Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Bali Tourism Levy: Masa Depan Fiskal Bali
3 Februari 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari I Made Adi Surya Jaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bali telah lama menjadi primadona pariwisata dunia karena keindahan alam, budaya, dan keramahan penduduknya yang berhasil mereka tawarkan. Tak heran, setiap tahunnya pulau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini terus mampu menarik jutaan wisatawan dari berbagai belahan dunia. Pasca Pandemi COVID-19, dirilis dari Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali mengalami lonjakan yang signifikan. Tingkat pertumbuhan wisatawan asing dari tahun 2022 ke tahun 2023 bahkan mampu mencapai hingga 140%, dengan jumlah mencapai 5 juta wisatawan asing setiap tahunnya.
Dari hal tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata menjadi sektor unggulan yang menopang perekonomian Provinsi Bali, salah satunya tercermin dari kontribusi sektor penyediaan akomodasi dan makan minum pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sektor ini mampu memberikan kontribusi terbesar pada PDRB atas Dasar Harga Berlaku sebesar Rp 54,6 triliun atau 19,9 % dari total PDRB Provinsi Bali tahun 2023. Sayangnya, besarnya peran tersebut tidak sebanding dengan kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali, yang relatif masih terbatas dan belum optimal. Faktanya, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Bali melaporkan bahwa pendapatan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) justru menjadi sumber terbesar PAD Provinsi Bali tahun 2024 dengan menyumbang hingga 79% dari PAD.
ADVERTISEMENT
Idealnya, kunjungan wisatawan asing yang kian meningkat tiap tahun dapat menjadi sebuah potensi besar bagi pemerintah Provinsi Bali untuk meningkatkan PAD melalui pajak, retribusi daerah ataupun pungutan lainnya yang sah. Meskipun di lain sisi, peningkatan kunjungan wisatawan asing ini juga menimbulkan sebuah tantangan baru yang semakin hari semakin nyata. Kemacetan di wilayah Canggu, Seminyak, ataupun Kuta kian hari makin parah. Data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali mencatat bahwa timbulan sampah yang dihasilkan Provinsi Bali tahun 2024 mencapai 3600 ton per hari, yang tentunya sektor pariwisata juga berkontribusi atas hal tersebut. Tidak lupa, ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan kearifan budaya lokal menjadi isu-isu yang tidak boleh diabaikan.
Kondisi tersebut memunculkan suatu gagasan baru yang diterapkan Pemerintah Provinsi Bali, yakni pungutan bagi wisatawan asing atau Tourism Levy. Pungutan bagi wisatawan asing ini diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan Bagi Wisatawan Asing Untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali yang mulai diterapkan pada 14 Februari 2024. Tujuan utama pungutan ini adalah melibatkan wisatawan asing dalam mendukung perlindungan kebudayaan dan lingkungan alam, serta menciptakan pariwisata Bali yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Namun, secara tidak langsung kebijakan ini justru dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan PAD provinsi Bali dari sektor pariwisata. Bali memiliki peluang untuk mampu meningkatkan kapasitas fiskal dan mengurangi ketergantungannya terhadap Dana Transfer Pemerintah Pusat. Saat ini, Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih menjadi sumber terbesar pendapatan daerah dengan menyumbang persentase sebesar 59,3% dari total pendapatan daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bali tahun 2025. Sementara itu, Dana Transfer Pemerintah Pusat berkontribusi sebesar 40,5%. Meskipun dana transfer memiliki porsi lebih kecil dibandingkan PAD, kontribusinya tetap signifikan dalam struktur pendapatan daerah. Sekali lagi, pungutan bagi wisatawan asing ini membuka kesempatan yang sangat terbuka bagi Pemerintah Provinsi Bali untuk mencapai kemandirian fiskal.
ADVERTISEMENT
Potensi vs Realita Pungutan Wisatawan Asing
Penerapan pungutan bagi wisatawan asing oleh Pemerintah Provinsi Bali mungkin merupakan jenis pungutan baru di Indonesia. Namun, jika melihat dunia pariwisata secara global, hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa destinasi wisata di Dunia, seperti Thailand, Amsterdam, Roma telah menerapkan pungutan serupa dengan variasi tarif yang berbeda-beda. Thailand, misalnya, melakukan pemungutan atas wisatawan asing yang dinamai dengan “pajak perjalanan” sebesar 300 baht atau sebesar Rp 140 ribu untuk wisatawan yang datang melalui jalur udara. Sedangkan, untuk wisatawan yang datang melalui jalur laut dan darat dikenakan sebesar 150 baht atau Rp 69 ribu. Amsterdam dan Roma, meskipun sama-sama berada di Eropa, mengenakan pungutan turis asing dengan tarif yang berbeda. Amsterdam mengenakan pajak turis asing sebesar 12,5% dari biaya akomodasi, sementara Roma memungut pajak turis asing per malam dengan biaya 3-7 euro.
