Konten dari Pengguna

Korupsi Tercipta Dari Sebuah Rezim Pemerintah

kevin Verrel Nurreyhan
Mahasiswa fakultas syariah dan hukum, jurusan Ilmu Hukum, UIN WALISONGO. Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran.
22 Februari 2024 17:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari kevin Verrel Nurreyhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung KPK. Foto: KPK
zoom-in-whitePerbesar
Gedung KPK. Foto: KPK
ADVERTISEMENT
Korupsi merupakan fenomena yang sering terjadi dalam rezim kekuasaan, di mana rezim pemerintahan memiliki peran penting. David Easton dalam bukunya politica system, menjelaskan bahwa
ADVERTISEMENT
Hal ini disebabkan oleh pengaruh keputusan negara dalam kebijakan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pendapat Easton memiliki kesamaan dengan pemikiran filsuf Italia, Lord Acton, yang menyatakan bahwa
Korupsi telah menjadi masalah yang merajalela di Indonesia dan di banyak negara lainnya, mulai dari zaman kerajaan hingga era republik. Birokrasi yang diisi oleh orang-orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan menjadi penyebab utama korupsi ini.
Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia telah membentuk lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) setelah era reformasi. Salah satu metode yang digunakan adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang bertujuan untuk menangkap pelaku korupsi saat barang-barang bukti masih dalam kondisi baru (fresh), termasuk dalam berkas file.
ADVERTISEMENT
Namun, masih terdapat kekurangan dalam penindakan terhadap pejabat korup. Banyak pejabat yang berhasil menghindari hukuman karena tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya, yang tidak diatur secara jelas dalam undang-undang. Selain itu, banyak pejabat yang melarikan diri ke luar negeri dan menyimpan kekayaan di sana, karena Indonesia belum melakukan ratifikasi perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara. Hal ini menghambat proses penangkapan dan penuntutan terhadap pelaku korupsi.
Kebijakan-Kebijakan PresidenTerdahulu Memberantas Korupsi
Mesin ketik jadul. foto: Freepik
Gerakan korupsi dimulai dengan disahkannya "Undang-Undang Keadaan Bahaya" pada awal tahun 60-an. Panitia Retooling Aparatur Negara atau PARAN, adalah sebuah badan pemerintahan pengganti Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN) yang didirikan pada tahun 1959. Pejabat negara diwajibkan untuk mengisi daftar kekayaan pejabat negara. Namun, lembaga PARAN akhirnya dibubarkan karena kurangnya keseriusan dari pemerintah dalam mengurusi korupsi. Bahkan, setelah munculnya Keputusan Presiden (Keppres) 274/1963 sebagai dasar pemberantasan korupsi tidak berjalan sesuai dengan tujuan awal hingga runtuhnya Orde Lama.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dengan munculnya Orde Baru, pernyataan dari pidato presiden Soeharto pada 16 agustus tahun 1967, untuk “memberantas korupsi sampai ke akarnya”. Di hadapan DPR/MPR dibentuklah TPK (Tim Pemberantas Korupsi), Tetapi tidak ada perhatian serius dari pemerintah hanya retorika belaka karena kasus korupsi masih terus berlanjut dianggap sebagai kegagalan badan TPK. oleh karena itu, Munculnya demonstrasi mahasiswa terhadap kasus korupsi pada tahun 1970 memunculkan Komite Keempat yang tidak mampu menumpas korupsi, dan pemerintahan Orde Baru membuat "Operasi Tertib" (OPSTIB) yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo. Namun, badan tersebut belum bisa membasmi korupsi hingga masa akhir orde baru, hal tersebut sebagai pemicu membuat para pengamat memberikan julukan "NEGARA PARA MALING". Runtuhnya orde baru mengarah pada rezim reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie, yang mengeluarkan KPKPN, KPPU, dan "Komisi Ombudsman" .
ADVERTISEMENT
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengatasi korupsi dengan membuat badan “Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (TGPTPK). Dibentuk berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000, Tetapi tidak bertahan lama karena dibubarkan Mahkamah Agung karena badan dianggap badan ilegal. Setelah Gus Dur lengser, digantikan oleh Megawati sebagai presiden ke 5. Masa inilah lahir badan penanganan korupsi bernama Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. KPK lembaga baru yang langsung melejit dengan menangkap berbagai pejabat, terutama DPR/DPRD yang dibawa ke pengadilan dengan tuduhan korupsi.
kemudian, di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melanjutkan gerakan presiden selanjutnya dengan membentuk Tim TasTipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi) berdasarkan Keppres No.61 Tahun 2005. Bertugas memberantas korupsi di dalam pemerintahan dan bertanggung jawab langsung kepada presiden termasuk KPK, tetapi lembaga itu dibubarkan pada 2007 dan fungsi digantikan peradilan umum. Kemudian, di era presiden Jokowi Widodo, dalam menangani KPK pertama dengan mengubah peraturan UU No. 30 Tahun 2002 menjadi UU KPK Tahun 2019. Sedikit perubahan UU KPK sebelumnya lembaga independen kini berada pada satu koridor Kementerian PANRB karena anggota KPK sebelumnya ditunjuk oleh DPR dan Presiden, kini berubah menjadi seleksi ASN yang diselenggarakan oleh Menteri PANRB. Selain itu, Presiden Jokowi juga menggabungkan program pendidikan anti-korupsi dari Sekolah Dasar hingga Kuliah dengan kerjasama Kementerian Pendidikan Indonesia. Sejarah sebagai pembelajaran untuk intropeksi dalam melihat kebijakan-kebijakan presiden akan datang untuk menentukan arah gerak KPK sebagai bagian dari konstitusi, oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat.
ADVERTISEMENT