Konten dari Pengguna

Mahasiswa Titip Absen: Kampus Tidak Rugi dengan Ketidakhadiran Kalian

Naufal Demelzha
Mahasiswa Hubungan Internasional UMM dan Peneliti Parrhesia Collective Academia
22 Juli 2023 11:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa di kelas. Foto: Pixabay/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa di kelas. Foto: Pixabay/Pexels
ADVERTISEMENT
Istilah titip absen atau yang biasanya disingkat TA atau tipsen terdengar tidak asing lagi di kalangan sivitas akademika suatu kampus. Perilaku demikian dilakukan untuk memanipulasi kehadiran dari sebuah entitas yang konon katanya disebut sebagai mahasiswa di kelas perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat fenomena titip absen, kira-kira apa penyebab para mahasiswa hingga nekat melakukan praktik titip absen? Alih-alih fokus dan serius dalam menjalankan tekad belajarnya, mahasiswa justru mencari cara untuk tetap memenuhi presensi perkuliahan dengan cara yang curang.
Melalui penjelasan yang terdapat dalam artikel jurnal karya Rafita (2013), seseorang dapat melakukan kecurangan akademis apabila lingkungan sekitarnya menormalisasi persepsi akan hal demikian. Pada situasi yang berlawanan, individu-individu yang tidak melanggengkan praktik kecurangan akademis ini mendapat predikat tidak solid dan bukan merupakan teman baik oleh para pelaku titip absen.
Bukankah mengajak untuk menghindari praktik titip absen merupakan implementasi prinsip amar ma’ruf nahi munkar?

Korupsi Skena Akademis

Ilustrasi kecurangan akademis. Foto: Andy Barbour/Pexels
Tanpa disadari, praktik titip absen merupakan bibit-bibit tindakan korupsi. Di sebuah artikel Kumparan, eks Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, menegaskan bahwa perilaku titip absen dapat dikategorikan sebagai perilaku koruptif yang bersifat lebih luas dari tindak pidana korupsi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Perilaku lain seperti melakukan plagiarisme dan menyontek merupakan dua contoh lain dari perilaku koruptif. Tak jarang mahasiswa menyalin kalimat artificial intelligence (AI) secara langsung untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Ilustrasi manusia dan AI. Foto: CottonBro Studio/Pexels
Tidak heran jika praktik korupsi di Indonesia tidak ada surutnya. Melalui perilaku tersebut, dapat diamati bahwa mental-mental oknum generasi penerus bangsa cenderung memupuk tumbuhnya praktik korupsi di Indonesia.
Hal ini dikarenakan oleh siklus setan tak berujung yang secara otomatis melibatkan sistem pendidikan di Indonesia dan jajaran stakeholders di dalamnya.

Harapan Orang Tua yang Sirna

Ilustrasi orang tua dan buah hatinya. Foto: Dominika Roseclay/Pexels
Seperti yang kita ketahui, di balik mahasiswa yang berkuliah, terdapat sosok yang banting tulang mencari nafkah—entah orang tua ataupun dirinya sendiri.
Berbicara mengenai orang tua, bagaimana perasaan mereka jika segala usaha untuk mendapatkan biaya yang bahkan nyawa taruhannya justru berbanding terbalik dengan perilaku buah hatinya semasa kuliah?
ADVERTISEMENT
Setiap tetes keringat orang tua dalam mencari biaya tentu mengandung harapan besar terhadap anaknya. Ketika seorang anak diterima di sebuah perguruan tinggi, orang tua tentu merasa sangat bangga dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyediakan dukungan finansial yang diperlukan.
Akan menjadi pukulan emosional yang amat kuat bagi orang tua saat melihat anak-anaknya tidak memanfaatkan kesempatan pendidikan yang telah diberikan. Belum lagi jika sang anak hanya berkutat dalam mencari pembenaran tanpa adanya introspeksi dan evaluasi demi membanggakan orang tuanya.
Ilustrasi orang tua yang tertekan. Foto: Ketut Subiyanto/Pexels
Orang tua membayar mahal agar buah hatinya bisa melanjutkan tholabul ilmi di jenjang yang lebih tinggi. Dengan ketidakhadiran anaknya dalam perkuliahan, tentu beban mental serta finansial dilimpahkan kepada orang tua.
Di sisi lain, perguruan tinggi masih menerima uang yang digunakan oleh para orang tua untuk memperpanjang status anaknya sebagai mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Penulis hanya bisa menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dan apresiasi setinggi-tingginya kepada orang tua yang hingga kini masih berjuang untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya meskipun nyawa taruhannya.