Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ilusi Pesta Demokrasi
8 Januari 2024 8:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu), istilah ‘pesta demokrasi’ acap kali digaungkan. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan kepada khalayak publik oleh Presiden Soeharto pada Pemilu tahun 1982. Jika ditilik dari sejarahnya, istilah tersebut digunakan oleh Orde Baru untuk menenangkan massa yang sudah muak akan implementasi demokrasi di masa itu.
ADVERTISEMENT
Alih-alih digunakan untuk merayakan sebuah seremonial yang menyenangkan, istilah ‘pesta demokrasi’ justru menyiratkan berbagai ilusi di baliknya. Makna demokrasi direduksi menjadi hanya sekadar ajang pemilihan dan bukan pelaksanaan secara substansial teruntuk bangsa dan negara.
Istilah pesta demokrasi yang telah diromantisasi tentu akan menjadi alat legitimasi pemerintah atas kekuasaannya agar rakyat dapat menelan status quo-nya secara lapang dada. Dengan beraninya, pemerintah mengintervensi pola pikir rakyat melalui buaian narasi-narasi yang menipu layaknya pesta demokrasi.
Distorsi Wacana di Ruang Publik
Pesta demokrasi seharusnya menjadi kesempatan rakyat untuk bebas memilih pemimpin yang nantinya akan menentukan arah kebijakan negara. Nahasnya, pesta demokrasi justru menjadi sarang hiruk pikuk yang penuh akan retorika kosong dan manipulasi opini publik. Buzzer menjadi pion terdepan untuk memenangkan ‘perang’ wacana publik.
ADVERTISEMENT
Distorsi wacana publik, dalam kasus ini, telah menjadi fenomena yang tak terhindarkan. Nilai-nilai substansial dan esensial demokrasi, yang idealnya diwujudkan melalui partisipasi aktif rakyat dan diskusi rasional, kini tergerus oleh manipulasi opini yang dilakukan oleh sekelompok buzzer.
Verifikasi fakta dan data yang seharusnya menjadi landasan utama dalam mempertimbangkan pilihan politik kini sering kali diabaikan. Banyak pemilih yang lebih memilih untuk mengandalkan informasi yang mereka terima secara pasif, tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena dapat mempengaruhi kualitas demokrasi itu sendiri.
Para pemilih cenderung terpengaruh oleh ujaran kebencian yang tersebar luas melalui berbagai media. Baik itu dalam bentuk berita atau komentar di media sosial , ujaran kebencian ini dapat dengan mudah memengaruhi persepsi publik dan menciptakan polarisasi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya upaya untuk memverifikasi kebenaran dari informasi tersebut, pemilih dapat dengan mudah terjebak dalam echo chamber yang hanya memperkuat pandangan mereka sendiri, sementara pandangan berbeda diabaikan dan diremehkan. Diabaikannya pandangan yang berbeda tersebut dapat menyebabkan permusuhan yang berkepanjangan.
Sarana Orgasme Kepentingan
Tidak dapat dipungkiri, kontestasi pemilihan umum sering kali menjadi tirai yang menutupi berbagai dinamika yang terjadi di belakang panggung. Konflik kepentingan, yang seharusnya dapat dihindari, justru menjadi keniscayaan dalam arena pertarungan politik ini. Para petinggi partai, investor , dan pelaku politik transaksional, semuanya berebut posisi strategis melalui pasangan calon yang mereka usung dalam pemilihan.
Menariknya, apa yang terjadi di belakang tirai ini sering kali terlupakan oleh rakyat. Mereka telanjur melihat pemilihan sebagai sebuah pesta demokrasi yang patut untuk dirayakan. Tanpa mereka sadari, ada banyak hal yang terjadi di belakang layar. Praktik negosiasi , transaksi, dan perebutan kekuasaan yang intens acap kali terjadi.
ADVERTISEMENT
Tindakan tersebut dilakukan karena adanya kepentingan tertentu yang harus dipenuhi, seperti: pembagian persentase kursi legislatif; memfasilitasi jalur investasi; dan tindakan politis yang berpotensi mengarah ke praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Tindakan-tindakan ini tidak hanya berpotensi menyebabkan regresi demokrasi, tetapi juga merugikan rakyat, yang mungkin saja masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam konteks ini, pemilihan umum tampaknya lebih mirip sebuah pertunjukan teatrikal daripada proses demokrasi elektoral yang seharusnya. Idealnya, kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan kepentingan kelompok tertentu. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan hal lain, pemerintah cenderung menjadi pemuas ambisi oligarki. Sama halnya dengan nafsu birahi, ambisi oligarki pun juga perlu dipuaskan.
Jika ambisi kepentingan dari beberapa pihak tersebut tidak terpuaskan, potensi yang akan muncul adalah terjadinya konflik kepentingan. Konflik ini dapat berujung pada kerugian multipihak, termasuk rakyat yang seharusnya menjadi prioritas dalam proses demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk selalu kritis dan waspada terhadap dinamika politik dalam pemilihan umum.
Jadi, siapakah sebenarnya yang merayakan seremonial rutin empat tahunan yang dikenal sebagai pesta demokrasi? Idealnya, pesta demokrasi merupakan momen di mana rakyat berpartisipasi secara aktif dalam menentukan masa depan negara mereka. Namun, dalam praktiknya, sering kali yang berpesta bukanlah rakyat, melainkan elite politik dan kepentingan tertentu yang memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisi dan pengaruh mereka.
ADVERTISEMENT
Idealnya, pesta demokrasi seharusnya merupakan upaya progresif untuk mewujudkan kepentingan rakyat. Ini adalah momen di mana suara rakyat dihargai dan keputusan yang diambil mencerminkan keinginan kolektif mereka. Pesta demokrasi bukanlah alat untuk memuaskan ambisi oligarki atau golongan tertentu.
Sebaliknya, ini adalah proses di mana kekuasaan dikembalikan ke tangan rakyat, dan di mana kebijakan publik dibentuk melalui konsensus dan partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memastikan bahwa pesta demokrasi ini tetap berfokus pada tujuan utamanya, yaitu mewujudkan kepentingan rakyat.