Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Pengabdian Lintas Profesi
15 Januari 2025 8:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fandi Achmad Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gumpalan awan telah lenyap tak bersisa, langit-langit pun telah membiru dengan gemintang yang menghiasi, rembulan hari ini utuh terang benderang berbinar. Ruang kamarku sengaja ku buat temaram dengan lampu bercahaya kuning yang mendominasi, gemericik air berdendang di telinga sebagai simbol keheningan yang telah tiba.
ADVERTISEMENT
Buku-buku telah selesai ku baca... Sepuluh halaman setiap harinya, pertemuan dengan teman-teman pun telah kulalui dengan gembira dengan terus menerus menyimpulkan senyum hingga lelah dengan sendirinya.
Tak ada kegiatan lain yang tersisa selain menghibur diri dengan menonton video-video aneh atau informasi-informasi di layar gawaiku yang kubuat dalam mode perawatan mata sehingga cahayanya tak mencolok bola mataku yang telah lelah.
Ahh sosial media... Banyak menampilkan hal-hal bahagia dalam selayang pandang... Menampilkan kesedihan seolah-olah penduduk dunia akan perduli saja. Sungguh Fatamorgana.
Ruang Pengabdian
Di sisi lain, ada juga video-video yang tak pernah ku duga. Bayangkan, pertama kali membuka reels di Instagram video sebuah restoran yang menyuguhkan minuman berbahan dasar dari tahu... Bayangkan! Tahu menjadi minuman! Sesuatu yang selama ini tak pernah ku duga. Informasi yang cukup mengundang decak mata.
ADVERTISEMENT
Selanjutkan ku gulirkan lagi layar di gawai, video baru muncul. Kali ini sebuah video yang hanya menampilkan sebuah gambar diam dan di iringi voice over yang bersuara "Preman-preman jalanan merajalela, rakyat kita mendambakan Petrus untuk kembali digdaya" halahh, buzzer sialan! Batinku.
Tak sampai selesai kudengarkan, langsung ku gulirkan kembali layar temaram itu. Ku temui video seorang influencer yang gemar bersedekah di hadapan sorot kamera. Influencer tersebut sangat ringan tangan sekali memberikan hartanya kepada seorang tukang becak yang di lindas oleh Ojek Online yang merajalela. "Mengapa dia tidak mengusahakan kebaikan yang berkelanjutan? Apakah dengan memberikan segepok kertas bergambar Soekarno-Hatta dapat menjamin ketercukupan dalam jangka panjang? Padahal bisa jadi si bapak tukang becak tak mampu mengelolah segepok uang itu untuk membangun suatu gedung pencakar langit yang mewadahi para pembacak untuk bertransformasi menjadi becak online... Ahh mengapa aku lupa.... Sorot kamera!
ADVERTISEMENT
Algoritma selalu memunculkan sesuatu yang saling terikat! Setelah ku gulirkan layar temaram itu kembali dan muncul seorang paruh baya nampaknya yang mengenakan batik berwarna kuning, menggunakan bingkai diantara matanya. Pria tersebut tampil dalam sesuatu yang seperti seminar dengan sok asyik di awal "yahh tampaknya ACnya kurang kencang" kemudian pria tersebut seperti menghipnotis audiens di forum itu dengan menyuruh mereka mengangkat tangan dan sebagainya... Audiensnya bersedia! Tak jelas sekali konteks awalnya. Hingga ku temukan titik terangnya, pria tersebut sedang menjelaskan hegemoni sosial media, dimana manusia negeri ini terbiasa menatap layar gawainya dalam jangka waktu yang terlampau lama sehingga berdampak pada tingkat fokus mereka. Memang sialan si Aza Razkin penemu fitur infinite scroll.
ADVERTISEMENT
Ku gulirkan lagi layar temaram itu, terdapat suatu poster yang memuat informasi sejarah dengan menggunakan backsound yang bertuliskan "Robit Nurul Jamil- Ilusi Negeri" Lah! Dia kan pria yang menggunakan bingkai diantara matanya tadi.
Siapa sih dia? Bukanya di video tadi dia sedang menjadi pemateri... Lah kok ini nyanyi!
Sebuah lagu yang sudah bisa dijadikan backsound di Instagram tentunya sudah tersedia di suatu ruang musik. Ku telusuri lebih lanjut, dengan mengetikkan nama penyanyi dan judul lagunya.... Nah! Ini dia! Tapi, di platform ini pria ini tampil berbeda. Tak menggunakan batik tapi jacket hitam, dengan wajahnya yang tampil setengah dan jari tangannya menusuk kuping, kemudian terdapat tulisan latin "Robit Nurul Jamil" di samping fotonya. Sungguh, pria ini seperti bunglon yang pandai berganti warna sesuai dengan lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Lanjut, ku tekan tombol segitiga di tengah, dan alunan piano pun tercipta, tak lama kemudian, muncul suara dari Robit Nurul Jamil ini yang serak... Bersenandung mengikuti irama. Lirik-liriknya tajam menggambarkan realita sosial di negeri Konoha ini. https://open.spotify.com/track/1uGjq3OIwaR40sfKuSpGO2?si=X0LualbvQ3OVCy2PUT7a7wLagu di sportify
Klik saja link itu, barangkali para pembaca mau turut mendengarkan.
"Data-Data fakta di musuhkan logika" semakin tenggelam aku dalam alunan musiknya, semakin dalam pula aku akan merenungkan lirik-liriknya. Akhirnya pikiran berlalu-lalang mencari intepretasi dan akhirnya ku temukan dugaan sementara atas makna lirik ini.
Ku duga lagu yang berjudul Ilusi Negeri ini berasal dari keresahan dari lubuk hati yang paling dalam dari sang penyanyi atas kondisi sosial di negeri Konoha kini. Dugaanku, Lagu ini menggambarkan fenomena di mana masyarakat disuguhkan berbagai data dan angka yang terlihat menjanjikan, tetapi sering kali hanya menjadi ilusi. Angka-angka tersebut, yang kadang berupa statistik kemiskinan, pengangguran, pendidikan, atau indikator lainnya, sering kali tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Faktanya, masih banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Ahh, tak cukupkah dia menjadi pemateri sampai harus menciptakan lagu yang sarat akan fakta ini!
Tiba-tiba aku tersentak, sadar kalau aku pun perlahan-lahan terperangkap dalam jebakan si Aza Razkin. Setelah selesai mendengarkan lagu Ilusi Negeri... Aku meletakkan gawaiku pada rak buku agar jauh dari jangkauan tangan. Perlahan-lahan mencoba mengatupkan mata... Namun, lirik-lirik dan realita yang disampaikan dalam lagu itu benar-benar mengganggu pikiranku. Sial!