Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Jangan Lupa Sahur
17 Maret 2025 12:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fandi Achmad Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sahur
Manusia kini telah mendahului ayam. Di bulan-bulan biasa, ayam berkokok tiap pagi dan membangunkan manusia dari lelapnya. Di bulan ini, manusia dengan lantang menantang suara ayam dan menantang kantuk untuk sekedar menyantap hidangan pengganjal lapar. Biasanya, mereka mendendangkan lagu “Hei ibu-bapak waktunya sahur...Waktunya bangun” “Panaskan nasi, panaskan kuah” dan seterusnya. Dengan mengikuti prosesnya secara runtut seperti bangun, masak, kemudian makan, kemungkinan besar ia akan mampu menahan lapar dan dengan memahami alasan mengapa dia menahan lapar... maka dia dapat menahan yang lainya juga.
ADVERTISEMENT
Dari subuh beranjak ke malam, waktu tak terasa melesat begitu saja... pertemuan-pertemuan yang telah di atur pun segera di tuntaskan. Pertemuan pertama, aku bertemu dengan seorang mahasiswa di kedai biasa... kedai yang cukup minimalis dengan kursi kayu, hiasan pada lampu yang menggantung dan batu bata yang menjadi dinding tanpa hiasan sedikit pun. Kursi dan meja di tata menjadi tiga deret empat baris dengan jarak yang hanya sekuku. Hal tersebut membuat telingaku dapat menangkap pembicaraan di meja sebelah.
“ Coba deh dipikir-pikir lagi kalau mau ikut organisasi, rapat-rapat mulu tapi gaada yang di dapat terus ya paling waktu belajarmu jadi makin mampet” tutur mas-mas gondrong dengan pakaian dinas harianya.”
“Memang begitu ya mas? Tapi kok mas masih ikut organisasi?” perempuan kerudung abu-abu dan long sleves corak garis hitam putih itu pun meragu.
ADVERTISEMENT
“Hmm, ini Cuma pakaian perkumpulan... di perkumpulanku ini dek, gaada itu rapat-rapat begitu... kita hanya nongkrong di warung kopi atau kos antar anggota buat have fun”
Hening memotong pendengaranku, percakapan mereka membuat riuh pikiranku... apa yang dituturkan oleh mas-mas tadi, perlu untuk di sahurkan. Kok bisa ya dari rapat-rapat mulu ke ga dapet apa-apa? Bukane rapat itu terjadi untuk menyelesaikan sesuatu? Terus bukane boleh-boleh saja ga ikut rapat kalau alasanya jelas? Terus apa kata mas-mas tadi? Perkumpulan? Bukane perkumpulan yang lebih dari dua orang bisa jadi organisasi? Terus kalau nongkrong kan janjian dulu terus di setiap janji kan ada tujuanya, bukane itu rapat juga? Aihh, penuturan mas-mas tadi penuh dengan logical fallacy. Suara mas-mas gondrong masih bergema di kepalaku. "Rapat-rapat mulu tapi gaada yang didapat..." Kalimat itu seperti kentang goreng yang setengah matang—mengganggu. Aku menyeruput kopi, mencoba mencerna argumennya. Apa benar organisasi hanya soal rapat tanpa hasil? Tapi, bukankah rapat adalah alat untuk merumuskan aksi? Aku teringat buku "Fallacies and Argument Appraisal" karya Tindale yang pernah kubaca. Hasty Generalization, pikirku. Mas-mas itu menyamaratakan semua organisasi hanya karena pengalaman buruknya. Seolah semua rapat sia-sia, padahal mungkin dia tak pernah benar-benar terlibat dalam prosesnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, saat dia membanggakan "perkumpulannya" yang hanya nongkrong di warung kopi, aku tersenyum kecut. Straw Man Fallacy. Dia sengaja memelintir definisi organisasi menjadi sekadar kumpulan orang yang have fun, seolah rapat dan diskusi serius adalah hal yang absurd. Tapi, aku tak sempat menyela. Perempuan kerudung abu-abu itu sudah mengangguk, mungkin terbuai oleh retorika santainya.
Janji dipertemuan pertama telah aku penuhi.. pertemuan tersebut aku lalui dengan banyak menghela napas panjang... karena perkara yang aku bicarakan dengan teman-teman perihal kondisi negara merumit sementara oknum mahasiswa seperti mas mas tadi masih sering melakukan pembodohan demi kepentinganya sendiri... Aihh! Pulang dari caffè, langit sudah gelap. Aku membayangkan mas-mas gondrong tadi. Mungkin dia korban Slippery Slope mengira rapat-rapat kecil akan berujung pada kehilangan waktu belajar selamanya. Atau, jangan-jangan dia sengaja menggunakan Appeal to Emotion—membuat organisasi terlihat menyeramkan agar si perempuan takut bergabung. Manusia memang kadang lebih ribut dari ayam, pikirku sambil menyiapkan sahur. Tapi selama kita tak lupa "menyantap" logika sebelum menelan argumen, mungkin kita bisa bertahan—tak hanya dari lapar, tapi juga dari kebodohan yang terselubung retorika
ADVERTISEMENT
Pertemuan kedua, sekaligus terakhir untuk malam ini... Aku bertemu dengan adikku yang saat ini telah menjadi mahasiswa usia belia... dia meminta bertemu untuk sekedar meluapkan cerita. Kami bertemu di sebuah caffe yang penuh dengan warna biru dan putih. Dindingnya berwarna biru seperti baju kampanyenya Pak Prabowo dan kursi-kursinya berwarna putih seperti baju kampanyenya Pak Prabowo saat di kalahkan oleh rivalnya. Aku memesan Cappucino dan adikku memesan matcha latte. Setelah minuman telah disuguhkan, adikku mulai bercerita tentang kehidupanya di hutan belantara pencetak intelektual itu.
