Konten dari Pengguna

Dosen yang Jarang Mengajar Terkadang Perlu Digampar

Naufal Demelzha
Mahasiswa Hubungan Internasional UMM dan Peneliti Parrhesia Collective Academia
18 Juli 2023 18:13 WIB
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Di masa perkuliahan, mahasiswa kerap kali menghadapi berbagai dinamika untuk menggapai iklim akademis yang ideal. Salah satu aspek yang memengaruhi hal tersebut adalah dosen yang jarang mengajar. Tak jarang performa kehadiran dan kualitas pengajaran seorang dosen justru menghambat progresivitas mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa yang ingin terus tumbuh dan berkembang, akan sangat pedih rasanya jika kita telah membayar jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan dosen yang ngang-ngong saat mengajar. Tidak hanya itu, pemberian tugas juga cenderung tidak jelas. Bagaimana bisa seorang dosen memberikan tugas berdasarkan materi yang bahkan tidak pernah terucap dari mulutnya?
Ilustrasi mahasiswa yang menunggu dosen. Foto: Dokumentasi pribadi
Mahasiswa melangkah ke ruang perkuliahan dengan harapan untuk mencari asupan intelektual yang menambah wawasan. Sesampainya di ruang perkuliahan, mahasiswa justru dikejutkan dengan notifikasi ponsel yang berisi sabda dosen bahwa kelas hari ini diadakan dengan moda daring. Untungnya, fenomena demikian hanya terjadi dan kami rasakan pada satu mata kuliah, yaitu Hukum Internasional, yang diampu oleh dosen yang berasal dari luar program studi Hubungan Internasional UMM (dosen eksternal dari Fakultas Hukum UMM).
ADVERTISEMENT

Universitas dan Analogi Pasar

Ilustrasi Pasar. Foto: Pexels
Dalam konteks ini, kampus sebagai wadah yang seharusnya mengakomodasi mahasiswa dapat diibaratkan sebagai pasar. Aktivitas pembelajaran dapat dianalogikan sebagai kegiatan transaksi antara penjual dan pembeli.
Hal yang membedakan keduanya adalah aktivitas tawar-menawar. Di kampus, kecil sekali kemungkinan untuk melakukan tawar menawar terkait dengan pembiayaan kuliah, kecuali melalui prosedur dispensasi.
Di pasar, seorang pembeli berhak untuk mendapatkan komoditas yang berkualitas dari para penjual. Sama halnya dengan universitas, mahasiswa berhak mendapatkan asupan intelektualitas dari tenaga profesional, yaitu dosen. Akan tetapi, baik dari dosen ataupun mahasiswa, seringkali mengesampingkan kewajibannya, yaitu mengajar dan belajar.
Dengan berbagai alasan layaknya agenda seremonial, mengurus anak, dan alasan sibuk lainnya menjadikan dosen melupakan tugas mulianya. Adanya penugasan tanpa adanya pembelajaran merupakan sebuah omong kosong di ranah pendidikan. Hal semacam itulah yang sangat disayangkan oleh para mahasiswa dari dosen-dosen yang jarang mengajar.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dari perspektif mahasiswa, rekan sesama dosen pun merasa “jijik” dengan sikap seorang dosen yang hanya memberi tugas tanpa adanya pembelajaran. Tidak bisa membayangkan betapa kecewanya seorang dosen yang memberikan segala effort-nya untuk mengajar secara profesional ketika mendengar kinerja dosen yang ternyata seenaknya saja.

Masih Dosenkah Mereka?

Ilustrasi dosen mengajar. Foto: Pexels
Secara identitas, individu tersebut memang masih berstatus sebagai dosen. Akan tetapi, apabila menggunakan kacamata identitas performatif, dapat ditegaskan bahwa individu tersebut bukanlah seorang dosen.
Menjadi seorang dosen tidak sebatas bekerja di kampus, lalu mengajar dan fafifu di kelas. Namun, lebih daripada itu haruslah menjadi individu yang mengakomodasi kehausan intelektual mahasiswa di ranah akademis.
Dengan adanya kinerja dosen yang dapat dikatakan prematur tersebut, secara tidak langsung telah menghambat wacana Indonesia Emas 2045 yang sering digaungkan belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa seorang dosen yang hanya mengadakan kelas melalui Zoom Meeting dan penugasan melalui situs daring kampus mampu menciptakan generasi-generasi emas yang menunjang kemajuan bangsa?
Dalam Sebuah buku yang berjudul "Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi" karya Fleming (2022), Profesor Stefan Grimm menyadari sebuah kondisi yang mengkhawatirkan.
Grimm menggunakan frasa “terbit atau mati” untuk menggambarkan para mahasiswa yang membayar segelintir uang demi memperpanjang status aktifnya sebagai mahasiswa di suatu universitas. Pengeluaran uang tersebut seharusnya berbanding lurus dengan apa yang akan didapatkan oleh mahasiswa.
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
Pada kenyataannya, para mahasiswa justru tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan—dalam konteks ini adalah dosen berkualitas. Dengan adanya satu saja eksistensi dosen yang seperti itu, tentu saja akan sangat berpengaruh jika mengingat mata kuliah tersebut memiliki relevansi yang krusial dengan mata kuliah lainnya.
ADVERTISEMENT
Situasi pendidikan yang demikian tentu sangat mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan seolah-olah tenaga profesional layaknya dosen justru mengerdilkan ilmu pengetahuan dengan melupakan berbagai kewajiban.
Melalui pengalaman penulis, eksistensi dosen seperti itu menjadi sebuah evaluasi untuk program studi terkait memilah tenaga pendidiknya. Besar harapan kami, para mahasiswa, agar dosen-dosen demikian dapat dengan segera mendapatkan hidayah untuk kembali ke jalan yang mencerahkan.