Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bagaimanapun Juga, Tambang Tetaplah Tambang
4 Agustus 2024 17:56 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selain ramai akan penolakan atas penerimaan izin usaha tambang oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, istilah green mining juga tak kalah ramai diperbincangkan. Green mining merujuk pada aktivitas pertambangan berupa mengekstraksi, mengolah, dan mendistribusikan hasil tambang berdasarkan wawasan lingkungan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang patut dipertanyakan ialah: apakah green yang dimaksud benar-benar ramah lingkungan dan bukan gimmick semata?
Klaim "ramah lingkungan" dalam industri pertambangan seringkali terdengar seperti oksimoron—dua hal yang saling bertentangan diletakkan dalam satu tempat yang sama. Bagaimana mungkin aktivitas yang secara inheren merusak alam dapat disebut "hijau"? Konsep green mining tampaknya lebih menyerupai strategi pemasaran daripada solusi nyata untuk masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan.
Keputusan NU dan Muhammadiyah untuk menerima izin usaha tambang semakin memperumit situasi. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Namun, dengan menerima izin ini, mereka seolah memberikan legitimasi pada praktik yang berpotensi merusak alam.
ADVERTISEMENT
Klaim "hijau" dalam green mining terasa seperti lelucon pahit mengingat kerusakan lingkungan yang tak terelakkan dari aktivitas pertambangan. Standar yang ada pun tampak kabur dan mudah dimanipulasi, seolah-olah diciptakan hanya untuk meredam kekhawatiran publik tanpa substansi nyata. NU dan Muhammadiyah, dengan keputusan kontroversial mereka, kini berdiri di tepi jurang moral.
Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan, mereka berisiko menjadi boneka industri yang mengatasnamakan lingkungan demi keuntungan semata. Motif ekonomi yang tampaknya mengemuka dalam keputusan ini mencerminkan degradasi nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi oleh organisasi keagamaan.
Alih-alih menjadi penjaga alam dan pembela generasi mendatang, NU dan Muhammadiyah justru berpotensi menjadi sekutu dalam perusakan lingkungan sistematis yang dibungkus rapi dalam retorika "pertambangan hijau".
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, konsep green mining sendiri masih sangat kontroversial. Terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa istilah ini hanyalah bentuk greenwashing—upaya untuk memberikan citra ramah lingkungan pada industri yang pada dasarnya merusak alam. Pada kenyataannya, tidak ada cara yang benar-benar "hijau" untuk mengekstraksi sumber daya alam secara besar-besaran.
Dengan demikian, keputusan NU dan Muhammadiyah untuk terlibat dalam industri pertambangan, bahkan dengan label "hijau", perlu dikaji ulang. Sebagai pemimpin moral masyarakat, mereka seharusnya lebih kritis terhadap klaim-klaim industri dan lebih mengutamakan perlindungan lingkungan yang nyata.
Akhirnya, kita harus bertanya: apakah ada alternatif yang lebih berkelanjutan daripada pertambangan? Mungkinkah fokus pada pengembangan energi terbarukan atau ekonomi sirkular akan lebih sesuai dengan misi sosial dan lingkungan dari organisasi-organisasi keagamaan ini?
ADVERTISEMENT
Atau jangan-jangan, ada pola pikir rugi = mudharat, untung = maslahat.
Sebagai kesimpulan, istilah green mining dan keterlibatan organisasi keagamaan dalam industri pertambangan perlu diteliti lebih lanjut. Masyarakat sipil harus tetap kritis dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat. Hanya dengan demikian, kita, sebagai warga negara, dapat memastikan bahwa kepentingan lingkungan dan masyarakat tidak dikorbankan demi keuntungan jangka pendek segelintir orang atau kelompok.