“Tahu ga kak, tadi ada kating yang cerita kalau dia ikut lima organisasi terus... tapi kan aku belum kenal dia yaa, terus aku pakai paradigma simbolik yang kakak pernah bilang... penampilan kating itu kyk ga ke urus terus ya aku tanya ke teman teman dekatnya, terus kata mereka kating itu jarang ikut kerkel dan sering bolos... Kesimpulan yang aku buat untuk sementara, kating itu boleh jadi cerdas karena di tempa di lima organisasi tapi kating itu masih ga punya skill managament waktu yang mumpuni dan management tampilan yang apik.”
ADVERTISEMENT
“ Yaa, kamu taulah kalau dia ada tujuan, kakak kan sudah pernah cerita soal itu” timpal ku
Tapi, Kak," lanjutnya, "katanya kating itu ikut lima organisasi, tapi kok kayak... kurang greget?" Aku mengangguk paham. Hasty Generalization lagi. Sebagian orang mungkin langsung mencap si kating "tidak kompeten" hanya karena penampilannya acak-acakan. Tapi adikku tak begitu—dia mencari data tambahan, mewawancarai teman dekatnya. "Kamu benar," kataku. "Kita harus hindari Post Hoc Fallacy—mengira penampilan berantakan pasti sebabkan kinerja buruk. Bisa saja dia jenius tapi kurang peduli pada fashion!"
Adikku tertawa. "Iya, Kak. Aku juga ingat soal False Dichotomy—jangan mengira orang hanya bisa pilih antara 'organisasi' atau 'jago nongkrong'. Bisa saja keduanya!"
Adikku menyentuh gelas matcha lattenya, matanya berbinar. "Aku pakai paradigma simbolik, Kak. Ga asal nuduh!" Aku tersipu bangga. Dulu, dialah yang selalu kuingatkan untuk tidak terjebak Ad Hominem—menilai seseorang hanya dari penampilan atau gossip.
ADVERTISEMENT
“iya, meskipun statusnya sudah mahasiswa, banyak dari mahasiswa mahasiswa yang masih memberikan sekelumit informasi padahal dia tahu lebih, banyak mahasiswa yang membawa rana pribadi ke rana yang lebih luas... yang kita perlu lakukan adalah kebalikanya... memberi penilaian objektif dan sebagainya... sudah sering kakak bilang ke kamu waktu kamu memutuskan untuk kuliah”
“iya kak”
Langit mulai memudar dari hitam kelam menjadi biru keabuan ketika aku tiba di rumah. Suara azan subuh berkumandang, menggantikan riuh debat di kepalaku. Di dapur, nasi sisa semalam mulai kuhangatkan, dan aroma kuah sayuran menguar pelan. "Hei ibu-bapak, waktunya sahur..." gumamku sambil tersenyak, mengingat lagu yang dinyanyikan manusia-manusia yang lebih ribut dari ayam.
Tapi kali ini, sahur terasa berbeda. Bukan hanya perut yang kusiasati, tapi juga pikiran. Aku membayangkan adikku yang mulai kritis, mas-mas gondrong yang mungkin suatu hari akan tersadar, dan kating berantakan yang barangkali sedang merancang gebrakan di balik penampilannya. Manusia memang tak sempurna—kadang terjebak fallacy, kadang memakainya tanpa sadar. Tapi selama ada yang berusaha "menyantap" logika sebelum menelan omongan mentah-mentah, mungkin kita belum sepenuhnya kalah dari ayam.
ADVERTISEMENT
Di luar jendela, cahaya pertama menyembul. Aku menengok ke arah kandang ayam tetangga. Seekor ayam jantan mengangkat kepala, seolah menantang: "Kau pikir bisa bertahan dengan logika saja?"
"Bisa," bisikku, menyeruput teh hangat. "Karena sahur ini bukan cuma untuk lapar, tapi juga untuk akal yang tetap terjaga."
Dan ketika ayam itu akhirnya berkokok, aku sudah siap—dengan perut kenyang, kepala jernih, dan keyakinan bahwa di antara manusia yang kadang salah nalar, selalu ada ruang untuk bertanya: "Apa buktinya?"