Konten dari Pengguna

Menyambut Era Keemasan Akademisi Instan

Naufal Demelzha
Mahasiswa Hubungan Internasional UMM dan Peneliti Parrhesia Collective Academia
29 Juli 2024 18:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi belajar. Dokumentasi: Freepik/Mindandi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi belajar. Dokumentasi: Freepik/Mindandi
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Fenomena joki tugas kuliah telah lama muncul di kalangan akademisi, bahkan jauh sebelum viral di platform media sosial X.
Joki tugas merupakan sebuah praktik di mana seseorang “membeli” jasa orang lain untuk menyelesaikan karya akademik mereka; bisa berbentuk makalah, artikel jurnal, skripsi, atau bahkan disertasi. Dengan adanya digitalisasi pendidikan, kemudahan transfer uang, serta percepatan informasi di sosial media, keberadaan joki tugas menjadi sangat marak.
Beragam alasan muncul dari beberapa mahasiswa yang pernah menggunakan jasa joki tugas ini: ada yang terlalu sibuk berorganisasi, ada yang memang malas mengerjakan tugas, dan ada pula yang berdasar atas pola pikir “pay to win”. Namun, alasan-alasan tersebut tidaklah membenarkan adanya praktik joki tugas di ranah akademik.
ADVERTISEMENT

Wirausaha Cerdas atau Parasit Akademis?

Ilustrasi perselisihan saat diskusi. Dokumentasi: Freepik/Kamran Adinov
Dalam lanskap pendidikan tinggi yang semakin kompetitif, munculnya fenomena joki tugas telah menciptakan dilema etis yang menarik. Di satu sisi, kita menyaksikan lahirnya sebuah bentuk "kewirausahaan" yang unik—individu-individu kreatif yang mampu mengidentifikasi celah pasar dan memenuhi permintaan dengan efisien. Bukankah ini merupakan perwujudan sempurna dari semangat entrepreneurship yang selama ini didengungkan oleh institusi pendidikan kita?
Namun, jika kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan ironi yang begitu menyedihkan. Para joki tugas ini, dengan kecerdasan dan keterampilannya, justru memilih untuk mengaplikasikan bakat mereka dalam industri yang mencederai integritas akademik. Mereka adalah bukti nyata dari kegagalan sistem pendidikan dalam mengarahkan potensi intelektual ke arah yang konstruktif.
Lebih memprihatinkan lagi, keberadaan joki tugas menciptakan ekosistem yang bersifat parasitik dalam dunia akademik. Mereka bukan hanya "membantu" mahasiswa yang malas, melainkan juga secara aktif mendegradasi esensi pendidikan itu sendiri. Setiap tugas yang mereka kerjakan adalah satu langkah mundur dalam upaya membangun generasi yang kritis, analitis, dan kompeten.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya sekarang: bagaimana mungkin kita mengharapkan inovasi dan kemajuan dari lulusan yang bahkan tidak mampu (atau sengaja tidak mau) menyelesaikan tugas akademik mereka sendiri? Apakah kita sedang menyaksikan metamorfosis universitas dari lembaga pencetus pemikiran menjadi pabrik gelar yang efisien—edufactory?
Ilustrasi intelektual instan. Dokumentasi: Freepik
Sungguh, betapa beruntungnya kita hidup di era di mana pengetahuan bisa dibeli secepat memesan makanan cepat saji. Fenomena joki tugas telah membuka mata kita pada potensi revolusioner dari apa yang bisa kita sebut sebagai "pendidikan instan". Mengapa repot-repot menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan atau laboratorium ketika kita bisa mendelegasikan proses pembelajaran kepada para "ahli" yang bersedia menukar kecerdasan mereka dengan beberapa lembar rupiah?
Bukankah ini pencapaian luar biasa dari sistem pendidikan kita? Kita telah berhasil menciptakan generasi yang begitu efisien dalam mengelola sumber daya—waktu digunakan untuk bersosialisasi, uang diinvestasikan untuk membeli pengetahuan, dan energi dihemat untuk hal-hal yang lebih "penting" daripada belajar. Sungguh, Adam Smith pasti akan bangga melihat bagaimana prinsip pembagian kerja telah merambah dunia akademis dengan begitu elegan.
ADVERTISEMENT
Era di mana gelar akademik bukan lagi cerminan dari kerja keras dan dedikasi, melainkan bukti dari kemampuan finansial dan keahlian bernegosiasi. Bukankah ini pendidikan yang lebih relevan dengan dunia "nyata"? Dunia di mana segala sesuatu bisa dibeli, dijual, dan dinegosiasikan?
Tentu saja, ada beberapa pihak kolot yang masih bersikeras bahwa integritas akademik itu penting. Mereka berargumen bahwa pendidikan seharusnya tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Tapi ayolah, siapa yang butuh semua itu di era digital ini? Bukankah kita punya ChatGPT, Claude, dan Gemini untuk berpikir kritis bagi kita?
Jadi, marilah kita sambut dengan tangan terbuka era keemasan pendidikan instan ini. Mari kita bangun lebih banyak "pabrik gelar" yang efisien, di mana input-nya adalah uang dan output-nya adalah ijazah yang mengkilap. Siapa peduli jika di balik ijazah itu tersembunyi kehampaan intelektual? Toh, yang penting ‘kan kertasnya, bukan?
ADVERTISEMENT
Dan kepada para mahasiswa di luar sana yang masih berjuang dengan tugas-tugas mereka, ingatlah: kenapa harus bersusah payah belajar ketika ada joki tugas yang siap membantu? Lagipula, bukankah pendelegasian tugas adalah keterampilan penting dalam dunia kerja? Anggap saja ini sebagai pelatihan untuk karier masa depan Anda sebagai manager yang andal—mampu mendelegasikan segala sesuatu, bahkan proses berpikir itu sendiri.
Semoga kelak, ketika bangsa ini dipimpin oleh generasi yang ahli dalam membeli pengetahuan namun miskin dalam literatur dan pemahaman, kita masih bisa tersenyum bangga dan berkata, "Inilah hasil kerja keras kita dalam membangun sistem pendidikan yang efisien!"
Selamat datang di era keemasan pendidikan instan, di mana gelar akademik hanyalah sebuah transaksi finansial yang lain.
ADVERTISEMENT