Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Flash Fiction: Aku Belum Bilang Iya
10 Agustus 2017 17:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari 100 Kata Bercerita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Agar kamu tak jadi pelacur kayak tetangga kita." Terdengar sayup-sayup suara itu di riuhnya orang yang mengelilingiku. Aku berbaring di sebuah tempat yang aku tak tahu.
ADVERTISEMENT
Usiaku satu tahun, kalau tidak salah. Mataku sudah bisa terbuka lebar saat itu, namun aku tak dapat melihat jelas rupa-rupa wajah mereka, hanya sekelebat langit-langit ruangan dengan bau udara pengap.
Pelacur yang dimaksud, aku tak tahu seperti apa rupanya. Yang jelas, selama ini aku pernah dengar tentang si Fitri yang suka pakai baju menggoda. Orang-orang bilang, "Pasti waktu kecil enggak disunat."
Lamunanku pecah akan suara komat-kamit sekelilingku. Mereka merapal mantera-mantera yang asing di telingaku. Beberapa orang memegang kaki, selangkangan, dan kedua tanganku. Secara harfiah, aku hanya bisa terpaku. Langit-langit dalam pandanganku itu memudar jadi bayang-bayang. Dalam keadaan tak bisa bergerak itu, satu-satunya yang aku lakukan hanyalah menangis.
"Potong sekarang. potong sekarang! Bismishahsbelkaush.."
ADVERTISEMENT
Rapalan mantera itu tak bisa lagi kutangkap. Aku hanya merasa sesuatu yang tajam menghunus bagian tubuh di antara selangkanganku. Sakitnya minta ampun. Rasanya seperti mau mati saja. Seraya menangis sekerasnya, aku tak tahu apa yang mereka lakukan, yang jelas kesakitan ini adalah yang terbesar selama satu tahun hidupku.
Andai aku punya kuasa, aku akan menolak keras jika tahu mereka hendak melakukan hal aneh itu padaku. Apalagi ketika dewasa dan mengungkap banyak hal tentang praktik ini.
Ya, aku tak pernah bilang iya. Aku tak pernah bilang bersedia.