Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
MBG Merupakan Sapu yang Penuh Debu
18 Februari 2025 16:04 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fandi Achmad Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sapu Harapan
Program andalan Presiden Prabowo Subianto saat dia berkampanye di pemilihan presiden kemarin, Makan Bergizi Gratis (MBG), mulai diberlakukan sejak 6 Januari 2025. Program ini turut bekerja sama dengan satuan pendidikan sebagai eksekutif dan Badan Gizi Nasional (BGN) selaku koordinator pelaksana.
ADVERTISEMENT
Untuk menjalankan itu, BGN telah menyiapkan 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan gizi yang bertugas memasok makanan untuk para penerima yang tak tanggung-tanggung sebanyak 19,47 juta orang dari kalangan anak sekolah hingga ibu menyusui. Untuk itu, pemerintah harus menggelontorkan uang rakyat sebesar Rp 71 Triliun yang kemudian dibagi menjadi Rp 63, 356 triliun untuk kebutuhan gizi nasional dan Rp 7,433 triliun untuk program dukungan manajemen.
Di awal pelaksanaanya, program MBG ini telah diselimuti ketidaksiapan, lantaran terdapat 10 siswa di Sukoharjo yang keracunan dan di Sleman terdapat 40 anak yang mengalami keracunan. Tentu kejadian semacam itu, memicu keraguan akan efektivitas Rp 71 Triliun dana yang telah digelontorkan.
Dari triliunan dana tersebut pun muncul pertanyaan, kok bisa masih ada sayur basi dan ayam yang disajikan ternyata malah tidak bergizi dan diganti dengan telur rebus, dalam pelaksanaan proyek unggulan Prabowo itu?
ADVERTISEMENT
Tentu, pertanyaan semacam ini pun dijawab dengan sederhana oleh para pejabat, "Ya, siswa yang keracunan sudah diobati dan kembali ceria, selanjutnya kami akan adakan evaluasi."
Selain dari itu, pada 17 Februari 2025, terjadi demo penolakan MBG yang dilakukan oleh 16 siswa papua. Belasan siswa tersebut lebih menyatakan mereka lebih memilih pendidikan gratis daripada makan bergizi gratis.
Bagi saya pun itu adalah hal yang wajar saja, sebab berdasarkan data dari kementerian, angka putus sekolah di Papua masih tinggi. Terutama di tingkat SMP dan SMA, yang salah satu alasan utamanya adalah keterbatasan ekonomi. Hal itu membuat anak-anak di Papua menjadi kesulitan untuk melanjutkan pendidikan.
Lebih lanjut, pemberlakuan MBG ini, menurut pendapat saya, juga dapat memperlambat visi Presiden Prabowo tentang pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang merata, terkhususnya di daerah-daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) seperti Papua tadi. Alasannya sederhana, MBG inilah yang menimbulkan "efisiensi" anggaran yang akan makin memperburuk problem sertifikasi guru, kesejahteraan guru, serta ketersediaan sekolah yang belum merata di Papua.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah pikiran 16 siswa Papua tersebut lebih jernih daripada pemerintah? Apakah pemerintah mestinya berguru kepada 16 siswa itu dahulu?
Bagi saya, ada baiknya jika pemerintah terus mengelaborasi "Jelajah Ilmu" yang diterapkan di SMP Negeri Buti, Merauke. Itu merupakan program yang berfokus pada terhadap optimalisasi pemanfaatan teknologi untuk mengelola materi pembelajaran, komunikasi antarpihak, serta penilaian tugas secara digital. Dengan memanfaatkan platform digital ini, guru dapat mengunggah materi pengajaran, memberikan tugas, dan mengevaluasi kemajuan siswa dengan cara yang lebih efisien.
Pemerintah juga semestinya fokus saja terhadap salah satu upaya yang menjalin kolaborasi dengan Telkomsel dalam mengimplementasikan platform Skul.id. Platform yang dirancang secara khusus untuk mendukung sistem pembelajaran digital di berbagai sekolah di Papua. Melalui Skul.id, diharapkan para guru memiliki kemampuan untuk memantau perkembangan akademik siswa, menyampaikan materi pembelajaran secara daring, serta menjalin komunikasi yang lebih efektif dengan orang tua siswa. Dari sana pun, siswa dapat mengakses beragam sumber belajar yang tidak terbatas pada buku teks konvensional, sehingga memperluas wawasan dan pengetahuan mereka.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi pun saya pertegas, efisiensi yang dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo tak selaras dengan teori pertumbuhan endogen yang menyatakan alokasi anggaran yang efisien ke sektor produktif (infrastruktur, pendidikan, teknologi) meningkatkan produktivitas jangka panjang dan relevan dengan. Keynesian Critique pun mengatakan pemotongan anggaran drastis tanpa realokasi strategis dapat mengurangi belanja pemerintah, menurunkan permintaan agregat, dan memperlambat pertumbuhan (contoh: krisis Yunani 2010-2015).
Lalu, efisiensi tidak akan berjalan mulus selama koruptor belum diringkus. Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia tahun 2023, menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan Rp 200 triliun/tahun akibat korupsi sektor di publik. Belum lagi jika melihat riwayatnya masih ada kasus korupsi yang tampaknya tak rampung dituntaskan, seperti korupsi dana bansos COVID-19 (R p14 triliun). Selain itu sebagai pertanda bahwa kita punya riwayat buruknya, korupsi besar-besaran itu pun menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan dari KPK, sebagai garda terdepan pengentasan korupsi di tanah air.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, bagi saya, pemerintah perlu memperhatikan kembali kebersihan sapu yang mereka gunakan, sebelum memulai menyapu agar tidak menyisakan kotoran yang sama di lantai yang sedang disapunya.