Konten dari Pengguna

Krisis Kepekaan di Tengah Animo Kontra Rezim

Naufal Demelzha
Mahasiswa Hubungan Internasional UMM dan Peneliti Parrhesia Collective Academia
26 Agustus 2024 16:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demonstrasi. Dokumentasi: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demonstrasi. Dokumentasi: Freepik
ADVERTISEMENT
Tagar #KawalPutusanMK dan #PeringatanDarurat disertai logo Garuda berwarna biru menjadi simbol perlawanan rakyat atas kedzaliman rezim Joko Widodo. Resistensi masyarakat sipil tidak berhenti di Instagram atau X saja, amuk massa di gedung-gedung pemerintahan pun tak dapat terhindarkan. Berbagai elemen masyarakat seperti para pekerja, mahasiswa, dan bahkan supporter pun turut menghiasi tiap-tiap persimpangan kiri jalan.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah animo massa yang kontra dengan rezim, akun Instagram resmi Universitas Muhammadiyah Malang (@ummcampus) justru mengunggah konten salah satu alumni Kampus Putih tersebut yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Independen PT. Pertamina Geothermal Energy Tbk. Tentu hal ini menuai kontroversi, dibuktikan dengan kolom komentarnya yang diisi dengan komentar-komentar satire, cacian, dan hinaan atas capaian yang dapat dicapai dengan jalan “yang-politis”.

Cerminan Tone Deaf Perguruan Tinggi

Ilustrasi Tone Deaf. Dokumentasi: Freepik/Benzoix
Turunnya demonstran ke jalan ditambah dengan kemarahan netizen merupakan tanda-tanda negara sedang tidak baik-baik saja. Hal ini menjadi bukti bahwa kesadaran politik masyarakat semakin meningkat untuk mengawal jalannya praktik demokrasi. Sejumlah akademisi pun juga turut menyatakan sikap darurat demokrasi Indonesia.
Kecaman demi kecaman datang mengikuti berbagai bentuk intervensi terhadap lembaga legislatif dan yudikatif yang ditujukan untuk memanipulasi prosedur demokrasi sebagai sarana melanggengkan kekuasaan. Sebaliknya, akun Instagram resmi Kampus Putih dengan bangganya mengunggah capaian salah satu alumninya yang menjadi Komisaris Independen Pertamina.
ADVERTISEMENT
Penulis sangat menyayangkan langkah yang diambil oleh Humas Universitas Muhammadiyah Malang. Tak jauh berbeda dengan para influencer bodoh dan penjilat rezim, Humas Kampus Putih terkesan acuh tak acuh dengan kondisi politik negeri ini dan hanya mengejar target engagement.
Unggahan tersebut sangat tidak cocok berada di akun Instagram resmi sebuah institusi yang menaungi sivitas akademika, mengingat masih banyaknya residu amuk massa yang tersisa terkait intervensi legislatif pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Penulis mengira bahwa langkah tersebut sangatlah ceroboh dan cenderung tidak memperhitungkan konsekuensi sosial yang berpotensi mencoreng nama baik Kampus Putih.

Krisis Kepekaan Kampus Putih

Ilustrasi Topi Toga. Dokumentasi: Freepik
Sikap Kampus Putih yang menonjolkan prestasi alumninya di tengah gejolak politik nasional menunjukkan ketidakpekaan yang mengkhawatirkan dari institusi pendidikan tinggi. Alih-alih berperan sebagai benteng intelektual dan moral dalam menghadapi ancaman terhadap demokrasi, perguruan tinggi justru terkesan abai dan bahkan secara tidak langsung mendukung status quo yang problematik.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan hanya terbatas pada Kampus Putih, melainkan mencerminkan kecenderungan yang lebih luas di kalangan perguruan tinggi Indonesia. Banyak institusi akademik yang memilih bersikap "netral" atau bahkan mendukung kebijakan pemerintah yang kontroversial, daripada mengambil posisi kritis yang diperlukan untuk menjaga integritas demokrasi.
Ketidakpekaan ini dapat dilihat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap peran historis perguruan tinggi sebagai pusat pemikiran kritis dan perubahan sosial. Dengan berfokus pada prestise dan keuntungan jangka pendek, perguruan tinggi mengabaikan tanggung jawab mereka untuk membentuk warga negara yang kritis dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Lebih jauh lagi, sikap ini berpotensi merusak kredibilitas perguruan tinggi di mata mahasiswa dan masyarakat luas. Ketika institusi yang seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi justru bersikap acuh tak acuh, hal ini dapat menimbulkan sinisme dan apatisme di kalangan generasi muda terhadap peran pendidikan tinggi dalam membentuk masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Perguruan tinggi perlu menyadari bahwa di tengah krisis demokrasi, netralitas bukanlah pilihan yang bijak. Mereka harus berani mengambil sikap tegas dalam membela prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan akademik, dan keadilan sosial, bahkan jika hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik dengan penguasa. Hanya dengan demikian, perguruan tinggi dapat mempertahankan relevansinya sebagai institusi yang berkontribusi positif terhadap perkembangan bangsa.