang dibungkus fair trade. Hal ini membawa asumsi berapa persen produk tersebut adalah fair trade dan berapa persen yang tidak fair trade (Franzi, 2022).
ADVERTISEMENT
Konsep Institusional Decoupling
Secara sederhana, konsep ini menjelaskan mengenai perusahaan atau organisasi yang mengikuti kebijakan atau aturan yang dibentuk oleh pihak “atas” dengan tujuan hanya untuk memenuhi standar. Tujuan utama dari pemenuhan secara formalitas ini adalah untuk mendapatkan perhatian atau exposure sehingga para pelanggan meminati produk yang diberikan oleh perusahaan. Dalam tulisan berjudul “The Institutional Consequences of Decoupling Exposure” menjelaskan mengenai situasi yang tidak menguntungkan ketika tidak mengikuti aturan yang dibentuk oleh “pihak atas” adalah perhatian dari publik serta mendapatkan tuntutan dari para aktivis dalam arti lain apakah produk ini sudah keberlanjutan atau sudah memberikan kesempatan bagi para kaum marginal atau yang lainnya (Hensel et al, 2019).
Konsep ini sesuai dengan keadaan free trade saat ini, tidak semua memiliki tujuan untuk “pemenuhan saja” tetapi ada perusahaan atau yayasan yang memenuhi standar minimum dari fair trade dengan tujuan untuk memperoleh sertifikasinya sehingga dapat menjual dengan harga mahal dan mendapatkan exposure dari para pelanggan. Kritik ini muncul ketika WFTO memberikan kesempatan bagi para perusahaan atau yayasan yang mengajukan sertifikasi fair trade terhadap produknya namun dengan standar minim. Hasilnya diberikan beberapa catatan dan diminta untuk memperbaikinya dalam kurun 2 tahun atau 4 tahun. Namun ketika tidak ada perbaikan atau pemenuhan dari perusahaan atau yayasan yang mengajukan fair trade, apakah WFTO mencabut izin fair trade tersebut. Hal ini menjadi sebuah tanda tanya bagi kita semua para pelanggan atau pemakai produk fair trade.
ADVERTISEMENT
Dapat dikatakan bahwa fair trade memiliki tujuan yang mulia yakni untuk mensejahterakan manusia dari segala sisi, dan memberikan kelestarian lingkungan. Namun dalam praktiknya fair trade seringkali digunakan sebagai alat untuk mendapatkan perhatian atau exposure dan untuk menerapkan hal tersebut perusahaan atau yayasan yang mengajukan sertifikasi hanya memenuhi standar minimum dan diterima oleh WFTO namun terdapat catatan yang diberikan dan harus diperbaiki dalam kurun 2 tahun atau 4 tahun. Tetapi ketika dalam kurun waktu 2 atau 4 tahun perusahaan tidak memiliki perbaikan, apakah WFTO akan mencabut sertifikasi dari produk yang sebelumnya telah disertifikasi.
Daftar Pustaka:
Bondarenko, Peter.. (2024). fair trade. Diakses pada tanggal 4 Juli 2024 dari https://www.britannica.com/money/fair-trade
ADVERTISEMENT
Fair Trade Federation. (N.D). A Brief History of Fair Trade. Diakses pada 4 Juli 2024 dari https://www.fairtradefederation.org/resources/a-brief-history-of-fair-trade/
Fair Trade Foundation. (N.D). Why does Fairtrade mean sustainable trade?. Diakses pada 4 Juli 2024 dari https://www.fairtrade.org.uk/what-is-fairtrade/fairtrade-and-sustainability/
Franzi. (2022). WHAT IS THE CRITICISM OF THE FAIRTRADE SYSTEM. Diakses pada 4 Juli 2024 dari https://www.theyo.de/en/blogs/theyorie/fairtrade-kritik
Hensel, Przemyslaw., Guerard, S. (2019). The institutional consequences of decoupling exposure. Diakses pada 4 Juli 2024 dari https://www.researchgate.net/publication/331327635_The_institutional_consequences_of_decoupling_exposure
WFTO. (2023). THE WFTO FAIR TRADE STANDARD. Diakses pada tanggal 4 Juli 2024 dari https://wfto.com/wp-content/uploads/2023/08/2023_1_WFTO-Fair-Trade-Standard-1.pdf