Konten dari Pengguna

Tiktok dan Pergerakan Anti-intelektualisme di Indonesia

Naufal Demelzha
Mahasiswa Hubungan Internasional UMM dan Peneliti Parrhesia Collective Academia
7 Agustus 2024 17:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi belenggu media sosial. Dokumentasi: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi belenggu media sosial. Dokumentasi: Freepik
ADVERTISEMENT
Demikian poin yang seringkali dilontarkan oleh para anti-intelektual Indonesia di kolom komentar Tiktok. Tak jarang mereka mengolok-olok orang yang melanjutkan kuliahnya, bahkan, seorang cendekiawan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Fenomena anti-intelektualisme ini sedang memanas di Indonesia. Hadirnya variasi media sosial yang menyediakan fitur video pendek seperti Tiktok, Instagram reels, dan YouTube Shorts dapat menjadi penyebab utama. Informasi semakin mudah didapatkan, termasuk propaganda anti-intelektualisme yang merasuki pikiran generasi muda—yang digadang-gadang sebagai Generasi Indonesia Emas 2045.
Sementara dunia bergerak maju dengan kecepatan luar biasa, didorong oleh inovasi dan pengetahuan, sebagian generasi muda kita justru bergerak mundur—terjebak dalam pusaran anti-intelektualisme yang membahayakan.
Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan cerminan pergeseran nilai yang mengkhawatirkan, kedunguan dirayakan dan pencapaian intelektual dicemooh. Kita perlu memahami akar permasalahan ini untuk dapat menghadapinya dengan tepat, sebelum mimpi tentang Indonesia Emas 2045 berubah menjadi fatamorgana belaka.
ADVERTISEMENT

Dampak Jangka Panjang Anti-intelektualisme pada Pembangunan Nasional

Ilustrasi masyarakat dengan media sosial. Dokumentasi: Freepik
Anti-intelektualisme yang kian marak ini bukan hanya sekadar tren media sosial yang sepele. Fenomena ini berpotensi menghambat kemajuan Indonesia secara signifikan dalam jangka panjang. Ketika generasi muda mulai memandang remeh nilai pendidikan dan pengembangan intelektual, kita sedang menyaksikan erosi pondasi pembangunan nasional.
Bangsa yang maju dibangun di atas pundak para pemikir, inovator, dan cendekiawan. Namun, bagaimana mungkin Indonesia bisa melahirkan sosok-sosok semacam itu jika generasi mudanya justru bangga dengan kebodohan?
Mereka yang mengejek pendidikan tinggi seolah lupa bahwa kemerdekaan Indonesia pun diperjuangkan oleh para intelektual yang sebagian besar mengenyam pendidikan tinggi.
Ironinya, sementara negara-negara tetangga berlomba-lomba meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian mereka, sebagian pemuda Indonesia justru terbuai oleh ilusi kesuksesan instan yang dijanjikan oleh konten-konten bodoh yang memantik anti-intelektualisme.
ADVERTISEMENT
Mereka lupa bahwa tanpa landasan pengetahuan yang kuat, Indonesia akan selamanya terjebak sebagai negara pengekspor bahan mentah dan konsumen teknologi asing.

Media Sosial: Pedang Bermata Dua bagi Literasi Digital

Ilustrasi dampak negatif media sosial. Dokumentasi: Freepik
Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi telah membuka akses pengetahuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, ibarat pedang bermata dua, teknologi yang sama juga menjadi sarana penyebaran misinformasi dan pemikiran dangkal yang mengancam fondasi intelektual bangsa.
Generasi tua seringkali menjadi olok-olokan generasi muda karena menjadi sasaran empuk berita hoaks. Akan tetapi, saat ini, banyak dari generasi muda yang dengan mudahnya tertipu dengan berita palsu.
Bahkan, ada yang menyatakan bahwa “at this point, we won’t survive from Dajjal”.
Platform seperti TikTok, dengan algoritma yang mengutamakan konten viral dan menghibur, secara tidak langsung mempromosikan gaya berpikir yang dangkal dan instan. Generasi muda kita disuguhi ilusi bahwa kesuksesan bisa diraih semudah membuat video viral, tanpa perlu bersusah payah menempuh pendidikan formal.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengkhawatirkan, kecenderungan platform ini untuk menciptakan ruang gema ideologis membuat para penganut anti-intelektualisme merasa tervalidasi. Mereka saling menguatkan dalam lingkaran setan kebodohan, menganggap diri lebih pintar dari para akademisi dan peneliti yang telah mengabdikan hidup mereka untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Tanpa adanya upaya serius untuk meningkatkan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis, generasi muda kita berisiko menjadi mangsa empuk bagi propaganda anti-intelektual. Alih-alih menjadi generasi emas yang memimpin Indonesia ke era keemasan, mereka justru bisa menjadi generasi yang menenggelamkan Indonesia dalam kubangan mediokritas intelektual.