Konten dari Pengguna

Polisi Skena si Paling Musik dengan Superiornya, Maunya Apa?

Bani Akbar
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
28 Februari 2023 19:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bani Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iustrasi menonton konser. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Iustrasi menonton konser. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Musik memang tidak pernah kehilangan peminatnya. Sejak tahun 80-an, musik sudah melekat dengan gaya hidup orang-orang pada saat itu. Dari musik bergenre metal hingga lantunan suara mendayu yang terinterpretasikan dalam musik melayu menghiasi perjalanan hidup seseorang dari masa ke masa.
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari musik terus berkembang dan semakin beragam. Perbedaan musik pun begitu terasa. Entah itu dari segi lirik, dari segi instrumen, dan lain sebagainya di tiap-tiap tahun 80-an, 90-an, dan 2000-an.
Beberapa tahun belakangan, musik indie mulai menjadi top playlist dari para kawula muda. Hal ini juga diikuti oleh banyaknya musisi indie yang bermunculan, seperti Danilla, Fourtwnty, dan masih banyak lagi.
Muncul asumsi-asumsi dari anak muda bahwa semakin indie selera musik seseorang, semakin keren orang tersebut. Pembahasan selera soal musik yang menjunjung tinggi “indie” dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama munculnya polisi skena di tengah pecinta musik yang damai.
Polisi skena merupakan istilah bagi seseorang yang merasa paling mengerti tentang musik dan tidak jarang mengomentari pendengar-pendengar musik lain. Entah itu dari segi cara menikmati musik, pengetahuan musik, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Perdebatan akan musik memang tidak kunjung ada habisnya karena beda kepala beda selera. Namun, di situlah seharusnya letak keindahan dari musik. Selera tidak bisa dipaksakan sama dan ketika sama, tidak boleh diharuskan berbeda.
Ilustrasi mendengarkan musik saat hujan. Foto: goffkein.pro/Shutterstock
Polisi skena tidak hanya bermunculan saat konser-konser musik berlangsung saja, melainkan polisi skena juga banyak berkeliaran di sosial media dengan memberikan komentar-komentarnya seputar musik.
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan aksi saling mengomentari selera musik. Termasuk juga dengan wawasan musik dan lain sebagainya sejauh hal tersebut masih dalam konteks dan tentunya positif.
Namun, permasalahan yang muncul adalah ketika polisi skena dengan superiornya terlalu keras memberikan komentar, baik itu mengarah ke personal maupun kelompok sehingga tidak jarang menciptakan kegaduhan dan perpecahan di antara penikmat musik. Padahal musik adalah bentuk ekspresi dan di negeri tercinta ini kebebasan berekspresi dijunjung tinggi.
ADVERTISEMENT
Perdebatan tentang selera musik biasanya dipercik oleh komentar-komentar polisi skena yang merasa “si paling” musik di antara yang lain. Padahal sebagai manusia merdeka, seseorang berhak memilih musik yang mereka suka tanpa intervensi dari siapapun.
Seseorang juga tidak bisa dipaksa untuk harus tau semua lagu pada album suatu musisi yang mereka dengarkan. Standarisasi yang muncul dari polisi skena seperti membuat kaku pecinta musik yang seharusnya sirkel musik adalah sirkel yang fleksibel dan santai.
Aturan perihal selera dalam bermusik, wawasan musik yang dimiliki dan cara menikmati musik hanya sebuah delusi. Semua orang bebas memilih jalan musiknya dengan gaya mereka sendiri.
Musik dan keberagaman pecinta di dalamnya menjadikan musik sebagai alternatif seseorang dalam rehat sejenak dari kerasnya dunia. Tanpa sekat membuat musik menjadi lebih asik. Bertukar wawasan tentang musik akan lebih baik daripada saling tarik menarik mengatakan “musik aku yang terbaik.
ADVERTISEMENT