Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Topeng Itu Bernama Sopan Santun
4 Agustus 2024 16:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah kesopanan selalu menjadi jawaban ? Atau justru, terkadang, sikap "kurang ajar" lah yang diperlukan untuk menyuarakan kebenaran? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terus mengusik saya, terutama setelah bertahun-tahun menyandang label "bocah kurang ajar" dan "anak biadab" dari para penjaga kesopanan penyembah kesantunan.
ADVERTISEMENT
Pengalaman pribadi, dari masa kecil hingga remaja, telah membentuk pandangan saya tentang betapa seringnya nilai-nilai kesopanan dan kesantunan berbenturan dengan realitas. Demonstrasi ke pihak sekolah akibat razia isi ponsel, menulis kritik berupa “gamparan” kepada dosen yang tidak bertanggung jawab dalam pengajaran, dan dimusuhi kawan akibat fenomena titip absen menjadi beberapa kasus di mana saya dicap sebagai bocah niradab—untungnya bukan nirakal.
Label-label simbolik tersebut tidak membuat saya gentar secara ideologis. Sebab, kesopanan menjadi “topeng politis” bagi orang-orang yang hatinya tak kalah kurang ajar. Alasan kesopanan dan kesantunan juga kerap menjadi ajang pembungkaman para pemilik kuasa karena menyinggung “singgasana”-nya. Kondisi yang demikian justru membuat saya semakin tegak melawan pada konformitas yang ada, sekaligus mempertanyakan realitas yang bertabrakan dengan nilai-nilai yang saya yakini.
ADVERTISEMENT
Paradoks Kesopanan
Masyarakat tentu tidak asing dengan kalimat populer berikut ini: “Jangan melihat siapa yang berbicara, namun lihatlah apa yang dibicarakan”. Akan tetapi, saya melihat adanya paradoks konformitas di sini. Pendisiplinan terjadi ketika kita harus patuh kepada orang tua, hormat kepada guru, dan bahkan sampai berjalan menunduk ketika berjalan melewati kuburan.
Jika kita diharuskan untuk melihat substansi dan esensi yang dibicarakan, maka tidaklah tepat ketika kita membubuhkan entitas yang harus dipatuhi pada awal kalimat. Sebab, orang tua sangat bisa berbuat salah, pun demikian dengan guru.
Sejak kecil kita telah didoktrin bahwa dua entitas di atas memiliki kebenaran yang mutlak. Michel Foucault dalam Discipline and Punish mengistilahkan adanya wacana seperti ini sebagai sebuah “regime of truth” atau “rezim kebenaran”. Foucault melihat setiap masyarakat memiliki “rezim kebenaran”-nya sendiri.
ADVERTISEMENT
Wacana kesopanan yang telah menjalar di masyarakat merupakan rajutan dari nilai-nilai kultural yang diproduksi melalui pengetahuan mainstream, yang hingga kini masih terkonstruksi dan tereplikasi dalam benak setiap individu.
Wacana terkait kesopanan tersebut telah menjadi sebuah “rezim kebenaran” di masyarakat kita. Di balik “rezim kebenaran” yang ada, terdapat sebuah celah berupa potensi diskriminasi kelas antara “si sopan” dan “si tidak sopan”. "Si sopan" memandang bahwa "si tidak sopan" ini berada di bawahnya, menciptakan sekat dikotomis tentang keberadaban.
Pierre Bourdieu, ketika berbicara soal kelas, ia menyebut penolakan kelas atas terhadap kelas bawah sebagai distinction. Penolakan ini bisa berupa sikap merendahkan, mengabaikan, atau bahkan mendiskriminasi. Sementara itu, penolakan kelas bawah terhadap kelas atas disebut sebagai resistance. Penolakan ini bisa berupa sikap antipati, perlawanan, atau bahkan pemberontakan.
ADVERTISEMENT
“Si sopan" sering kali diasosiasikan dengan kelas atas, sementara "si tidak sopan" diasosiasikan dengan kelas bawah. "Si sopan" menggunakan kesopanan sebagai alat untuk membedakan diri dari "si tidak sopan" dan menegaskan status sosial mereka yang lebih tinggi. Sebaliknya, "si tidak sopan" menolak norma-norma kesopanan yang mereka anggap sebagai simbol dari kelas atas yang menindas.
Melampaui Dikotomi: Menuju Etika Kritis yang Transformatif
Perdebatan antara kesopanan dan "kekurangajaran" sebenarnya menyembunyikan persoalan yang lebih mendasar: bagaimana kita sebagai masyarakat dapat menghadapi ketidakadilan dan ketimpangan struktural tanpa terjebak dalam formalitas kosong atau antagonisme yang kontraproduktif.
Alih-alih mempertahankan dikotomi kaku antara sopan dan tidak sopan, kita perlu mengembangkan etika kritis yang lebih nuansir dan transformatif. Etika semacam ini mengakui bahwa terkadang diperlukan ketidaknyamanan dan gangguan terhadap status quo untuk mencapai perubahan yang bermakna. Namun, ia juga menekankan pentingnya empati, dialog, dan pemahaman antar-kelas untuk menghindari jebakan elitisme maupun populisme yang dangkal.
ADVERTISEMENT
Kita harus berani mempertanyakan siapa yang mendapat manfaat dari wacana kesopanan yang dominan, dan siapa yang dibungkam olehnya. Pada saat yang sama, kita juga perlu mengakui bahwa bentuk-bentuk tertentu dari rasa hormat dan pertimbangan tetap penting untuk membangun solidaritas dan kerja sama dalam masyarakat yang plural.
Yang dibutuhkan bukanlah penolakan total terhadap kesopanan, melainkan rekonstruksi radikal atas maknanya. Kesopanan sejati bukanlah kepatuhan buta pada hierarki sosial, melainkan pengakuan atas martabat inheren setiap manusia, terlepas dari status atau kelas. Ia menuntut keberanian untuk bersuara melawan ketidakadilan, tetapi juga kebijaksanaan untuk melakukannya dengan cara yang membangun aliansi lintas batas-batas sosial.
Bagi para "bocah kurang ajar" seperti saya, tantangannya adalah untuk terus mengasah ketajaman kritik sambil mengembangkan kepekaan terhadap kompleksitas hubungan manusia. Kita harus belajar kapan harus "mengguncang perahu" dan kapan harus membangun jembatan. Yang terpenting, kita harus selalu ingat bahwa tujuan akhir dari perjuangan kita bukanlah kemenangan atas "mereka yang sopan", melainkan penciptaan masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua.
ADVERTISEMENT