Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Senioritas Kampus: Panggung Kebodohan yang Membungkam Akal Sehat
20 Oktober 2024 13:52 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Para senior yang menerapkan senioritas di kampus tidak lebih pintar daripada juniornya, namun yang jelas lebih bodoh.
ADVERTISEMENT
Lebih Tua, Lebih Benar?
Mungkin, para pelaku senioritas ini memiliki prakondisi di mana mereka pernah berada di lingkungan yang penuh bentakan dan kekerasan.
Muncullah pertanyaan, di mana kau berada sekarang? Lingkungan kampus bukanlah tempat bagi segala bentakan, kekerasan, dan bahkan pelecehan!
Berada di tingkat atau semester lebih tinggi bukan berarti segala ucapanmu patut dibenarkan. Jika ucapanmu digaungkan melalui teriakkan ataupun bentakan, maka ucapan, etika, dan otakmu patut dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Hal ini harus menjadi perhatian lebih apabila pelaku utamanya berada di lingkup organisasi kampus. Adalah niscaya jika para pelaku melakukan abuse of power dengan jabatannya di organisasi kampus.
Sebagai contoh, pada saat ospek jurusan, seorang kakak tingkat membentak adik tingkatnya dengan alasan supaya terdengar dan patuh di barisan. Supremasi panitia terlihat sangat kental di sini.
Lalu, haruskah seluruh bagian dari kepanitiaan divonis bersalah? Jelas tidak, namun, actus dari salah satu oknum ini pasti akan mengganggu stabilitas serta nama baik organisasi.
Apakah organisasi akan diam saja? Apakah program studi akan diam saja? Itulah yang harus kita usut tuntas sampai ke akar-akarnya.
Genderang Perang Antisenioritas
Jika Marie Antoinette dipenggal dengan guillotine karena tone deaf-nya, maka para pelaku senioritas juga sepantasnya dipenggal dengan sanksi sosial yang memberikan efek jera.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin bahwa praktik senioritas akan memberikan rona hitam di memori psikis korbannya. Pengalaman traumatik akibat senioritas juga berpotensi melahirkan pelaku-pelaku senioritas yang lain dengan motif balas dendam.
Hakikat pendidikan tidak hanya memperhalus individu secara emosional dan mencerdaskan secara intelektual, melainkan juga bagaimana individu tersebut memanusiakan sesama manusia.
Sebagai manusia yang mengemban pendidikan, sudah seharusnya menjadi manusia yang saling mengasihi. Bukan sebagai subjek yang hobi melakukan subordinasi, eksploitasi, dan dehumanisasi kepada objek—korban senioritas.
Teruntuk para pelaku senioritas: kalian tidaklah keren ketika membentak, kalian tidaklah keren ketika melakukan kekerasan. Kalian hanya sebiji dzarrah yang mempertontonkan pentas kebodohan di hadapan manusia-manusia yang lain.
Salus populi suprema lex esto!