Konten dari Pengguna

Mengulas Tulisan Forsythe: Perspektif Komparatif HAM dan Kebijakan Luar Negeri

Umairanissa Farrah Fatikha
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya
17 Februari 2025 9:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Umairanissa Farrah Fatikha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret sekelompok aktivis rakyat yang berunjuk rasa di jalanan, perempuan berbaris dan berkonsep demonstrasi. (Picture from iStock)
zoom-in-whitePerbesar
Potret sekelompok aktivis rakyat yang berunjuk rasa di jalanan, perempuan berbaris dan berkonsep demonstrasi. (Picture from iStock)
ADVERTISEMENT
David P. Forsythe pada bab 6 bukunya, Human Rights in International Relations, menjelaskan strategi-strategi yang seringkali digunakan dalam kebijakan HAM suatu negara. Salah satu strategi yang digunakan negara dalam kebijakan hak asasi manusia adalah diplomasi. Diplomasi tertutup atau "quiet diplomacy" sering digunakan untuk menyampaikan keberatan terkait pelanggaran hak asasi manusia tanpa menimbulkan kegaduhan publik. Pendekatan ini dianggap efektif karena memungkinkan negara target merespons tanpa kehilangan muka di hadapan publiknya. Namun, ada kalanya diplomasi tertutup ini diikuti oleh pernyataan publik untuk menegaskan posisi suatu negara, seperti yang dilakukan Presiden George W. Bush ketika mengangkat isu hak asasi manusia dalam pertemuannya dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada tahun 2005.
ADVERTISEMENT
Menurut Forsythe, diplomasi publik di bidang hak asasi manusia seringkali memicu reaksi balik dari negara yang dikritik. Pemimpin negara yang merasa diserang secara terbuka cenderung mengambil sikap defensif atas nama kedaulatan nasional atau kepentingan domestik. Contohnya, ketika Kongres AS mengesahkan Amandemen Jackson-Vanik pada tahun 1970-an yang mewajibkan kebebasan migrasi dari negara-negara komunis Eropa, negara-negara yang menjadi target justru memperketat aturan imigrasi mereka. Meski demikian, tekanan publik juga dapat menghasilkan perubahan positif dalam jangka panjang, seperti yang terlihat dalam kasus Uni Eropa yang memberikan tekanan terhadap Turki untuk meningkatkan catatan hak asasi manusianya sebagai bagian dari proses keanggotaan Uni Eropa.
Langkah diplomatik lainnya mencakup pembatalan kunjungan pejabat tinggi atau penarikan duta besar sebagai bentuk protes terhadap kebijakan hak asasi manusia suatu negara. Sebagai contoh, pada tahun 2005, Amerika Serikat menarik duta besarnya dari Suriah setelah pembunuhan seorang mantan perdana menteri Lebanon, yang diduga melibatkan pemerintah Suriah. Langkah ini tidak hanya memberikan tekanan diplomatik, tetapi juga meningkatkan perhatian internasional terhadap kebijakan hak asasi manusia di Suriah.
ADVERTISEMENT
Selain diplomasi, sanksi ekonomi juga sering digunakan sebagai alat untuk menekan negara yang melanggar hak asasi manusia. Namun, efektivitasnya masih diperdebatkan, karena sanksi dapat berdampak buruk pada rakyat di negara yang menjadi target. Forsythe menjelaskan kasus Irak pada tahun 1990-an menunjukkan bahwa sanksi ekonomi yang bertujuan melemahkan rezim Saddam Hussein justru memperburuk kondisi sosial masyarakat, terutama anak-anak. Oleh karena itu, beberapa negara memilih untuk menerapkan "sanksi pintar" seperti pembekuan aset individu dan pembatasan perjalanan bagi elit politik, yang dinilai lebih efektif.
Intervensi militer sering kali menjadi langkah terakhir dalam menegakkan hak asasi manusia, meskipun sangat kontroversial. NATO, sebagai contoh, melakukan intervensi militer di Serbia pada tahun 1999 untuk menghentikan penganiayaan terhadap etnis Albania di Kosovo. Namun, intervensi ini juga mendapat kritik karena dianggap memiliki motif politik selain alasan kemanusiaan. Dalam beberapa kasus, intervensi militer memang berhasil, seperti yang dilakukan India pada tahun 1971 untuk menghentikan pembantaian terhadap etnis Bengali oleh Pakistan, yang pada akhirnya membentuk negara Bangladesh.
