Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
MBG Core : Akankah Terus Dilanjutkan?
9 Februari 2025 14:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Alya Raihana L tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![sumber : ilustrasi MBG Core - diolah penulis](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkjxt8pj5z5hmbhkqy4grv62.png)
ADVERTISEMENT
Implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi menuai banyak kontroversi dari masyarakat. Khususnya pada sisi anggaran yang disandingkan langsung dengan realisasi penerapannya. Adapun saat ini, tengah diramaikan dengan potensi lonjakan alokasi anggaran, yang awalnya sebesar Rp100 triliun dan potensi membengkak hingga Rp171 triliun di tahun pertama. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan besar bagi keadaan fiskal negara dan benar adanya karena program MBG saat ini telah menyebabkan realokasi anggaran yang signifikan untuk mendukung implementasi keberlanjutannya melaui bentuk efisiensi anggaran pada beberapa sektor.
ADVERTISEMENT
Eksistensi Program MBG
Program MBG diluncurkan sebagai inisiasi besar dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui akses pangan bergizi bagi masyarakat, terutama anak-anak sekolah. Hal ini juga menyoroti pengurangan dalam konteks fenomena stunting yang masih menjadi kekhawatiran masyarakat Indonesia. Dengan begitu, program ini diharapkan dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan produktivitas generasi mendatang. Namun, dalam perjalanannya, program ini ternyata tidak hanya berbicara soal gizi, tetapi juga melibatkan berbagai aspek meliputi ekonomi, sosial, dan fiskal yang lebih luas.
Pemerintah tidak hanya sekadar membagikan makanan secara gratis, tetapi juga berupaya menciptakan ekosistem yang berkelanjutan. Seperti yang dilaporkan oleh Website Media Keuangan, pendekatan yang digunakan dalam MBG bukan tentang membeli makanan jadi per porsi, melainkan membeli bahan baku sesuai dengan perhitungan kebutuhan gizi harian. Model ini memungkinkan biaya tetap terkendali sekaligus membuka peluang bagi petani, peternak, dan nelayan lokal untuk menjadi bagian dari rantai pasok program ini (Media Keuangan, 2025).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, MBG juga diklaim mampu mendorong ekonomi daerah melalui Sentra Pangan Pemerintah dan Gizi (SPPG) yang menjadi offtaker bagi produk-produk lokal. Dengan mekanisme ini, sekitar 85% dari anggaran MBG digunakan untuk membeli bahan baku yang mayoritas berasal dari sektor pertanian. Hal ini diharapkan dapat memberikan dampak ganda yaitu meningkatkan kesejahteraan petani dan UMKM pangan, sekaligus menekan biaya distribusi dengan memperpendek rantai pasok.
Biaya yang Meningkat dan Pengorbanan yang Tak Terhindarkan
Dalam perjalanannya, anggaran MBG sudah dipastikan mengalami pembengkakan, melebihi ekspektasi awal pemerintah. Laporan dari Website Kompas mengindikasikan bahwa biaya program ini bisa meningkat lebih dari Rp171 triliun, lebih besar dari yang sudah dialokasikan. Ini menimbulkan konsekuensi besar pada postur APBN, mengingat pemangkasan anggaran telah dilakukan di berbagai sektor, termasuk belanja kementerian/lembaga dan subsidi (Kompas.id, 2025).
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran juga muncul terkait apakah anggaran layanan publik lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar akan kembali terpangkas untuk menutup lonjakan biaya MBG. Beberapa ekonom menilai bahwa jika tidak dikelola dengan efisien, program ini bisa menjadi beban jangka panjang yang merusak stabilitas fiskal. Dengan kata lain, jika tidak ada mekanisme pengendalian biaya, program ini bisa semakin membengkak dan akhirnya membebani anggaran negara dalam jangka panjang.
