Perempuan dan Pendidikan: Sebuah Pemikiran yang Timpang dalam Masyarakat Sosial!

Khasiatun Amaliyah
- Social Science Education 2020, Universitas Negeri Semarang - Mahasantri di Pesantren Riset Al-Muhtada
Konten dari Pengguna
5 Maret 2023 10:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khasiatun Amaliyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Khasiatun Amaliyah - KUMPARAN.COM
zoom-in-whitePerbesar
Khasiatun Amaliyah - KUMPARAN.COM
ADVERTISEMENT
Orang yang berpendidikan tidak menjadi jaminan bahwa ia akan berhasil 100%. Bahkan tidak jarang, orang yang tidak berpendidikan pun bisa lebih berhasil dari yang berpendidikan. Berpendidikan atau tidak adalah pilihan, maka tidak perlu menghakimi salah satu di antara kedua itu.
ADVERTISEMENT
Terasa timpang jika menstandarkan suatu keberhasilan hanya pada satu kriteria atau satu patokan saja. Faktanya, tidak semua individu memiliki satu kriteria yang sama sebagaimana dimaksud. Apabila demikian, maka bisa saja muncul anggapan bahwa tidak akan ada orang yang berhasil. Dengan kata lain, banyak yang akan mengalami kegagalan.
Sehingga muncul lah yang disebut jenis-jenis indikator, apa tujuannya? Agar kita bisa menggunakan dan menyesuaikan mana indikator yang pas dan tepat untuk digunakan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tentang indikator. Indikator adalah sesuatu yang bisa memberikan petunjuk atau keterangan.
Penelitian, "Persepsi Masyarakat Terhadap Pentingnya Pendidikan Tinggi Untuk Kaum Perempuan" 2020.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kaum perempuan tidak melanjutkan pendidikan tinggi, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Persepsi masyarakat terkait kodrat perempuan yang keliru
Terkait hal ini, kodrat perempuan dalam hal fungsi fisiknya yaitu haid, menyusui, dan melahirkan. Namun, di beberapa masyarakat memaknai kodrat perempuan dengan hal-hal yang berbau pekerjaan domestik. Pemahaman ini dianggap sudah tidak lagi relevan di zaman sekarang.
2. Adanya faktor ekonomi
Menurut Enny Zuhni Khazani, ekonomi rendah menjadi pemicu perempuan tidak mendapat kesempatan pendidikan. Di mana permasalahannya? Padahal sekarang informasi beasiswa bisa dikatakan sudah lebih banyak.
Masalahnya, ketika seseorang lahir di keluarga berekonomi menengah ke bawah, mereka enggan. Minimnya akses informasi dan rasa ingin tahu juga membuat adanya info beasiswa susah diketahui.
3. Adanya faktor lingkungan atau keluarga
Keluarga dan lingkungan juga memilikin pengaruh penting. Keluarga yang memiliki riwayat santri atau mondok, cenderung ingin anak pula anaknya mondok. Di beberapa masyarakat, perempuan sudah terbangun konstruksi sosial yang membedakannya dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Konon, sebagian besar konstruksi itu lebih merugikan perempuan. Hal itu terlihat dari adanya stigma yang diterima perempuan. Stigma tersebut yang kemudian berdampak pada kesempatan dan peluang yang ada bagi perempuan.
Salah satu di antaranya adalah terkait dengan pendidikan bagi perempuan. Sampai saat ini, masih saja ada pembahasan penting atau tidak perempuan itu berpendidikan? Ada yang menyatakan penting, karena perempuan sebagai pendidik, maka utamalah ia harus terdidik.Ada juga yang mengatakan kurang terlalu penting, karena perempuan ketika sudah menikah, ada suaminya.
Kita tidak bisa menyalahkan setiap apa yang telah dipilih untuk dijalani. Perempuan yang memilih pendidikan itu bagus, ia memanfaatkan kesempatan belajarnya secara maksimal. Namun, bagi perempuan yang tidak memilih jalur itu pun bukan berarti buruk. Selagi ia memiliki alasan dan dasar yang kuat tentu bukan masalah.
ADVERTISEMENT
Pendidikan menajdi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang, namun bukan satu-satunya cara. Bukan berarti pendidikan tidak penting, pendidikan penting. Namun, setiap individu memiliki caranya sendiri untuk bisa berkembang, maju, dan berkarakter.
Ketimpangan Pemikiran dalam Masyarakat Sosial
Bagaimana dan apa yang dimaksud dengan ketimpangan pemikiran dalam hal ini? Yaitu dengan hanya menjadikan satu indikator sebagai satu-satunya dasar yang benar. Kemudian mengabaikan indikator-indikator lainnya.
Misalnya, adanya pemikiran bahwa perempuan itu harus berpendidikan tidak boleh tidak. Sekilas pernyataan itu tampak bagus, dengan menunjukkan kepedulian bagi perempuan. Namun seperti memaksa, dengan tidak memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti kebutuhan, latar belakang, dan sebagainya.
Bisa jadi, ketika perempuan itu tidak memilih jalur pendidikan namun bisa berdaya melalui kegiatan lain, enterpreneur, wirausaha, karir, kursus bisnis women dsb. Maka, ketika perempuan memilih meningkatkan kualitas diri bukan lewat jalur pendidikan, tentu bukan suatu kesalahan.
ADVERTISEMENT
Berbeda lagi, ketika ada seorang perempuan yang memilih jalur pendidikan. Mati-matian berjuang untuk mendapat sebuah gelar, ikut lomba sana-sini, bahkan misal mendapat tawaran kuliah di luar negeri. Ada saja pemikiran masyarakat sosial yang mengatakan bahwa, tidaklah perlu perempuan belajar sampai sebegitunya. Untuk apa? Kata mereka.
Padahal, melalui pendidikan itulah perempuan bisa banyak belajar dan berkembang.
Artinya apa?
Pilihan perempuan untuk berpendidikan atau tidak itu dipengaruhi oleh banyak faktor dan pertimbangan yang beraneka ragam. Maka, pemikiran masyarakat sosial yang hanya membenarkan salah satu kemudian menyalahkan salah satunya menjadi sebuah ketimpangan pemikiran dalam masyarakat sosial.
Mengapa ini menjadi penting?
Pemikiran sebagaimana di atas akan menjadikan kita memiliki kebiasaan untuk mudah menghakimi atau melakukan judge pada seseorang maupun sekelompok orang dengan mudah. Pada akhirnya, ini bisa menjadi konflik sosial, dan penyakit sosial.
ADVERTISEMENT
Dengan mengetahui dan memahami hal ini, maka kita bisa menjadi lebih sadar, bijaksana dalam menyampaikan pendapat, dan terampil dalam memposisikan diri, tanpa melakukan diskriminasi, baik langsung maupun tidak langsung kepada seseorang maupun sekelompok orang.