Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Gerakan Mahasiswa Jalan Ketiga
6 Agustus 2024 18:25 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerakan mahasiswa telah lama menjadi kemunafikan yang jarang disadari. Mulai dari romantisasi Gerakan Reformasi 1998 yang dipenuhi intrik dan pengkhianatan aktivis, hingga aktivis Gerakan Reformasi Dikorupsi yang meng-endorse Shopee. Dikotomi gerakan dipandang hanya memiliki dua persimpangan yang saling meniadakan: duduk di singgasana kekuasaan dan menghunuskan pedang kebencian sekaligus menjauhi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan merupakan hal yang lumrah di kancah perpolitikan. Namun, kekuasaan tidak semestinya dipandang sebagai sebuah tujuan, melainkan sebagai sebuah alat perjuangan. Kesalahpahaman tentang kekuasaan inilah yang menjadi akar impotensi akan nilai-nilai objektif dari gerakan mahasiswa.
Pandangan yang mereduksi gerakan mahasiswa menjadi dua kubu ekstrem—mereka yang merangkul kekuasaan dan mereka yang menolaknya mentah-mentah—telah menciptakan jurang pemisah yang kontraproduktif. Di satu sisi, mereka yang terlalu haus akan kekuasaan cenderung melupakan esensi perjuangan dan mudah terjebak dalam permainan politik praktis. Di sisi lain, mereka yang terlalu idealis dan menjauhkan diri dari kekuasaan seringkali gagal mewujudkan perubahan nyata karena ketiadaan akses dan pengaruh.
Impotensi Keberpihakan dari Gerakan Mahasiswa
Di kampus saya, Universitas Muhammadiyah Malang, keberpihakan pada kelas tertindas hanya digaungkan melalui suara-suara sumbang yang tidak memiliki sustainability yang bernas dan konkret. Gairah perjuangan hanya membara saat berebut kuasa dan mencari suara. Para so-called aktivis ini rela berkelahi, bahkan saling melempar kursi, hanya untuk menduduki kekuasaan yang diagung-agungkan.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan telah menjadi tujuan akhir yang seolah-olah di depannya tidak akan terjadi apa-apa. Setelah menduduki posisi ketua himpunan, gubernur, dan presiden mahasiswa, gairah a luta continua—perjuangan masih berlanjut—terhenti begitu saja. Mereka lupa, atau mungkin sengaja melupakan, bahwa titik mereka berpijak berada masih sangat jauh dari vitoria e certa—kemenangan yang sesungguhnya.
Euforia elektoral internal kampus hanya memperparah degradasi substantif dari gerakan mahasiswa. Para so called aktivis ini seringkali abai terhadap realitas bahwa posisi dan amanah yang mereka raih sejatinya ialah untuk memperjuangkan kepentingan yang lebih besar.
Fenomena demikian mengungkap krisis identitas yang menjalari gerakan mahasiswa kontemporer. Mahasiswa yang didapuk menjadi agent of change justru terjebak dalam egosentrisme politik pragmatis yang dangkal dan bertentangan dengan semangat revolusi yang mereka kumandangkan. Akibatnya, citra mahasiswa menjadi bobrok akibat ulah “hamasiswa” yang mengalami dekadensi pondasi moral ini.
ADVERTISEMENT
Stagnasi gerakan pasca mencapai kekuasaan juga mengindikasikan absennya visi dan misi berkelanjutan dalam gerakan mahasiswa. Slogan-slogan revolusioner yang dikumandangkan menguap begitu saja tanpa adanya gerakan berkelanjutan yang programatik. Revolusi yang acap kali digaungkan membutuhkan konsistensi dan komitmen, bukan hanya momentum sporadis yang berakhir dengan ejakulasi kepentingan bendera-bendera yang menaungi kalian!
Ketika aktivisme mahasiswa tereduksi menjadi sekadar ajang perebutan kekuasaan internal, relevansinya dalam konteks perjuangan sosial yang lebih luas menjadi dipertanyakan. Gerakan mahasiswa berisiko kehilangan posisinya sebagai kekuatan moral dan intelektual yang secara historis telah berperan signifikan dalam mendorong transformasi sosial-politik di berbagai belahan dunia.
Gerakan Mahasiswa Jalan Ketiga
Ketika berbicara tentang “jalan ketiga”, saya selalu teringat dengan mendiang Cornelis Lay, Guru Besar FISIPOL UGM. Dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang berjudul Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan, Prof. Cony, kerap ia disapa, memaparkan bahwa kekuasaan harus dipandang sebagai alat perjuangan kemanusiaan. Seorang intelektual dapat secara bebas keluar dan masuk kekuasaan dengan kemanusiaan sebagai objektif utamanya.
ADVERTISEMENT
Prof. Cony menegaskan bahwa untuk mencapai “jalan ketiga” tersebut para intelektual memerlukan kematangan dan kepekaan yang kuat dalam membaca situasi politik. Dalam hal ini, saya menawarkan gerakan mahasiswa berbasis riset untuk melancarkan misi-misi revolusioner. Kita seringkali berbual perihal kebijakan yang tidak berpihak pada kelas tertindas, lalu, mengapa tidak kita saja yang membuat kebijakan tersebut?
Tentu relasi kuasa sangat diperlukan untuk menggapai cita-cita tersebut. Hal yang patut disoroti adalah para “bohir-bohir” yang berlagak layaknya gubernur dan presiden tersebut tidak bisa memanfaatkan privilesenya yang berupa relasi kuasa yang besar. Dengan lobi-lobi politik yang diplomatis, mereka seharusnya bisa mengintervensi peran stakeholder, bukan malah sebaliknya.
Pendekatan diplomatis serta gerakan berbasis riset tidak hanya berpotensi merevitalisasi gerakan mahasiswa, melainkan juga mentransformasi lanskap politik secara lebih luas. Dengan konsisten menghasilkan analisis dan rekomendasi kebijakan yang berbasis keberpihakan terhadap kelas tertindas, gerakan mahasiswa dapat membentuk diskursus baru. Aksi ini memang terkesan kurang heroik jika dibandingkan dengan orasi sampai suara habis di jalanan. Namun, aksi ini akan lebih konkret, substansial, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, ironi terbesar gerakan mahasiswa kita ialah bagaimana mereka yang mengklaim sebagai agen perubahan justru menjadi penjaga status quo terhebat. Selamat kepada para "aktivis" kita yang telah berhasil mentransformasi api revolusi menjadi lilin aroma terapi diruang rapat ber-AC. Kalian telah membuktikan bahwa untuk mengubah sistem, cara terbaikadalah dengan menjadi bagian integral dari sistem itu sendiri—tentu saja, dengan bonus kursi empuk dan plakat penghargaan.
Sementara itu, kelas tertindas masih menunggu kebijakan yang berpihak, setidaknya kita bisa berbangga bahwa almamater kita kini dihiasi oleh sekumpulan "pemimpin masa depan" yang ahli dalam seni melempar kursi dan berteriak-teriak tanpa substansi.
Mungkin inilah evolusi tertinggi dari perjuangan mahasiswa: dari membawa perubahan menjadi membawa pamflet kampanye, dari mengkritisi kebijakan menjadi mengkritisi menu kantin. Selamat datang di era baru aktivisme mahasiswa, di mana revolusi diukur dengan jumlah followers Instagram yang melenting dan tagar viral yang membubuhi linimasa. Semoga Tuhan mengampuni para aktivis yang egosentris, karena sejarah pasti tidak akan.
ADVERTISEMENT