Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ekspedisi Tanpa Peta, Badan Tanpa Kepala
30 Oktober 2024 10:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Jangankan mendapat harta karun, peta saja tidak punya,” keluh seorang awak kapal di bawah terik matahari.
ADVERTISEMENT
Di kejauhan, kapal tampak gagah melawan ombak, layarnya terkembang, seolah siap menuju petualangan besar. Namun, dari dalam, para awak tahu kapal ini tak lebih dari rumah terapung yang kehilangan arah.
Sang nakhoda, yang lebih sering terbuai oleh cerita-cerita heroik petualangan besar, terus mengarahkan mereka ke jalur yang sama—salah dan berbahaya. Setiap badai yang datang membuatnya kebingungan, sementara peta yang dijanjikan tak pernah ada dalam genggaman. Perlahan, harapan para awak mulai tergerus, tenggelam bersama janji-janji kosong yang tak pernah berwujud nyata.
Menanti Asa, Terombang Tanpa Makna
Para awak kapal terus bekerja di bawah terik matahari dan terpaan ombak. Setiap hari, mereka menarik layar, merapikan tali, membersihkan geladak. Di hadapan mereka, lautan terbentang luas, namun tujuan tak kunjung terlihat.
ADVERTISEMENT
Mereka bekerja, namun tak tahu ke mana kapal ini sebenarnya akan berlabuh. Perintah dari sang nakhoda tak pernah terdengar, dan peta harta karun yang dijanjikan tak pernah benar-benar dibentangkan. Tugas mereka hanya sekadar menunaikan kewajiban, tanpa arah dan makna.
Seharusnya ada komando yang tegas, rencana yang jelas, namun kapal ini justru melayang di tengah samudera, terombang-ambing di lautan kabut. Apa yang seharusnya menjadi perjalanan penuh harapan kini terasa seperti beban yang berat.
Hari demi hari, mereka mendayung tanpa tahu ke mana arah mereka pergi. Angin dan ombak adalah satu-satunya yang membawa mereka ke mana-mana, hanya untuk kembali ke titik semula, tanpa jejak yang berarti.
Di setiap pertemuan di bawah rasi bintang langit selatan, sang nakhoda selalu melontarkan rencana besar. Harta karun yang katanya sudah dekat, pulau impian yang hanya tinggal beberapa mil. Namun, ketika semua kembali ke geladak, harapan itu menguap, tak lebih dari angan kosong. Kalimat-kalimat penuh janji itu hilang dalam kabut malam, tak meninggalkan apa-apa selain kebingungan dan kelelahan.
ADVERTISEMENT
Para awak yang dulu penuh semangat kini mulai tak peduli. Mereka tahu, setiap janji tentang pulau penuh emas itu hanyalah khayalan. Berkali-kali mereka berlabuh di pulau yang kosong, berkali-kali pula mereka disuruh berlayar lagi, menyusuri lautan tanpa arah.
Pilihan mereka makin sempit: tetap berada di kapal ini, mengikuti rencana yang tampak sia-sia, atau diam-diam berharap badai besar datang dan membawa mereka ke nasib yang lain.
Akan tetapi, laut memanggil, dan kapal tetap bergerak. Setiap pekerjaan kecil yang mereka lakukan—mengamankan layar, mengatur kemudi—terus datang silih berganti, meski semua itu tak membentuk petunjuk atau gambaran tentang harta yang dicari.
Mereka mulai mempertanyakan arah kapal ini, meragukan tujuan yang dulu diyakini begitu pasti. Menanti arah yang tak kunjung tiba, mereka terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian—terjebak di antara janji yang tak terpenuhi dan kenyataan yang tak pernah membawa mereka ke tujuan.
ADVERTISEMENT
Durjana Cangkem, Nakhoda Merem
“Sebentar lagi kita sampai,” ujar sang nakhoda sambil memandang ke lautan kosong, seakan pulau impian ada di depan mata. Kata-katanya terdengar mantap, namun para awak tahu betul: itu sekadar janji. Berkali-kali dia berkata demikian, namun pulau itu tak pernah tampak di cakrawala.
