Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menerka Keberpihakan Mahkamah Konstitusi Terhadap Penegakan Hukum Tipikor
25 Agustus 2023 14:53 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rizky Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu kewenangan yang diperoleh Mahkamah Konstitusi dari Pasal 24C UUD 1945 ialah mekanisme judicial review. Kewenangan ini vital guna menjaga keseimbangan antar kekuasaan dan juga untuk memastikan produk hukum turunan konstitusi tetap berada di jalur konstitusional.
ADVERTISEMENT
Bila kita telisik secara historikal, pertama kalinya corak dari praktik ini diterapkan yakni pada US Supreme Court yang mengadili perkara antara Marburi dan Madison. Di mana Marburi yang bertindak sebagai pemohon meminta pemerintah menyerahkan salinan pengangkatan pejabat negara yang dianggap tidak transparan pada saat itu.
Dalam putusannya pengadilan mengeluarkan suatu penemuan hukum yang unik pada saat itu. Mahkamah menolak tuntutan yang diajukan Marbury bukan karena tidak memiliki alasan hukum melainkan sebab dasar hukum yang digunakan bertentangan dengan konstitusi AS atau dengan kata lain bersifat inkonstitusional.
Cikal bakal tersebutlah yang melahirkan mekanisme judicial review saat ini. MK sebagai the guardian of constitution bertanggung jawab untuk meluruskan undang-undang untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dalam konstitusi, termasuk undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi seperti UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 30 Tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Dalam kurun waktu satu setengah dekade terakhir telah terjadi beberapa overulling putusan MK terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan arah penegakan hukum tipikor di negeri ini. Acapkali putusan-putusan yang mempengaruhi masa depan penegakan antikorupsi tersebut mendapat respons negatif dari masyarakat.
MK bertanggung jawab atas arah penegakan hukum di Indonesia, karenanya penting ditelisik setiap detail pola perubahan putusan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut, sebab hukum yang baik adalah hukum yang tidak mengesampingkan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Delik Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor awalnya dimaknai atau ditafsirkan sebagai delik formil yang dapat kita baca melalui putusan MK No.003/PUU-IV/2006. Namun, dalam kurun waktu satu dekade setelahnya tepatnya dalam putusan MK No.25/PUU-XIV/2016, MK berpendapat lain. Mahkamah berpendapat frasa “dapat” dalam pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Hal ini secara substansial berdampak mengubah wujud rumusan delik tersebut menjadi delik materiil. Perubahan ini cukup krusial dikarenakan tindak pidana korupsi yang dianggap sebagai extraordinary crime atau tindak pidana yang bertentangan dengan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma semakin dipersulit proses penegakannya oleh karena beban pembuktian yang semakin diperberat.
Korupsi terlebih yang berada pada tingkat state capture dapat dikategorikan sebagai crime against humanity dan dalam konteks ini untuk membuktikan kerugian negara secara aktual tentu bukan menjadi pekerjaan yang mudah.
Beranjak dari pemahaman tersebut sudah seharusnya delik tindak pidana korupsi lebih berorientasi pada perbuatan koruptifnya bukan pada teknikalitas kerugian negara yang ditimbulkan. Hal ini penting guna menciptakan penegakan hukum tipikor yang lebih efisien, perubahan pendapat mahkamah terhadap delik ini cenderung menunjukkan sikap sepele terhadap penegakan hukum tipikor yang ada.
ADVERTISEMENT
Pendapat Mahkamah yang menyatakan tindak pidana korupsi yang dijalankan dengan prinsip potential loss menimbulkan ketidakpastian hukum tidaklah sejalan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Budaya korupsi yang mengakar di negara ini tidak akan pernah dapat dibasmi apabila tidak dihadapkan dengan extraordinary law juga, oleh karena itu prinsip actual loss yang diproyeksikan hanya akan mendegradasi praktik penegakan hukum tipikor.
Keberadaan KPK
Kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi tempo hari bagaikan mayat hidup, eksistensinya ada tapi layaknya tiada. Pemandulan dengan instrumen putusan pengadilan terhadap lembaga antirasuah ini perlahan tapi pasti akan mencapai titik buntu.
Setidaknya ada tiga poin terkait status KPK yang senantiasa berubah penafsiran konstitusinya yakni terkait ranah kekuasaan, independensi, hingga sifatnya sebagai lembaga super body. Terkait penafsiran yang dilakukan MK terhadap UU KPK acapkali MK tidak bisa terlepas dari jurang teori interpretasi originalism secara total.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari putusan No.36/PUU-XV/2017 yang menempatkan KPK dalam ranah kekuasaan eksekutif yang semula berada dalam ranah yudikatif, seperti yang termaktup dalam putusan No.012-016-019/PUU-IV/2006.
