Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik Dinasti di Indonesia: Ketika Kekuasaan Menjadi Warisan Keluarga
18 November 2024 9:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Khairunnisa Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika demokrasi dijalankan dengan semangat keterbukaan, meritokrasi, dan keadilan, kekuasaan idealnya ada di tangan mereka yang paling kompeten dan mampu melayani kepentingan rakyat. Namun, bagaimana jika kekuasaan justru berulang kali berputar di lingkaran keluarga tertentu? Fenomena dinasti politik semakin sering terlihat di Indonesia, menimbulkan pertanyaan besar: Apakah politik kita masih mencerminkan suara rakyat, atau justru menuju pada praktik kekuasaan eksklusif yang mengancam partisipasi politik yang inklusif?
ADVERTISEMENT
Munculnya dinasti politik ini lebih dari sekadar fenomena lokal. Di tengah masyarakat yang semakin melek informasi, setiap langkah keluarga penguasa diawasi ketat, menimbulkan kekhawatiran tentang konflik kepentingan, eksklusivitas kekuasaan, dan berkurangnya kompetisi politik. Fenomena ini berisiko menciptakan oligarki baru, di mana kekuasaan diwariskan dalam lingkaran keluarga dan jaringan kekuasaan, bukan diperebutkan berdasarkan kemampuan. Publik mulai bertanya-tanya: Apakah Indonesia masih berada di jalur demokrasi yang sehat atau menuju praktik kekuasaan eksklusif yang mengancam partisipasi politik yang inklusif?
Dinasti politik ini menantang konsep meritokrasi, di mana posisi kekuasaan seharusnya diisi oleh orang-orang terbaik melalui proses yang adil. Jika kekuasaan semakin didominasi oleh keluarga tertentu, sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa pemimpin terpilih kompeten dan berintegritas. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap sistem politik bisa melemah dan partisipasi politik menurun karena munculnya rasa apatis. Publik mungkin merasa hasil pemilu dapat diprediksi, yaitu kekuasaan akan selalu berputar di kalangan elite yang sama.
ADVERTISEMENT
Selain berdampak pada kepercayaan publik, dinasti politik juga memengaruhi kualitas kebijakan. Pemimpin dari dinasti politik sering kali lebih peduli pada kelangsungan kekuasaan ketimbang perubahan substansial. Mereka cenderung mempertahankan keadaan demi stabilitas politik keluarga. Hal tersebut berbahaya bagi demokrasi Indonesia yang memerlukan kepemimpinan visioner untuk menghadapi tantangan global dan domestik.
Perubahan Jokowi dari Simbol Harapan Menjadi Politisi Dinasti
Indonesia, negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, sedang mengalami tantangan serius dalam menjaga integritas sistem politiknya. Janji-janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2014 untuk menghancurkan korupsi dan dominasi elit politik telah memicu harapan besar dari rakyat. Dengan latar belakang yang sederhana sebagai pengusaha mebel dan mantan Walikota Solo, Jokowi tampil sebagai simbol pemimpin dari rakyat biasa yang akan melawan korupsi dan memperjuangkan transparansi.
ADVERTISEMENT
Namun, delapan tahun setelah memimpin, Jokowi tidak lagi terlihat sebagai sosok yang sama. Seiring berakhir masa jabatannya yang kedua, muncul tanda-tanda bahwa Jokowi telah jatuh ke dalam jebakan kekuasaan, membangun dinasti politik dengan melibatkan anggota keluarganya. Politik dinasti ini mengancam cita-cita demokrasi yang seharusnya mengutamakan meritokrasi dan hak-hak sipil.
Gibran Rakabuming dan Kontroversi Usia Cawapres
Salah satu putra Jokowi, Gibran Rakabuming menjadi sorotan publik ketika namanya mencuat sebagai calon wakil presiden Indonesia dalam Pemilihan Presiden 2024, mendampingi Prabowo Subianto. Meskipun Gibran masih berusia 36 tahun, yaitu di bawah batas minimum usia 40 tahun yang ditetapkan oleh Konstitusi Indonesia untuk calon presiden dan wakil presiden. Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Anwar Usman (saudara ipar Jokowi), memutuskan untuk meloloskan Gibran sebagai calon. Keputusan ini menimbulkan kontroversi dan dugaan adanya konflik kepentingan yang kuat mengingat hubungan keluarga antara Jokowi, Anwar Usman, dan Gibran.
ADVERTISEMENT
Kritikus menuduh bahwa keputusan tersebut bukanlah sekadar kebetulan. Dengan memanfaatkan posisinya sebagai Presiden, Jokowi dianggap berupaya mengamankan kekuasaan politik bagi keluargan
ya di masa depan. Dinasti politik yang terbentuk ini menciptakan contoh yang buruk bagi demokrasi di Indonesia, di mana perubahan aturan dilakukan demi memfasilitasi kepentingan pribadi, alih-alih menghormati ketentuan hukum yang berlaku.
Kaesang Pangarep dan Kebangkitan Kilat dalam Politik
Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, juga mengikuti jejak politik keluarganya. Langkah Kaesang masuk ke dunia politik bahkan lebih mengejutkan, ketika ia secara tiba-tiba diangkat menjadi ketua partai politik hanya dua hari setelah bergabung. Proses instan ini mengundang tanda tanya besar, memperkuat anggapan bahwa posisi dalam partai atau politik Indonesia semakin menjadi warisan keluarga.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah terjun ke politik, Kaesang juga terlibat dalam skandal besar terkait gaya hidup mewahnya. Di tengah penurunan kelas menengah Indonesia, yang berkurang hampir 10 juta orang antara 2019 dan 2024, Kaesang justru terlihat menikmati kemewahan, termasuk terbang dengan jet pribadi bersama istrinya. Media melaporkan bahwa jet yang digunakan adalah Gulf Stream G650 ER, salah satu jet paling mahal di dunia dengan biaya operasional mencapai 300 juta rupiah per jam. Gaya hidup ini jelas berbanding terbalik dengan kenyataan ekonomi yang dihadapi oleh banyak rakyat Indonesia.
Bobby Nasution: Jejak Menantu di Panggung Politik
Tak hanya putra-putra Jokowi yang terlibat dalam politik, menantunya, Bobby Nasution, juga telah menjadi bagian dari ekspansi dinasti politik keluarga ini. Bobby, suami dari Kahiyang Ayu (putri Jokowi), kini menjabat sebagai Walikota Medan. Karier politiknya mulai mencuat ketika ia terpilih dalam Pilkada Medan 2020, meskipun sebelumnya tidak memiliki pengalaman yang signifikan di bidang politik.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Bobby dalam Pilkada Medan banyak dikaitkan dengan pengaruh kuat keluarga mertuanya, Jokowi, yang saat itu menjabat sebagai Presiden. Langkah Bobby ke panggung politik menimbulkan spekulasi bahwa Jokowi semakin memperkuat posisinya melalui berbagai jalur kekuasaan, tidak hanya dengan melibatkan anak-anaknya, tetapi juga menantunya.
Meski begitu, Bobby Nasution berusaha mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang berfokus pada pembangunan kota dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Medan. Namun, tetap saja, banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa keterlibatannya dalam politik hanyalah bagian dari upaya keluarga Jokowi untuk terus mempertahankan kekuasaan di tingkat nasional maupun daerah.
Masyarakat dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Politik dinasti yang berkembang di Indonesia, terutama di bawah kepemimpinan Jokowi, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang masa depan demokrasi dan keadilan di negara ini. Ketika janji-janji untuk memberantas korupsi dan mendukung transparansi tampak terabaikan, kita diingatkan akan pentingnya menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara. Dinasti politik bukan hanya merusak harapan rakyat, tetapi juga menciptakan kesenjangan yang lebih luas dalam sistem politik, di mana kekuasaan menjadi hak waris, bukan hasil dari kerja keras dan dedikasi.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia kini harus lebih kritis dan waspada terhadap praktik-praktik politik yang tidak sehat ini. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi rakyat untuk bersuara dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap hidup dan berkembang, memberikan ruang bagi setiap individu, tanpa terkecuali, untuk berkontribusi pada masa depan bangsa. Sebuah pemerintahan yang baik bukanlah milik segelintir orang, tetapi harus menjadi milik seluruh rakyat, yang berhak mendapatkan pemimpin yang adil dan berintegritas.