Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Solastalgia dan Ketakutan Manusia Akan Kehancuran Rumahnya
31 Juli 2024 17:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Haidar Sabid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mungkin tidak ada tema yang lebih sering diulang-ulang dan digembor-gemborkan pada era ini selain krisis iklim dan permasalahan lingkungan. Bagaimana tidak, rasa-rasanya tiap hari kita ditodong oleh berita terkait kerusakan Bumi di segala lini. Mulai dari mencairnya es di lingkar kutub, hingga perubahan cuaca ekstrem yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Perubahan-perubahan ini tak lain dan tak bukan merupakan ulah dari tingkah sebagian manusia melalui pola eksploitasi kapitalis yang pada akhirnya mendorong bumi menuju sebuah katastrofi. Manusia era ini berhasil memunculkan suatu problem biosfer multispesies sebagai akibat dari laju keplanetan yang semakin menjauh dari batas aman.
Sekian dari banyaknya problem yang dihasilkan dari kerusakan ini adalah eco-anxiety.
Eco-anxiety, atau kecemasan ekologis, adalah fenomena yang semakin marak di zaman ini. Istilah ini menggambarkan rasa takut pada manusia yang takut akan tibanya ‘hari kiamat’ (doomsday) akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang terpampang jelas di depan mata.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak takut dan cemas, manusia setiap hari dibayang-bayangi oleh kerusakan alam dan masa depan yang kian hari kian tak menentu—seolah tiap langkah mereka adalah fastrack menuju kiamat yang mengerikan. Kecemasan ini tak lain merupakan akumulasi dari berita dan kabar buruk yang tiap hari manusia tonton atau bahkan mereka rasakan. Dari kecemasan ini, akhirnya manusia mengalami suatu perasaan yang disebut sebagai Solastalgia.
Solastalgia, ialah konsep yang dikemukakan oleh seorang filsuf lingkungan bernama Glenn Albrecht. Albrecht menjelaskan secara ringkas konsep ini sebagai suatu perasaan homesick atau “kangen rumah” yang dirasakan manusia—padahal ia masih berada di rumah (baca: bumi).
Perasaan homesick dan kesedihan ini muncul ketika seseorang menyadari bahwa lingkungan tempat tinggalnya mengalami perubahan drastis. Bahwa ada yang berubah dari “rumah” mereka. Misalnya, hutan yang dulu rimbun kini berubah menjadi ladang sawit yang gersang, sungai yang dulu jernih kini berwarna cokelat karena limbah industri, atau udara yang dulu segar kini tercemari oleh asap pabrik dan kendaraan.
ADVERTISEMENT
Solastalgia adalah rasa rindu pada rumah yang mulai berubah, di mana seseorang merasa terasing di tanah mereka sendiri karena kerusakan lingkungan.
Ironisnya, mereka yang paling menderita akibat krisis iklim adalah mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadapnya. Negara-negara Selatan, yang seringkali menjadi korban dari eksploitasi sumber daya oleh negara-negara utara, menghadapi dampak perubahan iklim yang paling parah. Mereka mengalami banjir, kekeringan, dan bencana alam lainnya dengan frekuensi yang semakin meningkat.
Sementara itu, negara-negara maju menikmati kenyamanan dan kekayaan yang dihasilkan dari praktik-praktik yang merusak lingkungan—lantas cuci tangan melalui kegiatan pseudo-environmental yang tidak mengubah apa-apa.
Pikiran manusia yang merasa cemas dan terasing ini bisa dilihat sebagai refleksi dari kondisi kita yang sebenarnya: kita terputus dari alam. Kita hidup dalam dunia yang dibentuk oleh kapitalisme dan industrialisasi, di mana alam hanya dianggap sebagai komoditas.
ADVERTISEMENT
Paradigma ini kemudian menciptakan dualisme antara manusia dan alam, seolah-olah kita adalah entitas yang terpisah dari ekosistem yang kita huni. Padahal kita adalah bagian dari alam, segala apa yang kita lakukan pada alam akan berbalik pada diri kita sendiri.
Kerusakan Alam dan Masa Depan Kita yang Pelan-pelan Dibatalkan
Solastalgia bukan sekadar nostalgia akan masa lalu yang hilang, melainkan suatu manifestasi dari ketakutan akan masa depan yang tidak pernah terjadi, masa depan yang pelan-pelan sedang dibatalkan (the slow cancellation of the future).
Dengan kata lain, solastalgia dapat dipahami sebagai momen hauntologis di mana masa depan yang pernah kita impikan—masa depan di mana lingkungan tetap lestari dan kita hidup harmonis dengan alam—telah dibatalkan oleh realitas kehancuran ekologis dan kita dihantui olehnya.
ADVERTISEMENT
Masa depan yang telah dicancel adalah masa depan di mana anak-anak kita bisa bermain di hutan yang subur, di mana kita bisa menikmati udara segar tanpa rasa khawatir tentang polusi dan bencana alam.
Masa depan kita dibatalkan oleh tindakan-tindakan rakus kapitalis yang tak peduli pada lingkungan, oleh kerakusan perusahaan yang mengeruk sumber daya alam tanpa batas, dan oleh kebijakan-kebijakan politik yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada kelangsungan hidup jangka panjang.