Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Guru sebagai Role Model dan “Perannya” dalam “Menghalangi Kebebasan Berekspresi”
13 Februari 2025 11:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fanny Yolan Tamba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber : Dokumentasi Pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkwrcczb4xqbvgq8xymk15a4.png)
ADVERTISEMENT
Media sosial akhir-akhir ini diramaikan oleh isu peran guru yang dianggap menghalangi kebebasan berekspresi. Hal ini bermula dengan tren posting-an menyimpan alat-alat kosmetik di sekolah oleh sebagian siswi di tingkat SMA. Motifnya bermacam-macam, mulai dari menyembunyikan alat kosmetik di lemari kelas agar tidak tertangkap razia OSIS, hingga alasan kepraktisan karena alat kosmetik tersebut dibeli secara patungan dan digunakan bersama. Ada pula siswi yang memilih meninggalkan kosmetik di sekolah untuk menghindari kerepotan membawanya pulang. Padahal, di sebagian besar SMA, membawa alat-alat kosmetik ke sekolah tidak diperbolehkan. Guru di sekolah sering kali harus menghadapi tantangan ini dengan menjelaskan pentingnya aturan tersebut kepada siswa.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, siswa laki-laki menghadapi isu bercukur yang nampaknya menjadi masalah sepanjang masa. Beberapa siswa memang sudah patuh pada aturan bercukur yang ditetapkan sekolah, tetapi tidak sedikit pula yang melanggar, menganggap model rambut tidak relevan dengan proses pembelajaran. Fenomena ini mencerminkan bagaimana siswa sering kali menentang aturan sekolah yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi atau tidak sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari.
Perkembangan teknologi dan media sosial yang semakin mempercepat penyebaran isu-isu seperti ini memicu perdebatan di kalangan netizen yang terpolarisasi menjadi dua kubu. Netizen yang mendukung kebebasan siswa berpendapat bahwa larangan membawa alat kosmetik atau aturan bercukur tidak esensial karena tidak memengaruhi proses pembelajaran. Mereka berargumen bahwa menggunakan kosmetik dapat meningkatkan kepercayaan diri dan membantu siswa beradaptasi dalam lingkungan sosial sekolah. Demikian pula, aturan bercukur dianggap tidak lebih dari kontrol fisik yang menghalangi kenyamanan pribadi.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kubu yang mendukung aturan sekolah menilai bahwa peraturan tersebut mudah dipatuhi dan memiliki tujuan untuk menciptakan kedisiplinan. Mereka berpendapat bahwa aturan ini penting untuk menjaga keseragaman dan suasana belajar yang kondusif. Namun, kedua kubu tampaknya sepakat bahwa peran guru menjadi elemen kunci dalam implementasi aturan sekolah, baik sebagai pembimbing maupun teladan yang dapat menjelaskan alasan di balik peraturan tersebut secara bijaksana.
Dalam fase akil balik, siswa mengalami perubahan emosional yang signifikan, termasuk keinginan untuk berekspresi, mencoba hal-hal baru, dan sering kali menolak aturan sebagai bagian dari pencarian jati diri. Kebebasan berekspresi ini, meskipun penting, dapat bertentangan dengan norma dan kedisiplinan di sekolah. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan kurikulum pendidikan karakter melalui Kurikulum 2013.
ADVERTISEMENT
Pendidikan karakter dirancang untuk membantu siswa mengenali dan mengatur emosi mereka, sekaligus membangun nilai-nilai seperti tanggung jawab dan penghormatan terhadap aturan. Dalam konteks ini, guru memegang peranan sentral sebagai fasilitator dan teladan yang harus membantu siswa mengintegrasikan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab sosial. Tantangan ini menuntut guru untuk menjadi pendidik sekaligus model bagi siswa dalam menyeimbangkan kebebasan dan disiplin.
Guru adalah role model bagi siswa di sekolah. Mereka tidak hanya menegakkan aturan tetapi juga membantu siswa memahami alasan di balik adanya aturan tersebut. Kebebasan berekspresi merupakan bagian penting dari perkembangan individu, terutama pada usia remaja ketika siswa membentuk identitas diri. Namun, kebebasan ini harus dibingkai dalam nilai-nilai etika dan norma sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam pendidikan karakter, guru berperan sebagai pemandu yang membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai seperti tanggung jawab, kedisiplinan, dan empati. Dengan pendekatan ini, siswa dapat memahami bagaimana kebebasan berekspresi dapat berjalan seiring dengan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Ketika siswa merasa dihargai dan diarahkan dengan bijaksana, mereka lebih cenderung mematuhi aturan tanpa merasa kebebasan mereka terkekang.
Dalam konteks isu alat kosmetik dan aturan bercukur, guru dapat mengambil langkah-langkah berikut untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kedisiplinan:
1. Guru dapat menjelaskan bahwa aturan kosmetik dan bercukur bukan semata-mata untuk menghalangi kebebasan berekspresi, melainkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, seragam, serta meminimalisir kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.
2. Guru dapat memberikan siswa kesempatan untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan lain, seperti ekstrakurikuler dan perlombaan rias, sehingga penampilan fisik tidak hanya lebih dibutuhkan tetapi juga dapat meningkatkan kreativitas siswa/i.
ADVERTISEMENT
3. Guru dapat memperbolehkan siswi menggunakan kosmetik pada acara-acara sekolah, seperti pelaksanaan festival dan pentas seni.
4. Guru dapat membuka ruang untuk diskusi antara siswa dan pihak sekolah mengenai aturan penggunaan kosmetik dan bercukur. Dengan adanya komunikasi yang terbuka, siswa akan merasa lebih dihargai dan dapat menerima aturan yang ditetapkan, serta bisa mengajukan pertanyaan atau pendapat mereka mengenai hal tersebut
Melalui pendidikan karakter, guru mengajarkan bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan tanpa batas. Dengan pendekatan yang empatik dan komunikasi yang terbuka, guru dapat membimbing siswa untuk menyalurkan ekspresi mereka secara bertanggung jawab, tanpa mengorbankan nilai-nilai penting dalam pembentukan karakter. Dedikasi dan semangat para guru di seluruh Indonesia harus menjadi pondasi dalam mencetak generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga berbudi pekerti luhur.
ADVERTISEMENT