Dalam hal ini MK memandang KPK sebagai lembaga yang dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seyogyanya ditempatkan sama dengan Jaksa Agung, Polri, dan lain-lain. Argumentasi ini muncul melalui kacamata original intent dari frasa “badan-badan lain” Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang dianggap mahkamah relevan dengan KPK.
Adapun di samping itu terdapat pula pergeseran makna dari frasa “independensi” yang dilekatkan pada KPK pada putusan No.109/PUU-XIII/2015, yang pada dasarnya menolak ketergantungan KPK terhadap lembaga lain.
Namun, pada putusan No.36/PUU/XV/2017 MK malah melempem menafsirkan frasa tersebut. Independensi tidak lagi dimaknai sebagai sebuah kemandirian tanpa intervensi, MK dalam putusan ini malah memberikan hak angket kepada DPR untuk meminta pertanggungjawaban dari KPK.
ADVERTISEMENT
Bila ditelisik, putusan yang menyatakan KPK berada dalam ranah eksekutif secara tidak langsung bersinggungan terhadap putusan yang melonggarkan independensi KPK. Perubahan letak cabang kekuasaan ini membuka pintu gerbang pada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang, sehingga dapat disimpulkan suatu perubahan terhadap penafsiran pasal undang-undang sejatinya dapat berpotensi mengubah pemaknaan pasal lain secara sistematis.
Wujud KPK sebagai lembaga super body yang tertuang dalam putusan No.133/PUU-VII/2009 pun turut menjadi sasaran pelemahan. Pada putusan No.109/PUU-XIII/2015 MK secara mentah-mentah mengejawantahkan pandangan bahwa KPK ialah sebuah lembaga super body.
Perubahan-perubahan semacam ini selain dapat melemahkan KPK tetapi juga menimbulkan citra buruk terhadap MK yang seakan-akan tidak disinari oleh semangat antikorupsi.
Pembatasan Pencalonan Kepala Daerah
Diskursus lainnya di luar daripada UU Tipikor dan UU KPK yang relevan dengan tindak pidana korupsi pun layak didiskusikan. Contohnya ialah pembatasan hak bagi mantan terpidana yang juga melingkupi mantan koruptor untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dalam mewujudkan pemilihan yang terbebas dari korupsi, salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah pembatasan pencalonan terhadap koruptor
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini penulis hendak membatasi ruang lingkup pada undang-undang pilkada agar memberikan garis pembatas yang jelas. Hal ini bermula dari putusan No.4/PUU-VII/2009 yang memberikan syarat-syarat pencalonan kepada mantan terpidana.
Adapun syarat-syarat itu di antaranya tidak adanya pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan, berlaku untuk jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara, terbuka kepada publik mengenai latar belakang sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Sekilas tampak putusan ini dari beberapa aspek sudah memberikan beberapa pembatasan yang setidaknya dapat mempersulit koruptor untuk mencalonkan diri pada pilkada. Namun seperti diskursus yang telah dibahas sebelumnya MK memberikan keringanan kembali terhadap ketentuan-ketentuan sejenis ini.
Pada putusan No.42/PUU-XIII/2015, MK berdalih syarat-syarat tersebut mengurangi kehormatan dan sudah seharusnya hanya dapat dilegitimasi oleh putusan pengadilan yang berwenang. Sehingga MK pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa syarat-syarat tersebut tidak diperlukan sepanjang mantan terpidana berani mengakui hal tersebut pada publik. Tampak di sini sebuah degradasi yang sangat timpang dari putusan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Konklusi terakhir untuk saat ini ialah terdapat dalam putusan No.56/PUU-XVII/2019 yang mengembalikan syarat-syarat sebelumnya pada putusan MK tahun 2009 walaupun menjadikan syarat tersebut sebagai syarat alternatif. Oleh karena itu segala pertimbangan nasib mantan terpidana tersebut dikembalikan kepada rakyat.
Berdasarkan pola-pola yang dibentuk dari putusan-putusan MK tersebut dapat ditarik sebuah benang merah yang menuju kepada sebuah titik yang mempertontonkan bagaimana keseriusan lembaga ini menanggapi kasus korupsi di republik ini.
Apabila kekuasaan yudikatif pun tidak dapat lagi dipercaya menjadi penyeimbang antara lembaga kekuasaan lainnya maka niscaya semakin langgenglah praktik-praktik yang bermodalkan kekuasaan.