Konten dari Pengguna

Menanti Pemidanaan Holywings Sebagai Subjek Hukum Korporasi

Nindya Cipta Kariza
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
1 Agustus 2022 13:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nindya Cipta Kariza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Holywings Semarang. Foto: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Holywings Semarang. Foto: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Pada Juni 2022, publik dihebohkan dengan adanya promosi minuman beralkohol gratis khusus orang yang bernama Muhammad dan Maria yang dilakukan oleh Holywings. Sehingga bukan profit yang didapat melainkan kecaman publik, karena dianggap menghina dan menistakan Nabi Muhammad sebagai tokoh utama dalam agama Islam.
ADVERTISEMENT
Polda Metro Jaya menetapkan setidaknya 6 (enam) tersangka dengan Pasal 156 a KUHP jo Pasal 28a ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tantang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Disisi lain, melihat dari upaya promosi tersebut memang dilakukan oleh seseorang yang bekerja disuatu perusahaan yaitu Holywings yang dapat dikategorikan sebagai korporasi dengan mengacu pada ketentuan pengertian korporasi yaitu Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga menarik bila membahas terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dilakukan oleh Holywings karena memang belum dilakukannya penyidikan terhadap subjek hukum korporasi tersebut.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
ADVERTISEMENT
Dalam Hukum pidana subjek hukum tidak hanya manusia (natuurlijk persoon), namun juga badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, dan perkumpulan yang oleh hukum dianggap sebagai sama seperti manusia. Dalam melihat unsur kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum dapat dilihat dari mens rea (niat jahat) dan actus reus (tindakan nyata/perbuatan). Dalam konteks korporasi unsur mens rea tidak menjadi syarat utama penjatuhan pidana, karena korporasi tidak memiliki unsur psikis (de psychische bedtanddelen) seperti halnya manusia.
Setidaknya terdapat 3 (tiga) doktrin hukum terkait pertanggungjawaban pidana terkait dengan tindak pidana korporasi. Pertama, Direct corporate criminal liability oleh Barda Nawawi Arif, yang berpatokan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh direktur sebagai tindak pidana korporasi yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi. Kedua, Strict liability yang diadopsi dari hukum perdata, yang mana doktrin ini mengesampingkan mens rea dalam pertanggungjawaban pidana dan berfokus pada actus reus. Sehingga pada pertanggungjawaban pidana korporasi cukup membuktikan perbuatan atau actus reus yang dilakukan oleh pengurus korporasi. Ketiga, Vicarious liability yaitu doktrin pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan oleh pengurus yang masih berada pada ruang lingkup korporasi.
ADVERTISEMENT
Adapun dalam pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah apabila dipenuhi semua unsur yaitu:
Selanjutnya mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, korporasi hanya terdiri dari pidana pokok yang berupa denda dan/atau pidana tambahan, seperti uang pengganti, penutupan perusahaan, ganti rugi, dan restitusi.
ADVERTISEMENT
Pertanggungjawaban pidana korporasi Holywings
Pada kasus penistaan agama yang dilakukan oleh karyawan atas nama Holywings senyatanya telah memenuhi 4 unsur sebagaimana dikemukakan di atas. Meskipun demikian, penyidik dalam kasus ini hanya mengusut sebatas subjek hukum orang saja tidak korporasi. Menurut penulis, apabila izin Holywings dicabut sepihak oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atas promosi minuman beralkohol secara gratis tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut karena belum adanya putusan pengadilan yang menyatakan korporasi Holywings bersalah yang tentu bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Namun demikian, Pemprov DKI Jakarta mencabut izin operasi Holywings atas arahan Anies Baswedan bukan karena promosi minuman beralkohol gratis untuk pelanggan bernama Muhammad dan Maria, melainkan terdapat syarat administrasi yang tak terpenuhi. Akibat adanya syarat administrasi tersebut Holywings melakukan pelanggaran, sehingga pencabutan izin pun dilakukan. Semestinya pengecekan permasalahan pelanggaran tersebut dapat dilakukan dan tanpa perlu kasus promosi minuman beralkohol viral, yang dapat menimbulkan asumsi publik atas minim dan lemahnya peran pemerintah dalam aspek pengawasan. Kemudian, apabila pihak Holywings merasa dirugikan atas adanya pencabutan izin tersebut dapat melakukan upaya hukum gugatan atas keputusan pencabutan izin operasi ke Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN) DKI.
ADVERTISEMENT
Aparat penegak hukum diharapkan berani untuk meminta pertanggungjawaban pidana Holywings sebagai korporasi. Karena tidak ada jaminan apabila hanya mempidanakan pengurus yang terkait korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana dan korporasi lain menganggap pemidanaan korporasi hanya bersifat kodifikasi saja tidak ada penegakannya. Meskipun dalam pidana pokok korporasi hanya berupa denda namun ketika ada aturan mengenai pemidanaan korporasi yang tidak ditegakkan akan menciderai penegakan hukum itu sendiri.
Akhir kata penulis berharap besar kepada aparat penegak hukum dapat menjerat subjek hukum korporasi yang melanggar segala ketentuan pidana baik dalam KUHP maupun Undang-Undang. Pada cerminan saat ini, sebagaian besar korporasi yang dikenakan sanksi pidana adalah korporasi yang melanggar dalam pidana terkait dengan aspek lingkungan hidup. Holywings dalam hal ini melanggar ketentuan dalam UU ITE, sehingga idealnya memang dapat dikenai sanksi pidana dengan dibuktikan ke persidangan. Selanjutnya tidak diaturnya menganai ketentuan hukum acara bagi korporasi dalam KUHAP merupakan kendala bagi aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT