Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Membaca dan Menulis agar Selamat dari Topeng Populis
20 Februari 2025 17:31 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Fandi Achmad Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Topeng Populis
"BOOM." Hiroshima dan Nagasaki menjadi hancur. Sering saya dengar setelah peristiwa tersebut, Jepang berlomba-lomba mencari guru untuk mencerdaskan warganya agar dapat membangun negara tersebut. Buktinya terpampang nyata di hadapan kita, sekarang Jepang punya teknologi buatan sendiri, Jepang punya film buatan sendiri dan Jepang punya penulis dan buku-bukunya sendiri. Tak perlu saya sebutkan ,pembaca pasti sudah tahu dan bukan itu inti dari tulisan ini, hal tersebut cuma bumbu dramatis agar pembaca semakin tertarik.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, di tahun 2022 berdasarkan International Publisher Association (IPA), Jepang menerbitkan 902,3 ribu buku (ISBN) satu tangga di bawah Amerika yang mencapai 3,3 juta buku teregistrasi ISBN di tahun yang sama dan berdasarkan sumber yang sama.
Indonesia sendiri menduduki peringkat kesembilan dengan 107,8 ribu, menurun sebesar 32% dibanding 2021. Tentu, angka penerbitan buku selaras dengan tinggi atau rendahnya minat baca. Di tahun yang sama, Jepang menempati posisi ketiga dalam PISA berdasarkan membaca, matematika dan sains. Meskipun terdapat beberapa survey yang mengatakan penurunan disebabkan adanya distraksi media sosial. Apa yang membuat Jepang bisa menjadikan literasi sebagai budaya? karena terjadi usaha yang kolektif-kolegial antara masyarakat dan pemerintah.
Secara formal, pemerintah Jepang juga mendukung budaya literasi dengan mewajibkan siswa SD untuk membaca dan menceritakan hasil bacaanya. Hampir sama seperti di Indonesia, ada wajib baca 15 menit di sekolah-sekolah. Bedanya, di Indonesia tidak di minta menceritakan tapi hanya memenuhi formalitas saja. Lalu, terkait fasilitas, saya kira di kedua negara ini juga sama memfasilitasi di sekolah-sekolah, di universitas dan bahkan di beberapa tempat kopi juga menyediakan buku.
ADVERTISEMENT
Soal tempat tidak menjadi halangan, di Jepang terdapat istilah Tachiyomi yaitu membaca buku sambil berdiri. Lalu, juga ada Naimasu yaitu tidak ada halangan untuk membaca buku. Kemudian, kalau soal membaca buku itu membosankan, di Jepang juga ada Kaizen yaitu membaca buku dengan durasi 10 menit setiap hari.
Membaca buku dapat menjadi jembatan untuk mengenal dunia lebih luas, memahami hal-hal yang perlu dipelajari puluhan tahun oleh penulis hanya dalam ratusan lembar dan dapat menjadi tameng atas mereka yang bertopeng populis.
Membaca lalu menulis atau bahkan membaca saja, dapat membawa manusia ke dalam Reflective Thingking yang merupakan suatu sarana yang akan membawa pikiran untuk mendefinisikan masalah, menganalisa masalah, mencari kriteria solusi sampai bisa mengambil solusi yang baik. Selanjutnya, saya ingin mengajak kalian untuk melakukan Experiment Thingking.
ADVERTISEMENT
Andaikan orang Jepang yang cerdas membaca berita terkait satu partai yang mengakui dirinya sebagai partai penyeimbang, orang jepang yang cerdas tersebut langsung melakukan investigasi ulang atas pengakuan tersebut dan ternyata ditemukan bahwa partai tersebut memang partai penyeimbang saat tidak berkuasa. Tapi, saat berkuasa ya tetap harus digdaya. Harus memperoleh banyak kursi, korupsi jual beli jabatan, korupsi bantuan sosial, korupsi pembangunan sekolah dan korupsi yang dilakukan orang kepercayaan. Kurang lebih seperti itu, orang Jepang tersebut akan memperhatikan sekup temporal dalam menginvestigasi ulang satu pengakuan.
Experiment thingking selanjutnya, Bayangkan, orang Jepang yang cerdas tersebut membaca suatu berita tentang pengumpulan dana dari badan usaha ternama dan dana tersebut mencapai triliunan rupiah. Kemudian, dana tersebut akan di alokasikan untuk kesejahteraan rakyat termasuk orang Jepang tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti metode yang pertama, orang Jepang tersebut mencari tahu kebenarannya dengan melakukan investigasi ulang. Dalam prosesnya, orang Jepang tersebut menemukan bahwa dalam proses transparansi dana tersebut harus melalui suatu dewan yang isinya banyak orang-orang seperti di experiment thingking pertama tadi.
Tentu orang Jepang tersebut akan mencari tahu syarat lalu konsekuensi dan menguji kuatnya konstitusi. Lalu, mengambil keputusanya. Pada akhirnya, saya dan pembaca menyadari, bahwa membaca dan menulis dapat menjadi salah satu juru selamat dari topeng populis.