Setiap kali ada angin kencang atau badai kecil, dia terdiam, seperti memikirkan jalan keluar, namun tetap saja arah kapal tak berubah—berputar di lautan yang sama, tanpa panduan, tanpa hasil.
Malam-malam di geladak kini terasa sunyi. Para awak mulai berhenti membicarakan harta karun atau rencana besar; mereka paham bahwa setiap janji yang terlontar dari bibir nakhoda hanyalah "durjana cangkem"—sebuah kebohongan yang terdengar merdu namun hampa.
ADVERTISEMENT
Mereka lelah berharap, lelah memercayai peta yang tak pernah ada, dan lebih dari itu, mereka lelah dipimpin oleh nakhoda yang lebih memilih menutup mata daripada menghadapi realita.
Para awak yang dulu berdiskusi tentang masa depan kini terdiam, menjalankan tugas sekenanya. Di mata mereka, setiap tindakan hanyalah pengulangan dari hari sebelumnya, sekadar bertahan hidup di lautan luas. “Nakhoda picek,” bisik seorang awak, menyuarakan perasaan mereka semua.
Bagi mereka, kapal ini tak ubahnya sebuah penjara terapung; mereka bisa melihat cakrawala di sekeliling, namun tak ada kebebasan, tak ada pelabuhan tempat mereka bisa berlabuh dengan tenang.
Sesekali, beberapa awak melontarkan kritik, berharap sang nakhoda akan sadar. Akan tetapi, kritik itu tak pernah lebih dari suara angin yang berlalu, diabaikan seperti angin malam yang menderu tanpa arah.
ADVERTISEMENT
Bahkan saat sang nakhoda mendengar, responsnya hanyalah sekadar senyum atau anggukan yang lemah. Kebingungan menyelimuti para awak—mereka ingin percaya lagi, namun pengalaman telah mengajarkan bahwa percaya adalah keputusan yang sia-sia.
Bebas dan Membebaskan
Akhirnya, malam yang dinanti itu tiba. Di bawah sinar Sirius dan Betelgeuse yang terang namun terasa suram, dengan hati yang penuh tekad dan kekecewaan, para awak berkumpul di geladak. Mereka saling bertukar pandang, tanpa perlu berkata-kata.
Tanpa tujuan, tanpa arah, kapal ini hanya menjadi beban yang menahan mereka di lautan tanpa akhir. Maka, dengan lentera-lentera yang tersimpan selama ini, mereka menyulut kayu kapal yang mulai lapuk. Api merambat pelan, tapi pasti, memakan papan-papan kayu yang selama ini menjadi penjara mereka.
ADVERTISEMENT
Sang nakhoda berteriak, kebingungan, melihat nyala api yang mulai menjalar di seluruh kapal. Akan tetapi, para awak sudah tak peduli. Mereka menyaksikan kobaran api itu dengan tatapan dingin—membakar semua janji kosong, harapan yang sia-sia, dan ilusi akan harta karun yang tak pernah ada.
Bagi mereka, kapal ini lebih baik lenyap daripada terus terombang-ambing tanpa arah. Lebih baik terbakar habis daripada menjadi lambang kepalsuan yang tak pernah membawa mereka pada tujuan.
Api makin besar, kapal kian memanas, hingga akhirnya tenggelam dalam kobaran yang menyala-nyala. Para awak melompat ke air, membiarkan diri mereka hanyut oleh gelombang, bebas dari ilusi, tanpa lagi terikat pada janji-janji kosong.
Mereka mengambang di laut lepas, namun untuk pertama kalinya, terasa ada kelegaan yang memancar dari dada mereka. Bukan lagi kapal yang menentukan nasib mereka, melainkan keberanian untuk membakar apa yang selama ini mengikat mereka pada mimpi yang palsu.
ADVERTISEMENT