Keberterimaan Masyarakat: Antara Antusiasme dan Penolakan
Efektivitas program juga dipertanyakan dari sisi keberterimaan masyarakat. Beberapa kasus menunjukkan bahwa makanan yang disediakan melalui MBG tidak selalu dikonsumsi sepenuhnya oleh penerima manfaat, terutama anak-anak sekolah. Faktor seperti selera makan, kebiasaan konsumsi, hingga kualitas makanan menjadi tantangan tersendiri yang harus diatasi agar program ini benar-benar memberikan dampak optimal. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi MBG agar manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan.
ADVERTISEMENT
Salah satu fenomena yang sempat viral adalah banyaknya makanan MBG yang tidak dihabiskan oleh siswa SD. Kasus ini menunjukkan bahwa tidak semua anak menikmati atau membutuhkan makanan yang disediakan. Beberapa faktor yang memengaruhi ini termasuk:
Hal ini memunculkan pertanyaan besar, apakah anggaran yang besar ini benar-benar efektif jika makanan yang disediakan justru terbuang?
Dilansir dari Website Tempo, terdapat pula indikasi bahwa beberapa penyedia makanan mengalami kesulitan dalam memenuhi standar gizi yang ditetapkan pemerintah, menyebabkan distribusi yang kurang optimal (Tempo.co, 2025).
ADVERTISEMENT
Keberlanjutan Program: Naik Lagi Biayanya?
Keberlanjutan program MBG tengah menjadi perdebatan utama. Dalam hal ini, pemerintah berupaya mengoptimalkan efisiensi biaya dengan pendekatan berbeda dalam sistem pembelian bahan baku, bukan sekadar membeli porsi makan. Seperti dijelaskan Dadan dalam laporan Media Keuangan, sistem ini memungkinkan pengelolaan anggaran yang lebih fleksibel berdasarkan kebutuhan menu yang telah disusun ahli gizi. Dengan demikian, biaya dapat ditekan tanpa mengorbankan standar gizi (Media Keuangan, 2025).
Namun, di sisi lain, efektivitas program ini masih menuai keraguan. Seperti dikutip dari Website Bisnis Indonesia, ekonom dari Indef menyatakan bahwa meskipun program ini dapat meningkatkan konsumsi dalam negeri, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi belum tentu signifikan. Jika tidak dikelola dengan baik, anggaran besar yang dikucurkan justru berisiko menjadi beban jangka panjang bagi fiskal negara (Ekonomi.Bisnis, 2025).
ADVERTISEMENT
Melihat dinamika ini, keberlanjutan MBG bergantung pada seberapa efisien pemerintah dalam mengelola anggaran dan rantai pasoknya. Jika model pemberdayaan lokal dan efisiensi biaya benar-benar berjalan optimal, program ini bisa menjadi investasi jangka panjang bagi SDM dan ekonomi daerah. Namun, jika tidak ada pengendalian yang baik, lonjakan biaya yang terus terjadi dapat mengorbankan sektor lain dan mengancam stabilitas fiskal. Oleh karena itu, evaluasi ketat perlu dilakukan untuk memastikan program ini tidak hanya bersifat populis, tetapi juga berkelanjutan secara ekonomi.
Adapun keberlanjutan MBG setidaknya bergantung pada dua faktor utama, yaitu :
ADVERTISEMENT
Beberapa skenario yang mungkin terjadi ke depan:
Sorotan dalam Website Sindo News dari pandangan para pakar kebijakan Publik, bahwasanya pemerintah perlu menyeimbangkan antara kebijakan populis dan keberlanjutan fiskal. Jangan sampai mengorbankan sektor penting lain hanya untuk membiayai satu program (Sindo News, 2025). Dalam konteks ini, MBG memang memberikan manfaat dalam meningkatkan akses makanan bergizi bagi anak-anak Indonesia, tetapi biaya yang semakin membengkak menjadi tantangan besar. Evaluasi mendalam perlu dilakukan agar tidak semakin banyak pengorbanan yang harus dilakukan demi mempertahankan program ini. Jika biaya terus meningkat tanpa adanya perbaikan dalam distribusi dan penerimaan masyarakat, bukan tidak mungkin kebijakan ini akan menjadi beban jangka panjang bagi keuangan negara.
ADVERTISEMENT