Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Organisasi Mahasiswa yang Tidak Berfungsi Lebih Baik Dibubarkan Saja
13 April 2025 13:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dekan Cup, kompetisi tahunan yang seharusnya menjadi ajang kebanggaan kolektif mahasiswa, justru menjelma menjadi panggung eksklusivitas di tangan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) atau yang lebih cocok dikenal sebagai Himpunan Mahasiswa Hierarki Impoten.
ADVERTISEMENT
Kegagalan HIMAHI membagikan informasi pendaftaran hingga tenggat waktu ditutup bukan sekadar “kelalaian teknis”, melainkan cermin dari relasi kuasa kapitalistik yang mengakar dalam tubuh organisasi. Melalui tulisan ini, penulis hendak membongkar bagaimana HIMAHI mereproduksi logika kapitalisme dengan menjadikan partisipasi sebagai alat eksploitasi dan informasi sebagai komoditas oligarki.
Politik Kuasa Informasi ala HIMAHI UMM
Sebagai entitas yang mengontrol dan menguasai informasi perihal Dekan Cup di tingkat jurusan, HIMAHI gagal total. Dalam kapitalisme, borjuasi mengekstraksi surplus value dari proletariat dengan mengontrol sumber daya.
Di HIMAHI, logika serupa bekerja: informasi tentang Dekan Cup adalah “alat produksi” yang dikuasai segelintir pengurus, sementara prestasi mahasiswa dalam lomba menjadi “nilai lebih” yang diklaim sebagai legitimasi kekuasaan. Anggota, sebagai proletariat organisasi, mendapatkan manfaat—melalui logika kapitalis, sekecil apapun itu, tetap manfaat—dari partisipasi mereka, sedangkan pengurus mengakumulasi modal simbolis seperti jabatan dan pengakuan.
ADVERTISEMENT
Di titik ini, komodifikasi informasi menjadi titik yang layak untuk dicermati lebih jauh. Informasi tentang Dekan Cup seharusnya menjadi hak publik yang diakses semua anggota, namun, HIMAHI mengubahnya menjadi barang dagangan langka yang hanya beredar di kalangan elite—pengurus organisasi.
Mekanisme ini mengingatkan pada cara kapitalisme mengontrol distribusi sumber daya untuk mempertahankan ketergantungan proletariat. Contoh nyatanya terlihat ketika PJ lomba tidak membagikan informasi pendaftaran kepada para mahasiswa selaku calon peserta, namun menyimpannya untuk kalangan internal.
HIMAHI tak perlu repot-repot membuat klarifikasi yang menyatakan “kejadian ini menjadi pembelajaran besar bagi kami ke depannya.” Sebab, berapa esai kritik yang telah penulis kirim dan tujukan kepada HIMAHI? Pada nyatanya, HIMAHI hanyalah wadah yang tidak pernah belajar, merefleksikan diri, dan tidak pernah mengakui impotensinya sebagai “wadah”.
ADVERTISEMENT
Memang pada dasarnya HIMAHI tidak diciptakan untuk mewadahi potensi mahasiswa, melainkan untuk pemuas hasrat para patron-fasis-narsistik yang ingin berkuasa secara mutlak dengan dalih mewadahi hasrat mahasiswa non-HIMAHI baik secara akademik ataupun nonakademik. Jika kita lihat lebih jauh, berdasarkan pengakuan beberapa kolega yang berada di internal HIMAHI, pertikaian politis di internal jauh lebih banyak porsinya daripada memikirkan rakyatnya.
Lalu, apa bedanya kalian dengan para tikus di Senayan yang meloloskan RUU TNI? Jika kalian masih memberikan garis demarkasi yang tegas antara kepentingan HIMAHI dan masyarakat HI lainnya, maka, sampai kapanpun keranjang sampah tidaklah cocok untuk mewadahi emas,
Alasan “kelalaian” hanyalah kamuflase untuk menyembunyikan monopoli informasi sebagai alat kekuasaan. Dengan demikian, partisipasi anggota tidak lagi menjadi hak, melainkan hak istimewa yang diberikan sewenang-wenang oleh borjuasi organisasi.
ADVERTISEMENT
Dekan Cup pun menjelma sebagai alat akumulasi modal politik pengurus. Setiap kemenangan tidak dinikmati sebagai kebanggaan kolektif, melainkan dikapitalisasi untuk meningkatkan status pengurus di mata fakultas. Prestasi tersebut digunakan untuk memperkuat citra HIMAHI sebagai “organisasi berprestasi”, meski partisipasi anggota sengaja dikebiri.
Dalam bahasa Marx, ini adalah akumulasi primitif—proses di mana hasil kerja anggota (partisipasi) dirampas untuk membuat segelintir elitee merasakan orgasme kuasa dan kepentingan. Relasi produksi di HIMAHI pun timpang: pengurus bertindak sebagai borjuasi yang mengontrol informasi dan agenda, sementara mahasiswa non-HIMAHI hanyalah proletariat yang menyediakan tenaga tanpa memiliki kendali atas proses.
Ketika informasi tentang Dekan Cup disembunyikan, mahasiswa yang berpartisipasi dipaksa menjadi buruh tak terlihat yang hanya bisa menyaksikan hasil kerja mereka direbut oleh pihak lain.
ADVERTISEMENT
Himpunan Mahasiswa yang Gagal Total
Solusi atas masalah ini bukanlah perbaikan teknis, melainkan pembongkaran relasi produksi yang timpang. Pertama, HIMAHI harus melakukan “revolusi” sistem informasi dengan membangun platform terbuka seperti kanal WhatsApp atau grup Telegram yang bisa diakses semua anggota. Sebab, grup angkatan sekalipun hanya berfungsi untuk mempromosikan “danusan” berupa barang-barang yang mungkin tidak akan pernah kita beli—dan mungkin hanya pengurusnya yang membeli.
Kedua, demokratisasi keputusan harus dilakukan dengan mengganti sistem PJ sentralistik menjadi komite kerja kolektif yang dipilih melalui forum publik yang melibatkan mahasiswa non-HIMAHI. Hierarki yang memisahkan pengurus dan mahasiswa non-HIMAHI harus dihapus agar partisipasi tidak lagi menjadi barang dagangan.
Ketiga, mogok partisipasi bisa menjadi senjata ampuh: boikot seluruh kegiatan HIMAHI hingga transparansi dan integritas dijamin. Tindakan ini tidak hanya memukul akumulasi modal simbolis pengurus, melainkan juga mengembalikan kesadaran kelas bahwa partisipasi adalah hak, bukan hadiah.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, HIMAHI tidak pernah belajar dan telah gagal menjadi alat perjuangan mahasiswa. Ia berubah menjadi kaki tangan kapitalisme kampus yang mengeksploitasi partisipasi untuk kepentingan segelintir elite. Pendelegasian Dekan Cup bukan lagi ajang kompetisi, melainkan panggung di mana ketidakadilan direproduksi dan dilanggengkan oleh HIMAHI.
Saatnya mahasiswa merebut kembali hak atas informasi, partisipasi, dan prestasi. Sebab, tanpa perlawanan, HIMAHI hanya akan menjadi monumen bisu yang mengabadikan penindasan. Seperti kata Marx, “Kaum proletar tidak akan kehilangan apa pun selain belenggu mereka.” Di tangan mahasiswa yang sadar, belenggu ini bisa dipatahkan.
HIMAHI harus memilih: menjadi alat perjuangan mahasiswa atau borok birokrasi yang membusuk, menginfeksi, dan akan berujung pada amputasi.