Konten dari Pengguna

Kisah di Balik Tunggal Panaluan: Tongkat Sakti Suku Batak

Fitriana Sinaga
Mahasiswa - Universitas Sumatera Utara
9 Juni 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitriana Sinaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi 'Tunggal Panaluan' di Huta Siallagan. Sumber: dokumentasi pribadi (17/05/2024)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi 'Tunggal Panaluan' di Huta Siallagan. Sumber: dokumentasi pribadi (17/05/2024)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernah dengar suku Batak? pastinya pernah dong. Jadi, Suku Batak adalah salah satu suku terbesar di Indonesia. Dahulu, suku Batak dikenal sebagai 'suku kanibal', suku Batak juga terkenal dengan peraturannya yang melarang hubungan asmara dalam satu darah, seperti hubungan semarga. Banyak sekali fakta menarik tentang suku Batak, misalnya kisah Tunggal Panaluan. Berasal dari dua kata, 'Tunggal' artinya satu, dan 'Panaluan' artinya selalu mengalahkan. Tunggal Panaluan adalah tongkat yang dipercaya memiliki kesaktian oleh masyarakat Suku Batak. Roh-roh yang tinggal di dalam tongkat tersebut dianggap mampu memanggil hujan maupun menyembuhkan orang sakit.
ADVERTISEMENT
Kisah Sepasang Suami Istri, Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak
Berawal dari kisah sepasang suami istri yang telah lama menikah namun belum dikaruniai anak. Tidak putus asa dan tekun berdoa, akhirnya sang istri pun mengandung dan mereka memiliki anak kembar yang dibesarkan dengan sepenuh hati.
"Dahulu, ada sepasang suami istri yang telah lama menikah namun belum dikaruniai anak, mereka bernama Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak. Setelah sekian lama menunggu, Nan Sindak pun mengandung dan melahirkan anak kembar, yang laki-laki diberi nama Aji Donda dan yang perempuan diberi nama Tapi Nuansa. Setelah beranjak dewasa, warga kampung memandang anak kembar tersebut layaknya sebagai sepasang kekasih, hal ini lantaran mereka sering bersama dan terlihat saling menyukai satu sama lain," kata bapak Parasian Sitinjak sebagai tour guide di Huta Siallagan.
Pemaparan sejarah 'Tunggal Panaluan' oleh bapak Parasian Sitinjak, pemandu wisata di Huta Siallagan, Kecamatan Simanindo. Sumber: dokumentasi pribadi (17/04/2024)
"Suatu saat, kampung Hatia Bulan dilanda musibah kekeringan selama tiga bulan. Kekeringan ini menyebabkan gagal panen dan menciptakan kesengsaraan. Melihat hal itu, para tetua kampung melakukan penerawangan untuk mencari tahu penyebab bencana kekeringan ini. Melalui penerangan tersebut, diketahui bahwa bencana kekeringan yang melanda disebabkan oleh adanya hubungan terlarang saudara sedarah. Warga kampung pun langsung menuduh Aji Donda dan Tapi Nuansa. Setelah melakukan musyawarah, Guru Hatia Bulan pun hanya bisa pasrah terhadap keputusan warga kampung yang ingin memisahkan kakak-beradik tersebut. Anak laki-laki yang bernama Aji Donda diasingkan ke hutan" Sambungnya.
ADVERTISEMENT
Pohon Misterius Sebagai Tonggak Kemunculan Tunggal Panaluan
Saat itu, Guru Hatia Bulan membangun sopo (gubuk) di tengah hutan untuk Aji Donda. Tidak hanya itu, seekor anjing pun diberikan sebagai penjaga. Lalu Tapi Nuansa datang menyusul Aji Donda, mereka melakukan hubungan badan tanpa pengetahuan orang tuanya. Suatu hari, Tapi Nuansa menginginkan buah dari pohon tada-tada yang menarik perhatiannya. Pohon itu berada disekitarSopo. Ia pun meminta Aji Donda untuk memanjat dan memetik buat dari pohon tersebut. Ketika Aji Donda memetik buahnya, tiba-tiba tubuhnya tersedot kedalam pohon misterius itu, yang tersisa hanyalah kepalanya saja. Tidak kunjung turun dari atas poho, Tapi Nuansa pun memanggil kakaknya itu, tapi tidak ada jawaban. Kemudian, dia memutuskan untuk menyusul Aji Donsa di atas pohon. Sayang, Tapi Nuansa juga mengalami nasib yang sama, tersedot dalam pohon misterius.
ADVERTISEMENT
Saat memanjat pohon, selendang Tapi Nuansa terjatuh dan anjing peliharaannya pun membawa selendang itu kepada Guru Hatia Bulan. Kemudian Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak pun bergegas ke hutan. Saat melihat anak-anaknya menyatu dengan pohon, mereka hanya bisa terdiam. Lalu mereka kembali ke desa dan meminta bantuan kepada datu (dukun atau orang pintar). Sayangnya, para datu tersebut ikut tersedot oleh pohon misterius. Tidak kenal kata menyerah, guru Hatia Bulan tetap mencari bantuan untuk menyelamatkan anaknya. Sehingga sebanyak lima datu ikut tersedot dalam pohon.
Terakhir, Guru Hatia Bulan meminta bantuan kepada datu Parpansa Ginjang. Berbeda dengan datu lainnya, terlebih dahulu datu Parpansa membacakan doa, meminta persembahan berupa pemotongan kerbau dan manortor (menari). Kemudian pohon misterius yang dikenal dengan pohon tada-tada itu pun ditebang dan dibawa ke kampung. Untuk menghentikan tangisan serta menguragi rasa sedih Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak, batang pohon tada-tada tersebut dipahat menyerupai kedua anaknya yang tersedot. Selain itu, para datu yang menolong juga di pahat di tongkat itu. Tongkat ini mencapai 150 hingga 200 cm. Bagian paling atas adalah pahatan Aji Donda yang dilengkapi rambur dari benang tiga warna yaitu putih, merah dan hitam.
ADVERTISEMENT
Setelah utuh, pahatan tersebut diberi nama Tunggal Panaluan. Tongkat ini selalu dibawa oleh Guru Hatia Bulan kemanapun mereka pergi. Pasangan ini merasa, keberadaan Tunggal Panaluan membuat mereka merasa bahwa anak kembarnya selalu berada disisinya. Tongkat sakti ini pun mendapat keistimewaan seperti diupacarai dan di tor-tori. Roh-Roh yang berdiam dalam tongkat dianggap sakti oleh siapapun yang memegangnya.
Setelah Guru Hatia Bulan meninggal, tongkat ini diwariskan kepada para datu yang kemudian menghilang setelah Belanda datang. Saat ini, kepercayaan terhadap Tunggal Panaluan sudah berkurang karena mayoritas masyarakat Suku Batak telah memeluk agamanya masing-masing.