ADVERTISEMENT
Forsythe juga menyajikan analisis mendalam tentang hubungan antara kebijakan luar negeri suatu negara dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam pembahasannya, Forsythe mengungkap bagaimana negara-negara, khususnya Amerika Serikat, menerapkan hak asasi manusia dalam diplomasi mereka dan sejauh mana kepentingan nasional memengaruhi penerapan prinsip-prinsip tersebut. Dengan pendekatan komparatif, Forsythe juga mengulas kebijakan hak asasi manusia dari berbagai negara demokrasi liberal serta respons negara-negara otoriter terhadap tekanan internasional terkait hak asasi manusia.
Salah satu aspek utama yang dibahas oleh Forsythe adalah konsep American exceptionalism, yaitu keyakinan bahwa Amerika Serikat memiliki peran istimewa dalam menegakkan kebebasan dan demokrasi di dunia. Namun, penulis menunjukkan bahwa retorika yang digunakan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat sering kali tidak sejalan dengan tindakan yang diambil. Contohnya, meskipun negara ini secara aktif mendukung demokrasi dan hak asasi manusia dalam berbagai forum internasional, kepentingan geopolitik sering kali lebih mendominasi dibandingkan komitmen terhadap hak asasi manusia. Hal ini terlihat dalam kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah, di mana negara ini tetap menjalin hubungan erat dengan rezim otoriter demi mempertahankan kepentingan strategisnya.
ADVERTISEMENT
Forsythe menguraikan tiga instrumen utama yang digunakan negara-negara dalam menerapkan kebijakan hak asasi manusia dalam diplomasi mereka, yaitu diplomasi, sanksi ekonomi, dan intervensi militer. Negara-negara sering menggunakan tekanan diplomatik untuk mendorong perubahan hak asasi manusia di negara lain, baik melalui negosiasi bilateral maupun forum multilateral seperti PBB. Sanksi ekonomi kerap digunakan untuk menghukum negara yang dianggap melanggar hak asasi manusia, tetapi efektivitasnya masih diperdebatkan karena elit politik di negara yang terkena sanksi biasanya tetap dapat mengakses sumber daya, sementara rakyatnya justru yang paling terdampak. Dalam beberapa kasus, intervensi militer dilakukan dengan alasan perlindungan hak asasi manusia, seperti dalam kasus Kosovo dan Libya. Namun, penulis mengkritisi bahwa intervensi semacam ini sering kali memiliki motif politik yang lebih kompleks dibandingkan sekadar kepedulian terhadap hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Selain membahas kebijakan Amerika Serikat, tulisan ini juga membandingkan pendekatan negara-negara lain dalam menerapkan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri mereka. Kanada dikenal memiliki kebijakan luar negeri yang lebih progresif dalam mendukung hak asasi manusia, termasuk perannya dalam misi penjaga perdamaian PBB dan advokasi terhadap penghapusan ranjau darat. Negara-negara Eropa seperti Belanda dan Skandinavia lebih aktif dalam menghubungkan bantuan pembangunan dengan kondisi hak asasi manusia di negara penerima. Sementara itu, India dan China cenderung lebih berhati-hati dalam mengadopsi standar hak asasi manusia internasional dengan alasan kedaulatan nasional dan kepentingan domestik.
Buku ini memberikan perspektif yang seimbang mengenai peran hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri. Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam pendekatannya. Salah satunya adalah fokus yang dominan pada Amerika Serikat. Meskipun pada tulisannya Forsythe membahas berbagai negara, perhatian utama tetap tertuju pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Akan lebih menarik jika ada analisis lebih dalam terhadap kebijakan hak asasi manusia dari negara-negara berkembang atau organisasi internasional selain PBB. Selain itu, tulisan Forsythe lebih menitikberatkan peran negara dalam diplomasi hak asasi manusia, tetapi kurang membahas bagaimana organisasi masyarakat sipil, media, dan perusahaan multinasional juga memainkan peran penting dalam memajukan atau justru menghambat hak asasi manusia di dunia. Buku ini juga kurang mendalam dalam mengevaluasi dampak jangka panjang dari kebijakan hak asasi manusia terhadap masyarakat di negara-negara yang menjadi sasaran kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Forsythe, D. P. (2012). Human rights and foreign policy in comparative perspective. In Human Rights in International Relations (pp. 197–239). chapter, Cambridge: Cambridge University Press.