Konten dari Pengguna

Buku yang Dibakar, Pemikiran yang Tak Terbakar

Naufal Demelzha
Mahasiswa Hubungan Internasional UMM dan Peneliti Parrhesia Collective Academia
4 November 2024 14:45 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku dibakar. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku dibakar. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Dosa besar terhadap buku memang bukan sekadar membakarnya; dosa terbesar adalah tidak membacanya. Namun apa jadinya jika pembakar buku bahkan bukan seorang pembaca? Inilah yang terlihat pada pembakar buku Najwa Shihab. Orang yang memahami nilai buku tak mungkin merusak karya seperti itu. Bukannya membakar, melihat buku lusuh saja terasa seperti pelanggaran tersendiri bagi para pencinta literasi.
ADVERTISEMENT
Pembakaran buku Najwa ini tampaknya dipicu oleh kicauan kritis Najwa Shihab yang mengomentari Joko Widodo yang pulang ke Solo dengan pesawat TNI-AU, memicu kemarahan sebagian kalangan yang merasa "tersenggol" dengan kata ‘nebeng’. Akibatnya, Najwa dihujani komentar kebencian, khususnya di platform TikTok, yang sering kali lebih cenderung pada emosi daripada logika.
Tak terbayang betapa mengecewakannya membaca komentar-komentar di TikTok yang menyerang Najwa Shihab dengan kata-kata kasar dan cenderung merendahkan. Apakah sebegitu dangkalnya cara pandang sebagian orang yang malah mendukung tindakan pembakaran buku tersebut? Pembakaran fisik buku hanya menghilangkan wujudnya, namun ide-ide di dalamnya tidak akan pernah mati. Buku yang dibakar justru sering menjadi inspirasi baru, berlipat ganda, menjalar ke mana-mana, mengakar lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini mengingatkan pada aksi konyol beberapa tahun silam, ketika oknum Satpol PP di Kediri menyita buku-buku yang dianggap berhaluan ekstrem, baik kiri maupun kanan, dari beberapa toko. Meskipun kedua tindakan ini jelas salah, penyitaan di Kediri masih terbilang lebih 'lembut' ketimbang pembakaran langsung oleh seorang individu yang tanpa berpikir panjang.
Pembakaran buku—sebuah tindakan destruktif yang hanya memuaskan ego sesaat—adalah bentuk anti-intelektualitas. Bukannya melawan argumen dengan argumen, si pembakar memilih jalan pintas yang justru mengabaikan substansi. Sikap ini menunjukkan minimnya penghargaan terhadap keberagaman pikiran dan minimnya kemampuan untuk bersikap kritis. Ia lebih memilih menyerang simbol daripada menantang pemikiran.
Buku, pada hakikatnya, adalah jendela bagi pembaca untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Dalam setiap lembar kertas dan tinta yang terkandung di dalamnya, ada perjuangan, pemikiran, dan refleksi dari penulis yang siap membuka cakrawala bagi siapa saja yang bersedia membaca. Pembakaran buku tidak sekadar mencerminkan kebodohan, melainkan juga penolakan terhadap diskursus, sebuah tindakan menyedihkan yang membatasi kebebasan berpikir. Ironisnya, mereka yang membakar buku, alih-alih memadamkan ide, justru mengobarkan bara intelektual yang akan menyala lebih terang di kemudian hari.
ADVERTISEMENT