ADVERTISEMENT
Di Bali, besaran pungutan wisatawan asing dikenakan dengan tarif Rp 150 ribu per orang, yang wajib dibayarkan sebelum atau saat memasuki pintu kedatangan, baik secara langsung dari luar negeri maupun secara tidak langsung melalui wilayah lainnya di Indonesia. Dengan besaran pungutan tersebut, berpotensi memberikan penerimaan yang cukup signifikan. Jika dihitung dengan asumsi jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali bisa menyentuh angka 5 juta orang per tahunnya -berdasarkan tren kunjungan dua tahun terakhir- maka pendapatan daerah yang bisa didapatkan dari pungutan ini minimal sebesar Rp 750 miliar. Suatu hal yang sangat “menjanjikan”. Pendapatan ini setidaknya akan berkontribusi hingga 12,4% dari total rencana pendapatan daerah APBD Provinsi Bali tahun 2025. Namun, sayangnya dalam pelaksanaan pada tahun 2024 potensi tersebut belum terealisasi dengan maksimal. Nyatanya, jumlah realisasi pungutan wisatawan asing yang berhasil terkumpul hanya sebesar Rp 317 miliar atau hanya 30-40 persen wisatawan asing saja yang membayar pungutan tersebut. Hal ini tentu merupakan sebuah kerugian bagi Pemerintah Provinsi Bali.
ADVERTISEMENT
Besaran pungutan Rp 150 ribu per orang masih tergolong wajar atau bahkan relatif kecil dibandingkan dengan beberapa destinasi wisata di negara lain atau biaya akomodasi yang harus dikeluarkan oleh wisatawan asing. Oleh karena itu, nampaknya besaran nominal pungutan bukanlah penyebab utama rendahnya realisasi tersebut. Wisatawan cenderung tidak akan keberatan jika mereka mendapatkan informasi seutuhnya terkait kebijakan pungutan ini. Sehingga, kurangnya sosialisasi yang efektif bisa menjadi salah satu penyebab rendahnya realisasi penerimaan. Banyak wisatawan asing mungkin belum mengetahui adanya pungutan ini ataupun tujuan dari kebijakan ini yang menyebabkan kepatuhan mereka menjadi rendah. Fasilitas pembayaran yang kurang memadai dikarenakan sistem baru yang belum optimal juga memperburuk keadaan sehingga para wisatawan enggan untuk melaksanakan kewajibannya. Banyak wisatawan yang hanya melewatkan konter pembayaran atau justru tidak menemukan konter pembayaran karena jumlah konter yang kurang ataupun lokasi konter yang kurang strategis. Tidak hanya itu, kurangnya pengawasan yang ketat khususnya pada wisatawan asing yang masuk ke Bali melalui wilayah lainnya di Indonesia juga menyebabkan kebocoran pada penerimaan pungutan ini. Belum adanya regulasi yang mengatur sanksi bagi wisatawan asing yang tidak membayar pungutan ini juga membuat wisatawan merasa tidak ada konsekuensi yang akan mereka dapatkan jika tidak membayar.
ADVERTISEMENT
Optimalkan Pemungutan dengan Langkah Tepat
Meningkatkan sosialisasi serta bekerja sama dengan berbagai pihak dapat menjadi langkah penting untuk memastikan semua wisatawan asing mengetahui kebijakan ini sebelum mereka tiba di Bali. Pemerintah dapat bekerjasama dengan para pelaku industri pariwisata untuk menyampaikan informasi pungutan ini kepada wisatawan asing. Selain itu, sistem pemungutan juga perlu diperbaiki seperti halnya memperbanyak konter pembayaran di bandara atau di pelabuhan. Peletakan konter pembayaran juga sebaiknya tidak hanya berfokus pada kedatangan internasional melainkan memperhatikan juga wisatawan asing yang masuk dari kedatangan domestik. Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali dapat mempertimbangkan sistem pemungutan otomatis, yaitu dengan menambahkan biaya pungutan langsung ke harga tiket pesawat ataupun tiket hotel seperti halnya Negara Thailand yang akan menerapkannya. Dengan cara ini, akan mempermudah pengawasan serta meminimalisir kebocoran yang mungkin terjadi akibat kurangnya sumber daya untuk melakukan pengawasan yang ketat.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, mempercepat proses pembahasan serta melegalkan regulasi terkait sanksi juga akan menjadi langkah penting bagi Pemerintah Provinsi Bali. Sanksi tegas seperti denda ataupun larangan untuk mengunjungi Bali bisa memberikan efek patuh bagi wisatawan asing untuk menjalankan kebijakan ini. Terakhir, untuk menciptakan kepatuhan sukarela dari wisatawan asing, Pemerintah Provinsi Bali perlu melakukan transparansi pengelolaan dana. Transparansi ini dapat dilakukan dalam bentuk laporan secara berkala mengenai penerimaan dana serta pemanfaatannya. Pemanfaatannya pun harus dipastikan diperuntukan sebagaimana tujuan dari adanya pungutan ini (earmarking). Hal ini akan meningkatkan kepercayaan wisatawan asing serta masyarakat khususnya para pelaku usaha pariwisata sehingga kebijakan ini mendapatkan dukungan penuh dari berbagai pihak.
Tourism levy atau pungutan wisatawan asing di Bali memiliki potensi besar serta prospek jangka panjang untuk meningkatkan kekuatan fiskal daerah tanpa harus takut berdampak terhadap daya tarik wisatawan, asalkan kebijakan ini diterapkan dengan strategi yang tepat. Jika dilaksanakan dengan optimal, bukan tidak mungkin pendapatan dari pungutan ini bisa menjadi sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali, menggantikan penerimaan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Lebih jauh, keberhasilan tourism levy di Bali nantinya juga dapat menjadi contoh bagi daerah wisata lain di Indonesia seperti Labuan Bajo, Lombok, dan daerah lainnya dalam mengembangkan sumber pendapatan daerah yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT