Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kasus Malpraktik Seorang Dokter di Bali: Antara Niat Baik dan Profesionalisme
23 Desember 2024 13:41 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mikel Satria Wignyadianta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus malpraktik seorang dokter di Bali yang melibatkan Dr. Shillea Olimpia Melyta, seorang dokter praktik mandiri, yang dituduh melakukan malpraktik terhadap pasien asal Australia, Jamie Irena Rayer Keet, kini tengah memasuki proses persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar. Kasus ini menarik perhatian publik karena menyentuh berbagai aspek etika medis, hukum, dan profesionalisme dalam dunia kedokteran.
ADVERTISEMENT
Kronologi Kasus
Pada tanggal 14 Februari 2024, pasien Rayer menghubungi Dr. Shillea dengan keluhan sakit punggung dan demam. Dalam proses pemeriksaan, suami Rayer menyatakan bahwa istrinya memiliki alergi terhadap obat-obatan tertentu, termasuk Ibuprofen dan Aspirin. Dr. Shillea awalnya merujuk pasien untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, namun pasien menolak rujukan tersebut. Akibatnya, Dr. Shillea memberikan 12 obat cair melalui infus, salah satunya adalah Antrain, yang termasuk dalam golongan NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs). Obat ini memicu reaksi alergi serius pada pasien, seperti pembengkakan wajah dan sesak napas.
Dr. Shillea kini dituduh tidak mendapatkan persetujuan yang diinformasikan dari pasien atau suaminya sebelum memberikan obat, dan diduga ada ketidaksesuaian antara rekam medis yang difoto oleh suami pasien dengan yang disusun oleh Dr. Shillea.
ADVERTISEMENT
Bantahan Tim Kuasa Hukum Dr. Shillea
Tim kuasa hukum Dr. Shillea membantah tuduhan tersebut. Mereka mengklaim bahwa persetujuan telah diberikan oleh suami pasien, yang telah menandatangani dokumen persetujuan sebelum tindakan diberikan. Tim kuasa hukum juga menegaskan bahwa pemberian obat tersebut dilakukan semata-mata untuk memenuhi sumpah profesi dokter yang berfokus pada keselamatan pasien. Menurut mereka, sikap pasien yang menolak rujukan membuat Dr. Shillea berada dalam posisi sulit: apakah harus meninggalkan pasien dalam keadaan kesakitan atau memberikan pengobatan meskipun memiliki risiko.
Selain itu, tim kuasa hukum juga menjelaskan bahwa rekam medis yang difoto oleh suami pasien hanyalah sebuah catatan pribadi yang bertujuan untuk mengingat kembali obat-obatan yang diberikan, bukan merupakan rekam medis resmi. Mereka juga menambahkan bahwa Dr. Shillea tidak memungut biaya dari pasien, karena tindakan tersebut dilakukan bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk menjalankan kewajiban profesinya.
ADVERTISEMENT
Analisis Profesionalisme dan Etika Medis
Meskipun klaim dari tim kuasa hukum Dr. Shillea cukup masuk akal, beberapa aspek dari kasus ini memunculkan pertanyaan tentang profesionalisme dokter dalam menjalankan tugasnya. Pertama, meskipun Dr. Shillea bertindak dengan niat untuk membantu pasien, penggunaan obat-obatan yang termasuk dalam golongan NSAID tanpa persetujuan yang jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran prosedur yang berlaku. Salah satu prinsip dasar dalam etika medis adalah "primum non nocere," yang artinya "pertama, jangan menyebabkan bahaya." Oleh karena itu, setiap tindakan medis yang diambil harus mempertimbangkan dengan hati-hati potensi risiko dan mendapatkan persetujuan yang diinformasikan dari pasien atau keluarga pasien.
Kedua, mengenai persetujuan yang diberikan, meskipun tim kuasa hukum mengklaim bahwa suami pasien telah menandatangani dokumen persetujuan, fakta bahwa persetujuan tersebut tidak diinformasikan dengan jelas dan rinci kepada pasien atau suami pasien menjadi masalah. Dalam kasus ini, apabila dokter memberikan obat berisiko tanpa penjelasan yang cukup, hal tersebut dapat menimbulkan kebingungan dan kemungkinan penyalahgunaan informasi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, masalah rekam medis yang tidak konsisten antara foto yang diambil oleh suami pasien dan rekam medis yang disusun oleh Dr. Shillea memperburuk situasi. Rekam medis haruslah akurat dan lengkap, bukan sekadar catatan kasar atau coretan yang tidak jelas. Setiap tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan profesional, terutama ketika melibatkan risiko bagi pasien.
Kesimpulan
Melihat dari berbagai perspektif, meskipun niat Dr. Shillea untuk membantu pasien sangat terlihat, tindakan yang diambilnya mengandung beberapa pelanggaran etika dan prosedur medis yang seharusnya dihindari. Prinsip keselamatan pasien harus selalu diutamakan, dan setiap tindakan medis harus dilakukan dengan persetujuan yang jelas serta informasi yang memadai. Kasus ini menegaskan pentingnya kedisiplinan dalam menerapkan standar medis dan menghormati hak pasien, sekaligus menjadi pembelajaran bagi seluruh tenaga medis untuk selalu bertindak sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT