Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Hiperealitas Politik Indonesia
15 Agustus 2024 10:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Haidar Sabid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning.”― Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation
ADVERTISEMENT
Politik di Indonesia kini bukan hanya sekedar pertarungan ideologi (jika memang ideologi di Indonesia benar-benar ada) atau pertarungan kekuatan politik konvensional. Dinamika politik era modern telah melahirkan semacam hiperealitas, yang menurut pemikiran Baudrillard, adalah suatu realitas yang terbentuk oleh representasi-representasi yang tidak memiliki referensi terhadap realitas objektif. Dalam konteks politik Indonesia, kita melihat pola di mana emosi menjadi pusat dari konstruksi hiperealitas tersebut.
Jean Baudrillard, membahas mengenai konsep simulakrum yang merujuk pada representasi yang tidak lagi memiliki hubungan dengan realitas asli. Dalam konteks politik, media sosial sering kali menjadi wahana di mana hiperealitas dan simulasi dibangun dengan kuat. Politik emosi—penyampaian pesan politik melalui hasrat, emosi, dan reaksi instan—menggiring masyarakat ke dalam dunia simulasi yang tercipta oleh media sosial. Jika kita mencoba masuk pada alam pikiran Baudrillard, maka kita akan menemukan bahwa pada era ini realitas simulasi semakin mengaburkan garis batas antara realitas dan representasi.
ADVERTISEMENT
Dalam politik Indonesia, media sosial seolah menjadi panggung utama bagi penciptaan tanda dan petanda. Simbol-simbol politik dibangun, direkayasa, dan disebarkan melalui berbagai konten yang tidak selalu memiliki hubungan dengan realitas objektif. Tanda-tanda ini kemudian dipelintir oleh interpretasi yang dipengaruhi oleh emosi, membentuk realitas yang semakin terlepas dari substansi asli.
Politik di Indonesia, kini dipenuhi oleh gambaran yang dihasilkan oleh media sosial dan algoritma, menciptakan pemaknaan yang terfragmentasi dan terdistorsi tentang realitas politik sebenarnya. Hal ini memunculkan reaksi dan respons yang lebih dipengaruhi oleh emosi ketimbang analisis rasional atas fakta atau informasi.
Politik identitas, sentimen, dan narasi dominan membentuk hiperealitas dalam arena politik di Indonesia. Ketika politik diatur oleh emosi yang terus dipertajam oleh narasi-narasi yang dibangun, terciptalah suatu realitas yang dibentuk oleh representasi-representasi yang mengabaikan substansi keadaan sebenarnya. Baudrillard menegaskan bahwa dalam hiperealitas, apa yang dihadirkan adalah "lebih nyata dari realitas itu sendiri."
ADVERTISEMENT
Perdebatan politik, terutama dalam ranah digital, sering kali lebih tentang bagaimana sesuatu dipersepsikan ketimbang apa adanya. Konten-konten yang menyulut emosi di platform digital menjadi fokus utama dalam membentuk pandangan dan sikap terhadap suatu isu atau figur politik. Hal ini menggiring pola pikir yang terjebak dalam representasi yang terus berputar tanpa memperhatikan substansi yang sebenarnya.
Siapa Yang Harus Bertanggung Jawab?
Algoritma media sosial agaknya harus bertanggung jawab atas polarisasi masyarakat Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, media sosial telah menciptakan semacam echo chamber bagi para penggunanya. Fenomena echo chamber merujuk pada situasi di mana individu cenderung terjebak dalam lingkungan informasi yang memperkuat dan mengkonfirmasi pandangan atau opini yang sudah ada, tanpa banyak interaksi dengan pandangan yang berbeda atau informasi yang bertentangan. Ini sering terjadi di platform media sosial di mana algoritma pencarian dan pengaturan konten memunculkan konten yang sejalan dengan preferensi, kebiasaan, dan opini pengguna.
ADVERTISEMENT
Algoritma di media sosial, seperti yang dimiliki oleh platform seperti Facebook, Twitter, atau YouTube, dirancang untuk menyajikan konten kepada pengguna berdasarkan pada perilaku online mereka. Ini mencakup apa yang mereka like, share, atau tonton, serta profil dan preferensi yang dikumpulkan oleh platform tersebut. Algoritma ini bertujuan untuk mempersonalisasi pengalaman pengguna dengan menampilkan konten yang dianggap relevan atau menarik bagi mereka.
Sayangnya, algoritma ini dapat membangun dan memperkuat fenomena echo chamber. Misalnya, seseorang yang cenderung menyukai atau berinteraksi dengan konten yang mendukung suatu opini politik tertentu akan cenderung disajikan dengan lebih banyak konten yang serupa. Ini memperkuat pandangan mereka sendiri tanpa terpapar pada sudut pandang atau informasi yang berbeda. Akibatnya, masyarakat dapat terperangkap dalam lingkungan di mana pandangan mereka diperkuat, sementara sudut pandang alternatif diabaikan atau dihindari.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, fenomena echo chamber atau ruang resonansi semakin memperkuat konstruksi hiperealitas politik. Di media sosial, individu cenderung terpapar dengan pandangan yang sejalan dengan pendapat mereka sendiri. Mereka berinteraksi dan terlibat dalam lingkungan yang hanya memperkuat sudut pandang yang sudah ada, tanpa menyentuh realitas alternatif atau informasi yang mungkin bertentangan. Hal ini mengakibatkan terpolarisasi dan terfragmentasinya realitas politik, di mana interpretasi dan opini lebih didasarkan pada emosi dan identitas kelompok daripada pada fakta dan analisis objektif.
Penutup
Tidak berlebihan jika penulis menyatakan bahwa, politik Indonesia telah terperangkap dalam jaringan simulakrum, di mana realitas semakin mengabur dan terlepas dari substansi objektifnya. Dalam kekaburan ini, penulis akan mengajak pembaca untuk bertanya: apakah kita telah benar-benar berpartisipasi dalam politik yang berlandaskan substansi dan fakta, ataukah kita semakin tenggelam dalam konstruksi hiperealitas yang diperkuat oleh emosi, representasi yang terlepas dari kenyataan sebenarnya?
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat yang ‘diperebutkan’ dalam dinamika politik, penting bagi kita untuk merenung, apakah pandangan politik kita terbentuk atas fakta dan analisis yang objektif, atau pandangan kita terjebak dalam lingkaran representasi (palsu) yang hanya memperkuat pandangan yang sudah ada? Mungkin, dalam upaya memahami dinamika politik dan media sosial, kita perlu melangkah mundur sejenak, merenungkan peran emosi, tanda dan petanda, serta dampak fenomena echo chamber. Bagaimana kita dapat menciptakan ruang untuk mendengar perspektif yang berbeda, mempertanyakan tanda dan petanda yang kita terima, dan memastikan bahwa pandangan kita tidak hanya tertutup dalam lingkaran pandangan yang serupa?