Konten dari Pengguna

Krisis Iklim dan Ancaman Punahnya Salju Abadi di Puncak Jayawijaya

Bayu Cahyo Bintoro
Saya merupakan mahasiswa PreKlinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga yang memiliki kemampuan dalam bidang riset, kepenulisan, dan analisis yang tinggi. Saya tertarik untuk mempelajari lebih lanjut dan berkontribusi lebih di bidang ini.
21 Desember 2024 16:35 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bayu Cahyo Bintoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki keajaiban alam yang tak dimiliki banyak negara tropis, yakni salju abadi di Puncak Jayawijaya, Papua. Namun, pesona salju abadi ini kian memudar di tengah ancaman perubahan iklim. Pemantauan terbaru dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2024 mengungkapkan bahwa luasan salju abadi menyusut menjadi hanya 0,11–0,16 km², dibandingkan 0,23 km² pada 2022. Ketebalan es, yang semula mencapai 32 meter pada 2010, kini tinggal 4 meter saja. Para ilmuwan memprediksi, jika laju pencairan ini terus berlangsung, salju abadi Indonesia akan sepenuhnya hilang pada 2026.
ADVERTISEMENT
Penurunan ini adalah dampak langsung dari krisis iklim global. Data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa suhu global telah meningkat rata-rata 1,1°C sejak era pra-industri. Setiap kenaikan kecil ini memicu perubahan besar pada ekosistem sensitif seperti salju abadi di kawasan tropis. Fenomena El Niño yang memanaskan atmosfer semakin memperparah pencairan es di Jayawijaya.
Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan monitoring gletser 11-15 November 2024.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan monitoring gletser 11-15 November 2024.
Selain perubahan iklim, aktivitas manusia turut menjadi faktor signifikan. Deforestasi besar-besaran di Papua, yang mencapai 722.256 hektare dalam dua dekade terakhir, memperburuk situasi. Hutan, yang seharusnya menjadi benteng karbon alami, justru diubah menjadi lahan sawit atau digunduli untuk operasi tambang besar seperti Freeport. Kehilangan tutupan hutan ini menghilangkan fungsi vital hutan dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan suhu.
ADVERTISEMENT
Namun, krisis ini bukan hanya soal hilangnya lapisan es. Dampaknya meluas ke kehidupan masyarakat adat Papua yang hidup berdampingan dengan hutan-hutan ini. Ketika tanah adat mereka dirampas oleh ekspansi industri, mereka kehilangan sumber pangan, air bersih, dan budaya yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Badan Meteorologi,Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama lembaga penelitian lainnya, telah berupaya mendokumentasikan kondisi salju abadi yang kian menipis. Sejak 2010, pemantauan dilakukan menggunakan metode patok es, sebelum akhirnya beralih ke survei visual udara pada 2017 karena kendala akses ke Puncak Sudirman. Namun, dokumentasi saja tidak cukup untuk menyelamatkan keajaiban ini.
Pentingnya aksi nyata dalam mitigasi perubahan iklim menjadi sorotan utama. Pemerintah perlu segera mempercepat transisi energi ke sumber terbarukan, melindungi hutan dari ekspansi industri, dan menerapkan kebijakan lingkungan yang lebih ketat. Sementara itu, masyarakat dapat berkontribusi dengan mengurangi jejak karbon, menggunakan produk yang lebih ramah lingkungan, dan mendukung program penghijauan.
ADVERTISEMENT
Penulis : Bayu Cahyo Bintoro