Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Organisasi Mahasiswa yang Tidak Mencerminkan "Mahasiswa"
10 Januari 2024 13:20 WIB
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandangan awam terkait organisasi mahasiswa seringkali dikaitkan dengan lahan basah untuk mencari relasi dan pengalaman selama menjadi seorang mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, pamor organisasi mahasiswa kian menurun. Ada yang mengatakan jika hal ini disebabkan oleh organisasi mahasiswa yang udah gak relevan, ada juga yang mengatakan bahwa organisasi mahasiswa itu penuh akan kebusukan. Well, who knows?
Surutnya pamor organisasi mahasiswa jelas menjadi dilema bagi para anggota lama untuk melakukan kaderisasi, terutama pada saat menjelang sesi open recruitment atau oprec.
Alhasil, para sesepuh yang ‘organisatoris’ tersebut memutar otak dengan menggunakan berbagai tipu daya yang disalurkan melalui akun resmi organisasinya.
Iming-iming seperti organisasi itu layaknya keluarga , dilanjutkan dengan mendapatkan relasi yang bermanfaat, dan menunjang self development tentu menjadi narasi utama dalam pembohongan publik yang dilakukan oleh para sesepuh organisasi.
Kalau disamakan dengan keluarga cemara, boleh lah. Namun, kita ‘kan gak tahu kalau ternyata keluarganya broken home. Oops.
ADVERTISEMENT
Skala Prioritas Anggota yang Tidak Tertata
Saya sering gedeg dengan para oknum anggota organisasi mahasiswa yang lebih mementingkan rapat, rapat, dan rapat ketimbang urusan akademisnya. Tak jarang saya menemui mahasiswa organisatoris yang merasa persetan dengan urusan akademis.
Contohnya, mereka meninggalkan kerja kelompok hanya demi ngopi bertajuk rapat yang mungkin mereka anggap akan menghapuskan kemiskinan struktural atau bahkan menumbangkan kapitalisme.
Ada kalanya ketika saya muak, saya ingin berteriak tepat di sebelah telinga para oknum tersebut, “kau ini dibiayai orang tuamu, merantau jauh dari orang tuamu, untuk kuliah!”. Faktanya seperti itu. Mereka dibiayai untuk tholabul ilmi, bukan untuk all out ke organisasi.
Jika diibaratkan dengan konsep beragama Islam , sebagai mahasiswa, kuliah itu hukumnya fardhu ‘ain. Berbeda halnya dengan berorganisasi yang mungkin hukumnya bisa jadi mubah atau bahkan syubhat. Logikanya jangan dibalik: yang wajib kalian tinggalkan, yang mubah kalian prioritaskan.
ADVERTISEMENT
Oknum-oknum Mahasiswa yang Meresahkan
Ada buruknya bukan berarti tidak ada baiknya. Dalam sebuah organisasi, pasti ada sosok patron yang bisa dijadikan acuan. Mereka adalah sosok yang memiliki kehidupan yang seimbang antara lingkup akademis ataupun berorganisasi. Tak jarang juga dari mereka memiliki prestasi yang mentereng.
Sayangnya, oknum-oknum tolol yang merusak citra organisasi terkesan merasa najis untuk mengikuti jejak langkah mereka yang sukses di dalam ataupun di luar organisasi. Prestasi mereka hanya menjadi napak tilas yang dibanggakan oleh orang-orang yang tidak memilikinya.
Saya mengibaratkan fase kinerja organisasi layaknya sepenggal lirik lagu Life is Beautiful karya Lil Peep yang berbunyi: “once you feel unstoppable, you run into an obstacle”. Ketika posisi kinerja mereka berada di atas angin, pasti ada saja oknum yang bersikap tolol.
ADVERTISEMENT
Ada yang tiba-tiba mencari masalah dengan peserta di lomba buatan mereka, ada yang mengintervensi kesibukan sesama panitia program kerja dengan penuh caci maki, ada juga yang membatalkan perjanjian secara sepihak dengan pihak luar mengenai sebuah acara tanpa adanya konfirmasi, bahkan ada yang sampai rela paid promote joki tugas demi mengisi neraca saldo organisasi.
Tidak etis rasanya jika saya hanya mengumpat dan tidak memberikan rekomendasi kepada pihak organisasi mahasiswa.
Oleh karena itu, saya menyarankan kepada seluruh jajaran organisasi mahasiswa, terutama divisi pengembangan sumber daya anggota, untuk mengadakan kursus terkait etika berorganisasi atau profesi, cara berkomunikasi dengan pihak eksternal, dan cara menyeimbangkan kehidupan kuliah dengan kehidupan berorganisasi.
Saya rasa hal tersebut bukanlah persoalan sulit bagi sebuah organisasi untuk mengadakan pelatihan dengan output dan outcome positif semacam itu. At least, ada sebuah pengingat untuk menyadarkan betapa pentingnya iklim akademis di dunia perkuliahan. Jika tidak menerima, mending bubar saja.
ADVERTISEMENT