Konten dari Pengguna

Pelanggaran HAM Berat di Indonesia Pada Masa Orde Baru Pemerintahan Soeharto

Komang Ryonninggrat Titania
Saya mahasiswa Universita Udayana dengan program studi Hubungan Internasional semester 6
27 Juni 2024 15:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Komang Ryonninggrat Titania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demo Pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung. By: canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demo Pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung. By: canva
ADVERTISEMENT
Peristiwa Talangsari 1989 adalah sebuah insiden yang terjadi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya dikenal sebagai bagian dari Kabupaten Lampung Tengah), pada tanggal 7 Februari 1989. Kejadian ini melibatkan konfrontasi antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan setempat. (Wanto, 2009)
ADVERTISEMENT
Warsidi, yang juga merupakan pemimpin dan pemilik lahan di Talangsari, diangkat sebagai Imam oleh Nurhidayat dan kelompoknya. Selain senioritasnya, Warsidi memimpin komunitas Talangsari yang awalnya hanya terdiri dari beberapa orang. Peristiwa ini tidak hanya menjadi salah satu dari sejumlah kekerasan yang diwariskan oleh pemerintahan Orde Baru, tetapi juga menjadi hasil dari penerapan asas tunggal Pancasila seperti yang tercermin dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Meskipun kontroversial, banyak masyarakat yang lupa akan peristiwa ini, yang sering kali dianggap sebagai tindakan pemberontakan dan dilabeli sebagai kelompok yang menyimpang oleh sebagian orang.
Peristiwa Talangsari bukan hanya sekadar masalah agama, melainkan juga mencerminkan ketidakmampuan aparat negara dalam menerima kritik dan perbedaan pendapat. Sejarah Talangsari 1989 dimulai dengan penerimaan surat dari Kepala Dukuh Karangsari pada 1 Februari 1989 kepada Komandan Koramil (Danramil) Way JePara, Kapten Soetiman, yang melaporkan kegiatan mencurigakan di wilayah tersebut yang melibatkan Warsidi dan kelompok pengajian Komando Mujahidin Fisabilillah di Desa Rajabasa Lama. Pada 6 Februari 1989, Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) dipimpin oleh Kapten Soetiman berusaha meminta klarifikasi dari Warsidi dan pengikutnya. Rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, yang dipimpin oleh Mayor Sinaga, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah, terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Letnan Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta anggota Koramil dan hansip, berjumlah sekitar 20 orang. Kedatangan mereka memicu kesalahpahaman yang mengakibatkan bentrokan mematikan, di mana Kapten Soetiman tewas.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 7 Februari 1989, sekitar pukul 4.00 dinihari menjelang subuh, terjadi serangan di bawah kendali Komando Korem Garuda Hitam 043 terhadap Jama’ah Pondok Pesantren pengajian Warsidi di Umbul Cihideung, Dusun Talangsari. Saat serangan terjadi, jama’ah yang berkumpul dari berbagai tempat untuk mengikuti pengajian besar-besaran pagi itu diserang dengan tembakan secara brutal dan rumah panggung tempat mereka tinggal diduga dibakar oleh tentara. Banyak dari mereka termasuk bayi, anak-anak, ibu hamil, remaja, dan orang tua yang tidak diketahui keberadaannya, dengan jumlah minimal 246 jama’ah yang dilaporkan hilang. Ratusan orang mengalami penyiksaan, penangkapan, penahanan, dan pengadilan yang sewenang-wenang, termasuk perempuan dan anak-anak. Dusun Talangsari, yang merupakan tempat peristiwa tragis ini, kemudian ditutup dan dikuasai oleh Korem Garuda Hitam.
ADVERTISEMENT
Kematian Kapten Soetiman memicu tindakan keras dari Danrem 043 Garuda Hitam Lampung, Kolonel AM Hendropriyono, yang menggerakkan 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob untuk menyerbu pusat aktivitas kelompok Warsidi di Cihideung pada 7 Februari 1989. Serangan ini berakibat fatal bagi penduduk sipil, dengan laporan korban yang bervariasi menurut sumbernya. Menurut Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), setidaknya 246 penduduk tewas, sementara Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 47 jenazah teridentifikasi dan 88 orang lainnya hilang. Sumber lain, seperti buku "Talangsari 1989: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung" menunjukkan jumlah korban lebih dari 300 orang.
Kelompok Warsidi banyak mengkritik pemerintahan Orde Baru yang dianggap gagal dalam memenuhi kebutuhan rakyat dan mengecam asas tunggal Pancasila sebagai penyebab utama kemelaratan di Indonesia. Mereka menuntut keadilan ekonomi dan sosial serta hak untuk mengemukakan pendapat tanpa hambatan dari aparat negara. Respons terhadap peristiwa Talangsari oleh pemerintah, khususnya dalam menangani aspek HAM, masih menjadi perdebatan dan sumber ketidakpuasan di kalangan kelompok aktivis dan keluarga korban.
ADVERTISEMENT
Kekejaman yang terjadi dalam Peristiwa Talangsari merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto yang keras terhadap warga sipil. Serangan militer ini diikuti dengan justifikasi, penangkapan, penyiksaan, penahanan, dan pengadilan terhadap mereka yang dianggap terlibat. Menurut hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2006, terdapat dugaan pelanggaran HAM berat yang meliputi pembunuhan terhadap 130 orang, pengusiran paksa terhadap 77 orang, pembatasan kebebasan terhadap 53 orang, penyiksaan terhadap 46 orang, dan penganiayaan atau persekusi terhadap setidaknya 229 orang. Meskipun Umbul Cihideung, Dusun Talangsari kini telah dibuka dan ditempati kembali, namun kondisi pembangunannya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan dusun-dusun di sekitarnya. Infrastruktur seperti listrik belum tersedia di Dusun Talangsari, sementara akses jalan, air bersih, kesehatan, dan pendidikan masih belum memadai. Para korban dan keluarganya juga masih mengalami stigmatisasi negatif, dituduh sebagai teroris dan anti nasionalis. Sejak peristiwa tersebut, mereka terus menerima tekanan psikologis yang berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 2011, Presiden membentuk tim untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Peristiwa Talangsari, namun hingga Januari 2012 belum ada kemajuan signifikan dari tim ini dalam menyelesaikan kasus tersebut. Komisi III DPR RI telah berusaha mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti penyelesaian peristiwa Talangsari, tetapi langkah nyata untuk memenuhi kewajiban terhadap korban dan keadilan belum terlaksana dengan baik. Sementara itu, Jaksa Agung belum memulai penyidikan dengan alasan penelitian yang masih berlangsung di Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM berat dan pertimbangan legal formal lainnya. Korban, seperti yang diungkapkan oleh Amir, merasa bahwa hak-hak mereka diabaikan oleh pemerintah saat ini, meskipun Komnas HAM telah mengidentifikasi adanya pelanggaran HAM dalam peristiwa Talangsari.
Pengalaman dari peristiwa Talangsari 1989 harus menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam membangun negara yang menghormati hak asasi manusia, menerima keberagaman, dan memastikan perlindungan bagi semua warganya. Semua ini menjadi kunci bagi pembangunan masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi semua warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Wanto, T. (2009). Peristiwa Talangsari 7 February 1989 Dalam Pandangan Surat Kabar Kompas dan Lampung Post (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia).