Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Sepatah Kata, Secuil Kalimat dan Sebatang Emas
13 November 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fandi Achmad Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ruang Kelas
12. 20 Richie baru memasuki kelas, memotong pembelajaran sejenak.
ADVERTISEMENT
"Izin masuk bu" pinta Richie sambil mangangkat tangan
"Dari mana saja Richie" tanya bu Alfia
"Baru selesai buang air besar, Bu... mohon maaf terlambat... ada secuil yang mengganjal dan sulit di keluarkan." Jawab Richie
Satu kelas pun tergelak, Bu alfiah tersenyum tipis mempersilahkan.
Richie melesat menuju mejanya, bersebelahan dengan Baruna
"Kampret kau bar" Richie bergumam"
"Berhasil kan?" Tanya Baruna sambil terkekeh
"Berhasil Bar, Wajah Nilna tiba-tiba terpampang dihadapanku... Katanya, dia mau ngambil penjepit rambutnya yang tertinggal."
"Tapi, gua sedikit malu bar" Wajah Richie merah padam dan tak kuasa menahan senyumnya yang memaksa menyimpul."
Kelas 8F berada di sudut sekolah... tepatnya sudut bagian depan sekolah. Cat hijau menimpah dinding kelas, satu kipas angin yang tak jenuh berputar kendatipun tak dapat meredam hawa panas yang menggelanyut pada atmosfer kelas. Meja-meja siswa penuh coretan kata-kata, gambar-gambar jahil ataupun perjodohan antara satu dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Pukul 13.00 mentari sedang gagah-gagahnya. Sinarnya merambat ke kelas, menyelinap melalui atap yang berlubang. Gerah dan kantuk menjadi satu. Sementara itu, Bu Alfiah seperti tak kenal lelah saat mengajar. Beliau merupakan lulusan terbaik di salah satu Universitas di kota. Menekuni bidang pendidikan, terutama pendidikan Geografi. Tapi, di SMA Taruna... beliau merangkap ajar. Menjadi Guru Geografi sekaligus Guru Bahasa Indonesia.
"Anak-anak, puisi merupqkan salah satu sarana untuk kita belajar merangkai kata untuk mengungkapkan atau mendefinisikan sebuah rasa... Irama, rima dan ritme begitu mempengaruhi baik atau tidaknya pembacaan puisi."
Bu Alfiah, berhenti sejenak... Memperhatikan murid-muridnya yang sedang dilanda kantuk.
"Terkadang dalam satu kalimatnya mengandung beribu makna, dalam satu pembacaanya dapat mengundang tangis seisi semesta... di Negeri ini, banyak sekali penyair yang mahir menghipnotis audiens dengan lantunan puisinya... Seperti Joko Pinurbo." Lanjutnya
ADVERTISEMENT
"Di halaman 50 pada LKS kalian, terdapat penggalan puisi karya Joko Pinurbo... silahkan dibaca, kemudian nanti salah satu dari kalian akan ibu tunjuk untuk membacakanya kembali di depan"
Kelas yang tadinya lenggang, menjadi riuh dalam sekejap... Sebab, beberapa siswa tak sepercaya diri itu untuk maju ke depan.
15 menit pun berlalu, Bu alfiah berdiri, kemudian menyapu seluruh kelas dengan pandanganya... mencoba mencari satu siswa yang akan di tunjuknya nanti ketika tidak ada berani yang maju.
"Baik anak-anak, siapa yang mau maju dan membacakan sepenggal puisi tersebut"
Kelas menjadi lenggang... Tangan-tangan siswa tidak terangkat... lisan mereka juga mengatup.
"Jika tidak ada yang mau... maka Ibu tunjuk saja... Ingat, dalam proses belajar ini tidak ada yang perlu ditakuti sebab semua yang ada disini merupakan penuntut ilmu."
ADVERTISEMENT
"Baruna, silahkan Maju!"
Baruna berdecak, ia memejamkan matanya sekejap... membayangkan dirinya sedang membaca puisi di depan dengan penuh perasaan. Selepas itu, ia beranjak dari bangku
"Penggalan puisi yang berjudul Kamus Kecil karya Joko Pinurbo." Kalimat pembuka berhasil Baruna lontarkan dengan percaya diri
"Saya... Dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu... Walauu, terkadang rumit dan membingungkan."
Sejenak Baruna turunkan LKS-nya, menatap teman-teman sekelasnya dengan percaya diri, dari sudut kiri ke sudut kanan.
Kemudian, ia mengintip sejak kemudian kembali mengutip
"Ia mengajari saya cara mengarang ilmu Sehingga saya tahu, bahwa sumber segala kisah adalah kasih"
Ia bacakan dengan nada rendah, jeda disematkan dan penekanan pada beberapa kalimat
"Bahwa, ingin berawal dari angan..Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba"
ADVERTISEMENT
Baruna tersekat, kemudian melanjutkan.
"Bahwa segala yang baik akan berbiak... bahwa orang ramah tidak mudah marah...Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih...Bahwa seorang bintang harus tahan banting"
mata Baruna mulai berkaca-kaca, ia jatuh dalam perasaan yang dalam, sedalam palung mariana.
"Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada tuhan...Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembila...Bahwa orang putus asa suka memanggil asu....Bahwa lidah memang pandai berdalih."
Baruna mengatup sekejap, memberikan jeda... Sembari mengamati teman-temanya yang mulai tenggelam dalam lautan puisi yang dalam.
"Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa... Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman."
"Sekian dari saya, terima kasih" kalimat penutup dari Baruna disambut dengan tepuk tangan yang bergemuruh.
ADVERTISEMENT
"Silahkan kembali ke tempat duduk Baruna" tutur Bu Alfiah
Kemudian, beliau kembali beranjak dari kursinya, berdiri untuk menjelaskan
"Seperti yang sudah ibu katakan tadi, dengan puisi kita bisa merangkum segenap pengalaman menjadi beberapa kalimat yang meluruhkan jiwa dan mengundang tangis seisi semesta... lihatlah, bagaimana kalian yang dilanda kantuk, seketika terkesima oleh puisi Karya jokpin dan pembacaan dari Baruna."
"Baiklah, cukup itu untuk hari ini, silahkan cari puisi-puisi yang akan kalian bacakan di depan pada Minggu yang akan datang... Apakah ada pertanyaan?"
" Tidak ada ibu!" sahut satu kelas.
"Keren Sekali kau Bar! sambar Rico sembari meraih pundak Baruna
Baruna hanya diam sambil menyeka peluh lantaran kipas angin di kelas masih kalah gagah dengan mentari.
ADVERTISEMENT