Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Analisis Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang dan Faktor Pendorongnya
24 Oktober 2023 12:54 WIB
Tulisan dari Ni Made Mona Putri Amerta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan luar negeri merupakan salah satu instrumen penting yang digunakan oleh suatu negara untuk memperoleh maupun mewujudkan kepentingan nasional negara mereka. Jepang merupakan contoh negara yang secara aktif melakukan perubahan terhadap kebijakan luar negerinya. Salah satu contoh kebijakan luar negeri jepang yang memiliki pengaruh signifikan adalah perubahan dasar kebijakan luar negeri jepang yang pada awalnya pacifism menjadi proactive pacifism. Perubahan kebijakan luar negeri ini terjadi ketika jepang berada di bawah kedudukan Perdana Menteri Shinzo Abe pada tahun 2012. Perubahan kebijakan luar negeri ini juga dapat disebut sebagai JSBD (Japan Self-Defense Force) yang keberadaannya masih dianggap ambigu.
ADVERTISEMENT
Perubahan Kebijakan Luar Negeri dari Pasifisme menjadi Proaktif Pasifisme
Pada Perang Dunia II Jepang menjadi negara yang memiliki keunggulan dalam bidang budaya dan SDM. Namun Jepang memiliki kelemahan pada komponen power yaitu pada bidang militer. Hal ini disebut pasifisme. Pasifisme merupakan suatu kebijakan Jepang yang menonaktifkan angkatan bersenjata dan melarang keikutsertaan Jepang dalam aksi peperangan. Konstitusi Jepang memperjuangkan cita-cita dalam preservasi perdamaian dan menghindari segala macam bentuk peperangan, perbudakan, dan sebagainya . Konstitusi Jepang memperjuangkan cita-cita dalam preservasi perdamaian dan menghindari segala macam bentuk peperangan, perbudakan, dan sebagainya. Adanya penghapusan hak belligerency menjadikan jepang sebagai negara yang tidak memiliki kekuatan militer, sehingga “Pasifisme” melekat pada jepang dalam hal keamanan dan identitas negara. Namun, Jepang masih memiliki JSDF atau pasukan beladiri yang diberikan batas larangan untuk beroperasi di luar wilayah teritorial Jepang.
ADVERTISEMENT
Ketika masa kepemimpinan Shinzo Abe kebijakan luar negeri Jepang mulai mengalami perubahan. Perubahan ini didasari dengan sikap yang diidentifikasi sebagai proaktif yang dibuktikan dengan upaya mendorong RUU mengenai keterlibatan pasukan jepang dalam collective defense. Karena hal ini “proactive pacifism” dinilai sebagai salah satu tindakan rekonstruksi identitas keamanan negara yang terwujud dalam eskalasi aktivitas dan kapabilitas militer Jepang. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kawasan Asia Timur menjadi kawasan yang masih berada dalam ketegangan wilayah sehingga arah dan sikap ini menimbulkan berbagai macam perdebatan, baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe, salah satu kebijakan baru yang dibuat adalah proactive pacifism. Proactive pacifism merupakan kebijakan luar negeri negara Jepang yang mengijinkan untuk turut berpartisipasi untuk menjaga keamanan internasional dan menciptakan perdamaian dunia dengan mengaktifkan kembali sistem kemiliterannya. Perubahan ini dilakukan karena ada beberapa kasus yang dialami Jepang salah satunya yaitu, persengketaan pulau Senkaku yang diklaim oleh Tiongkok sebagai miliknya semenjak era dinasti Ming, di sisi lain Jepang mengklaim bahwa Pulau Senkaku ini merupakan miliknya sesuai dengan perjanjian Shimonoseki. Hal inilah yang kemudian mendorong Jepang untuk memperkuat militernya dan memperketat keamanan wilayah. Sehingga, kebijakannya diubah menjadi proactive pacifism.
ADVERTISEMENT
Perubahan kebijakan ini dilakukan untuk menjaga kedaulatan Jepang serta untuk menghindari ancaman dan terjadinya gejolak peperangan di kawasan Asia Timur. Pembentukkan kebijakan proactive pacifism ini sangat berpengaruh bagi kawasan Asia Selatan khususnya Tiongkok agar tidak dengan mudah dapat menguasai Pulau Senkaku dan menghambat Jepang dalam menciptakan negara yang damai.
Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang
Ancaman keamanan dalam kawasan Asia Timur menjadi faktor utama Jepang mengubah kebijakan luar negeri militernya. Namun, perubahan kebijakan luar negeri militer pada masa pemerintahan Shinzo Abe tidak mudah dilakukan, seringkali ditentang baik oleh parlemen maupun masyarakat Jepang. Hingga kemudian RUU yang membahas mengenai keterlibatan JSDF diloloskan oleh Majelis Tinggi Parlemen pada tahun 2015. Shinzo Abe kemudian menindaklanjuti hal ini dengan membuka ruang penguatan militer untuk memproyeksikan kekuatan Jepang dalam lingkup regional. Dengan tujuan untuk memperluas kapasitas militer Jepang dalam menghadapi ancaman dalam kawasan, utamanya ancaman dari Korea Utara dan Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini ketegangan di kawasan Asia Timur terus meningkat, terutama ketika Korea Utara melakukan uji coba nuklir keamanan pada bulan September 2017. Ditahun yang sama juga Korea Utara telah berhasil melakukan uji rudal balistik antar benua yang dapat menjangkau seluruh kawasan Amerika Serikat pada bulan November. Kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok turut menjadi ancaman bagi Jepang. Alokasi anggaran militer Tiongkok yang terus meningkat setiap tahunnya hingga menjadikan Tiongkok sebagai negara dengan anggaran pertahan kedua terbesar setelah Amerika Serikat menjadi salah satu ancaman besar bagi Jepang. Sikap dari negara tetangga ini tentu menjadi sebuah tuntutan bagi Jepang untuk memperkuat bidang militer dan mengubah kebijakan luar negerinya.