Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hilirisasi Nikel Indonesia: Menambah Nilai Ekonomi, Menghadapi Dampak Lingkungan
12 November 2024 12:34 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Silfa Atma Wijaya Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keuntungan ekonomi yang mengesampingkan kerusakan lingkungan
Indonesia merupakan salah satu negara ekonomi terbesar di dunia dengan kekayaan sumber daya alam seperti nikel. Namun, sayangnya, nikel belum menjadi komoditas yang memberi keuntungan besar karena Indonesia masih mengekspornya dalam bentuk mentah, yaitu biji nikel. Oleh karena itu, pemerintah memiliki solusi untuk meningkatkan nilai tambah nikel dengan mengolahnya menjadi produk setengah jadi sebelum dieksport, yang biasa disebut hilirisasi nikel.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dalam kebijakannya, hilirisasi nikel justru memberikan dampak buruk bagi lingkungan sekitarnya, seperti pencemaran air, longsor, dan erosi. Tidak hanya berdampak pada lingkungan, gerakan hilirisasi nikel juga berpengaruh pada makhluk hidup, seperti kerusakan ekosistem terumbu karang serta berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit kulit, gangguan pernapasan, dan kanker.
Pemerintah berdalih kerusakan lingkungan tersebut diakibatkan tambang ilegal serta murni karena cuaca, padahal bila ditelaah lebih lanjut, pembukaan izin lahan untuk tambang nikel dilakukan secara besar-besaran di Pulau Sulawesi dan mengakibatkan daerah sekitar tambang mengalami banjir. Fungsi alami kawasan hutan untuk menyerap air perlahan menghilang. Selain itu, pencemaran air akibat aktivitas pertambangan juga tak terhindarkan.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Profesor Irwandy Arif, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan nikel seharusnya memiliki sistem teknologi mumpuni dalam pengolahan limbah untuk mencegah pencemaran: “… sementara tanah yang tererosi air bagaimanapun tidak bisa dikontrol kalau hujan. Tapi kalau perusahaan legal sudah dihimbau memiliki sistem penanganan air sebelum dibuang ke laut” (BBC News Indonesia, Juli 2023).
ADVERTISEMENT
Namun kenyataan di lapangan saling bertentangan. Perusahaan nikel yang legal belum tentu melaksanakan kewajibannya. Beberapa perusahaan nikel, terutama daerah Sulawesi Tenggara, sering mengabaikan aturan mengenai pengelolaan limbah dan perlindungan lingkungan, serta terdapat minimnya transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan.
"Seperti yang dikatakan Hilman Palaon dan Robert Walker (2024) pada kunjungan mereka di pabrik peleburan nikel Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe, 'Kunjungan kami ke pabrik peleburan dibatasi, sehingga kami terpaksa mengamati dari luar gerbang. Pejabat pemerintah daerah menghadapi kendala serupa dalam memperoleh izin untuk memeriksa dan memantau lokasi. Kendala tersebut menggarisbawahi tren kerahasiaan dan impunitas yang meresahkan di seluruh sektor nikel Indonesia, yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang akuntabilitas dan transparansi.'"
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Business & Human Rights Resource Centre (2024), “Laporan Satya Bumi menuduh pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan yang disebabkan oleh operasi penambangan nikel di pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara. Laporan tersebut menuduh bahwa warna air laut berubah menjadi coklat kemerahan, yang telah mempengaruhi kesehatan, mata pencaharian, dan cara hidup masyarakat Bajau.”
Penulis menyadari bahwa pemerintah terkesan hanya menyoroti dampak ekonomi yang ditimbulkan dari hilirisasi nikel, yang dianggap memberi keuntungan berkali lipat, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan, sosial, maupun lingkungan. Padahal, keuntungan dari segi ekonomi tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat lokal, tetapi juga merampas mata pencaharian warga, terutama di sektor pertanian dan perikanan. Hilirisasi nikel terkesan dirancang untuk menguntungkan perusahaan besar dibandingkan masyarakat lokalnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah tidak ada peraturan hukum untuk mengatasi masalah ini? Tentu saja ada, seperti Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2022, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.04/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2021. Meskipun peraturan tersebut ada, implementasinya seringkali menjadi formalitas belaka karena kurangnya pengawasan yang tegas dari pemerintah. Ironisnya, pemerintah yang memiliki kuasa untuk membuat kebijakan tentang kerusakan lingkungan justru menyia-nyiakannya, bahkan beberapa pejabat pemerintah terlibat dalam praktik korupsi, suap, dan kolusi dengan perusahaan.
Solusi untuk menyelesaikan masalah ini sebenarnya dapat dilakukan jika pengawasan dan penegakan hukum yang ketat diterapkan, menekankan transparansi, melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, mengadopsi teknologi yang lebih bersih dalam proses pengolahan nikel untuk meminimalisir kerusakan lingkungan, serta menindak tegas perusahaan yang melanggar aturan atau tidak menjalankan kewajiban.
ADVERTISEMENT