Konten dari Pengguna

Stop! Jangan Lagi Menganggap Bahwa Korupsi Adalah Budaya Kita

Haidar Sabid
Mahasiswa Sosiologi di Universitas Brawijaya
12 Agustus 2024 14:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haidar Sabid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. Dokumetasi: Freepik/Raw Image
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. Dokumetasi: Freepik/Raw Image
ADVERTISEMENT
The self-fulfilling prophecy is, in the beginning, a false definition of the situation evoking a new behavior which makes the originally false conception come true. – Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat, korupsi sering kali dipandang sebagai suatu keniscayaan—sebuah penyakit sosial yang melekat dan sulit diberantas. Kerap kali kita mendengar lelucon dan ungkapan pesimistis bermajas ironi mengenai bagaimana korupsi adalah bagian dari budaya masyarakat Indonesia seolah-olah menganggap bahwa korupsi sudah melekat “dari sananya”. Ungkapan pesimistis tersebut boleh jadi merupakan upaya pelepasan; atau lebih tepatnya manifestasi kepasrahan kolektif dari masyarakat yang muak dengan serangkaian kasus korupsi yang tumbuh subur di negara kita; bak cendawan di musim hujan.
Barangkali pembaca yang budiman dan (semoga saja) bermental anti korupsi pernah mendengar mengenai manifesting LoA (Law of Attraction)—sebuah konsep dari abad ke-19 yang dihidupkan kembali oleh kaum neo-spiritual era ini—yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di jagad mayantara. Namun, mari kita hadapi kenyataan pahit bahwa kita hari ini—sebagai bangsa—mungkin saja tengah menerapkan LoA secara tak sadar dalam hal korupsi.
ADVERTISEMENT
LoA mengajarkan bahwa apa yang kita pikirkan, kita bayangkan, dan kita yakini secara terus menerus akan terwujud menjadi kenyataan. Dalam konteks korupsi, jika kita terus-menerus menganggap korupsi sebagai sesuatu yang tak terelakkan, sebagai takdir yang tak bisa dihindari, maka kita justru menarik energi negatif itu ke dalam realitas kita. Pikiran kolektif masyarakat yang terus-menerus dibombardir dengan ide bahwa "korupsi adalah bagian dari budaya kita" akhirnya menciptakan kondisi di mana korupsi memang benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial dan politik kita.
Di sinilah ramalan swawujud (self-fulfilling prophecy) dari Robert K. Merton mengambil peran sentral. Ramalan swawujud dari Merton mirip dengan konsep LoA, di mana keyakinan atau ekspektasi awal kita, meskipun keliru, memicu serangkaian tindakan dan reaksi yang akhirnya mewujudkan keyakinan tersebut menjadi kenyataan. Ketika kita memulai dengan keyakinan bahwa korupsi adalah budaya kita—sesuatu yang tak bisa dihindari, kita perlahan akan meresponsnya dengan perilaku yang mendukung keyakinan tersebut. Kita berhenti berusaha untuk melawan, kita menjadi apatis, dan kita bahkan mulai merasionalisasi atau membenarkan praktik-praktik korupsi kecil dalam kehidupan sehari-hari. Ramalan yang awalnya salah—bahwa korupsi adalah takdir bangsa ini—menjadi benar karena perilaku kita yang seolah-olah menerima dan memaklumi kenyataan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketika kita mulai menganggap korupsi sebagai takdir yang tak terelakkan, sesungguhnya kita telah mengikatkan diri pada kebohongan kolektif. Kita terjebak dalam ilusi yang kita ciptakan sendiri, bersekongkol dengan ketidakberdayaan yang kian lama kian mewabah seperti kanker. Kita tertawa getir saat mendengar guyonan tentang “budaya amplop” di perkantoran atau tentang “uang pelicin” yang menjadi syarat tak tertulis dalam setiap urusan birokrasi. Tertawa, ya, tapi itu adalah tawa getir yang menandakan kekalahan kita terhadap sistem yang busuk ini. Kita telah menginternalisasi korupsi sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas kita sebagai bangsa. Dan di sinilah kita melihat bagaimana ramalan yang awalnya salah, yang dikemas dalam bentuk canda tawa, akhirnya menjelma menjadi kenyataan yang pahit dan tak terhindarkan. Budaya korupsi tumbuh subur bukan karena ia tak bisa diberantas, tapi karena kita—sebagai bangsa—memeliharanya, menyiraminya dengan apatisme, dan menggunakannya sebagai senjata dalam survival of the fittest ala Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meminjam istilah Bordieu, term “Korupsi adalah budaya kita” perlahan berubah menjadi doxa yang diterima begitu saja. Akhirnya, masyarakat kita seolah-olah telah dikondisikan untuk menerima korupsi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kita telah menjadi homo corruptus—manusia yang lahir, besar, dan mati dalam kubangan korupsi. Sebuah generasi yang dibesarkan dengan mentalitas "Ya, begitulah adanya" adalah generasi yang siap menerima kehancuran, sebagai harga yang harus dibayar mahal.
Kita perlu membangun semacam kesadaran kolektif yang kuat untuk melawan narasi bahwa korupsi adalah sesuatu yang normal. Kita harus mengganti LoA negatif yang selama ini kita manifesting dengan keyakinan yang lebih positif—bahwa integritas, kejujuran, dan keadilan adalah nilai-nilai yang bisa dan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Dimulai dengan membalikkan cara berpikir kita—dengan menolak untuk menerima korupsi sebagai sesuatu yang biasa dan berani bergerak untuk melawannya—kita bisa mulai membangun masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana korupsi tidak lagi menjadi doxa, tetapi menjadi sejarah kelam yang kita tinggalkan dan campakkan.
ADVERTISEMENT