Konten dari Pengguna

Demagogi dalam Pendidikan

Ahmad Arpan Arpa
Alumnus Unindra-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Writer Enthusias, a ghost writer.
2 Oktober 2024 7:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Arpan Arpa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi layanan pendidikan. Foto: Kemenkeu RI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi layanan pendidikan. Foto: Kemenkeu RI
ADVERTISEMENT
Berdirinya sebuah lembaga pendidikan seperti sekolah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mulai dari Taman Kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Melatih peserta didik untuk berpikir secara rasional. Mengubah dari yang tak tahu menjadi tahu, dari yang kurang baik menjadi baik.
ADVERTISEMENT
Namun, sangat disesali jika ada seorang peserta didik yang gagap dalam mengikuti proses belajarnya justru dikeluarkan dari sekolah begitu saja tanpa ada pembinaan yang jelas sebelumnya. Diksi menyerah tidak layak diterima akal sehat apabila keluar dari seorang pemimpin sekaligus seorang pendidik. Bagaikan prajurit yang memilih bunuh diri sebelum berperang.
Keputusan untuk mengeluarkan peserta didik yang mungkin sulit untuk dibimbing merupakan perbuatan yang sangat tidak bertanggung jawab karena apa gunanya ada lembaga pendidikan jika tidak mampu mendidik. Sekolah yang hanya bisa mengurusi administrasi sebaiknya dibubarkan saja sebab tidak layak menjadi bagian dari suatu lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan yang layak itu mampu memanusiakan manusia. Orientasi lembaga pendidikan jangan hanya mematuk pada prinsip-prinsip kapitalis bengis ala barat yang sudah sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam.
ADVERTISEMENT
Madrasah yang merupakan varian lain dalam bidang pendidikan sepatutnya berpedoman pada ajaran Islam bukan justru berkiblat pada sistem kapitalis barat yang bengis. Ketika ada peserta didik yang berbuat kesalahan ada baiknya langsung dibimbing agar anak menjadi paham bahwa perilakunya keliru.
Berbisnis boleh saja dan sah-sah saja tapi dalam bisnis pun ada etika dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Jika hanya memikirkan nama baik sekolah saja yang belum tentu akreditasinya itu didapatkan dengan cara yang benar.
Ketika hak dan kewajiban sebuah madrasah tidak sejalan lagi dengan nilai-nilai Islam dan prinsip pedagogi, apakah masih layak istilah “Madrasah” itu disematkan? Bukankah tujuan pendidikan itu mengubah yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak paham menjadi paham, yang menyimpang agar kembali ke jalan yang benar? Apakah semua itu hanya omong kosong belaka untuk menyembunyikan praktik dari kapitalis yang bengis? Kita harus jernih melihat kasus perilaku menyimpang dari peserta didik yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Hukuman memang harus diberikan sebagai bagian dari proses pendidikan. Menggunakan hukuman sebagai alat pendidikan sangat mungkin diterapkan. Tetapi, apakah kriteria tatkala menjatuhkan hukuman yang mendidik sudah dipenuhi sekolah atau hanya sekadar lepas tangan lalu cuci tangan supaya nama sekolah tetap baik?
Keputusan mengembalikan peserta didik kepada orangtuanya untuk dibimbing memang merupakan penerapan sanksi atas pelanggaran tata tertib sekolah yang sudah dibuat oleh pihak sekolah dan orang tua hanya mengikuti saja tanpa tahu atas dasar apa suatu peraturan tersebut dibuat.
Akumulasi point pelanggaran tata tertib sekolah sudah melampaui yang ditentukan, maka peserta didik wajib dikeluarkan. Cara berpikir semacam itu termasuk sesat karena sistem sekolah yang masih menerapkan poin-point pelanggaran sedang terjebak dalam kubangan pragmatisme yang sempit dan dangkal yang sudah menghina sambil meludahi falsafah pendidikan.
ADVERTISEMENT
Jika kita tidak munafik dalam menilai kehidupan yang terjadi di sekitar kita sewajarnya paham jika ada banyak kasus anak yang dikeluarkan dari sekolah yang berakhir putus sekolah, hilang semangat juangnya untuk belajar, pupus harapan dan cita-citanya dan semua kehancuran itu yang berkontribusi besar adalah lembaga pendidikan yang tidak mampu lagi menerapkan prinsip pedagoginya. Boro-boro membuat anak jera, justru sesungguhnya telah melanggar hak anak dalam mendapatkan akses pendidikan.
Tugas pendidikan itu sangat mulia. Tugas mulia inilah yang diemban para pendidik dan tenaga kependidikan yang direpresentasikan dalam bentuk lembaga pendidikan bernama sekolah. MJ Langeveld menyatakan, “pendidikan adalah upaya menolong anak untuk dapat melakukan tugas hidupnya secara mandiri supaya dapat bertanggung jawab secara susila” Pendidikan merupakan usaha manusia dewasa dalam membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.
ADVERTISEMENT
Apabila mengeluarkan siswa dari sekolah masih dipergunakan dalam praktik pendidikan, maka tugas mulia pendidikan itu telah gagal diemban sekolah. Setidaknya sekolah yang merepresentasikan sebagai manusia dewasa telah gagal membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.
Selain itu, sekolah telah gagal membangun budaya sekolah yang menuntun segala kekuatan kodrat anak didik agar menjadi manusia dan anggota masyarakat yang mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pantas kiranya sekolah gagal semacam ini tidak terakreditasi. Berapa pun nilai capaian hasil akreditasinya.
Sosok Ki Hajar Dewantara memiliki pendapat tentang guru yang disampaikan dalam bentuk semboyan, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Semboyan itu berasal dari ajaran filosofi Jawa yang sangat dalam dan luas. Filosofi itu bisa digunakan sebagai tuntunan hidup hingga cara menjalankan sebuah pendidikan. Filosofi Jawa tersebut menekankan pentingnya keseimbangan dan keadilan dalam menjalani hidup.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Jawa, "Ing Ngarsa Sung Tuladha" berarti "di depan menjadi contoh atau pautan".
Sementara "Ing Madya Mangun Karsa" bermakna "di tengah memberi atau membangun semangat, niat, maupun kemauan".
"Tut Wuri Handayani" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "di belakang memberikan semangat atau dorongan".